RD Ino Mansur, Imam Keuskupan Ruteng, Manggarai (Foto: Floresa.co)

Oleh: RD. Inosentius Mansur Alumnus STFK – Ledalero, Maumere – Flores – NTT. Pemerhati sosial – politik.

JPIC OFM Indonesia.com Tidak lama lagi kita akan melaksanakan kontestasi elektoral. Untuk sebagian orang, kontestasi elektoral selalu dikaitkan dengan tema-tema tentang kekuasaan dan posisi politik tertentu. Maka tidak heran, mereka beranggapan bahwa kontestasi elektoral merupakan momentum untuk mendapatkan kekuasaan. Akibatnya, politik didesakralisasi sebagai instrumen untuk mendapatkan posisi politik semata. Namun demikian, sesungguhnya kontestasi elektoral lebih dari itu, tidak boleh direduksi pada aspek kekuasaan saja. Dikatakan demikian, karena kontestasi elektoral sebenarnya juga merupakan momentum menangkal kapitalisasi politik.

Tahun politik adalah tahun di mana kita diberi tanggung jawab kolektif untuk melindungi kontestasi elektoral dari praksis kapling-kapling. Sebab tidak terbantahkan lagi bahwa para elite politik telah, sedang  dan akan terus melakukan usaha kapitalisasi terhadap politik. Efeknya, politik menjadi instrumen yang hanya bertujuan memenuhi mekanisme dan skenario parsial sekelompok elite.

Praksis dan kontestasi elektoral pun tidak bebas dari negosiasi dan intervensi hegemoni politik oligarki. Politik menjadi alat untuk memenuhi ambi si-ambisi tertentu yang menyebabkan denalar isasi ruang publik. Tanpa ampun, politik meminggirkan kegelisahan rakyat dan mengabaikan disparitas sosial. Forum politik yang mestinya menjadi arena mendialektikan konsensus publik tentang kebaikan bersama, dikelola seturut konsensus para elite. Selain itu, politik juga acapkali diperalat untuk melahirkan ekses-ekses segregatif di mana para elite seringkali mengagitasi publik lewat cara-cara distortif. Rakyat tersegmentasi lantas digiring untuk mengikuti fra ming politik parsial tertentu. Para elite politik tidak peduli, betapa pun yang mereka lakukan memproduksi instabilitas sosial. Yang terpenting bagi mereka adalah segala keginginan untuk menda patkan kekuasaan terpenuhi. Alhasil, panggung politik dimanipulasi dan melahirkan sengkarut publik.

Panggung Sandiwara

Kontestasi elektoral adalah sebuah panggung demokrasi. Itu berarti yang ditampilkan ke publik adalah parade berbagai gagasan politik konstruktif. Yang disajikan kepada rakyat adalah ide-ide substantif restoratif, revitalitatif dan progresif. Di dalamnya meng- cover diskursus kerakyatan. Jika demikian, para aktor politik mestinya memikat nalar publik dengan mengemukakan konsep-konsep yang mengintegrasikan aspek liberatif emansipatif.

Sebagai panggung demokrasi, gagasan-gagasan publik tidak boleh dipakai untuk mengartikulasikan kepentingan para aktor (elite politik) saja, melainkan lebih pada kepentingan rakyat. Paradigma kerakyatanlah yang mesti menjadi kiblat dan lanskapnya. Panggung demokrasi mesti menjadi etalase wacana publik yang berlandaskan supremasi diskursus komunikatif dan mengadvokasi hak-hak rakyat. Namun demikian, fakta nya berbeda. Merupakan sesuatu yang tak terbantahkan lagi bahwa perhelatan politik bagaikan panggung sandiwara di mana para elite politiklah sutradaranya. Politik yang memestikan kebaikan publik sebagai episentrumnya, justru menjadi amunisi untuk melegitimasi hasrat-hasrat pragmatis.

Kontestasi elektoral yang harusnya menjadi momentum manifestasi praksis politik bermartabat, tidak lebih dari sekadar pentas untuk meloloskan keinginan para elite untuk menaikkan rating publik partai mereka. Perspektif dan paradigma kerakyatan diabaikan dan dikalahkan oleh perspektif dan paradigma oligarki. Rakyat hanya menjadi pelaku-pelaku figuran yang memainkan peran nir-ensensial karena disetir selera para elite. Yang dipentaskan di dalamnya adalah akrobatik kontra demokratis para elite. Partisipasi rakyat dalam panggung politik itu pun hanya untuk memback-up mega proyek elek toral dari sekelompok elite yang berusaha memenangkan tender politik.

Para elite mencaplok hak politik rakyat. Padahal kontestasi elektoral amatlah penting dalam sebuah negara demokrasi dan hal seperti ini terletak pada partisipasi warganya. Jika aspek ini yang diutamakan, maka secara otomatis kontestasi politik menjadi pa nggung demokrasi yang mengedepankan tesis-tesis politik argumentatif berbasiskan dalil-dalil politik akal sehat. Yang “diarusutamakan” di dalamnya adalah sungguh-sungguh kepentingan rakyat dan bukanlah seolah-olah kepentingan rakyat.

Political Will

Filsuf Aristoteles dalam Nichomachean Ethics (translated by Thomson, 1961) mengemukakan bahwa politik merupakan instrumen bagi warga masyarakat untuk berintegrasi dalam negara dan selanjutnya berpartisipasi di dalamnya. Agar bisa berpartisipasi secara baik, maka rakyat mesti mengintegrasikan diri dalam kontestasi elektoral. Dalam kontestasi elektoral, partisipasi warga tidak terbatas pada tindakan memberikan suara saja, tetapi terutama pada proses partisipasi yang dilandasi kemauan untuk menciptakan kebaikan bersama. Ada ruang elaboratif yang diberikan kepada rakyat.

Tetapi partisipasi di sini memutlakan political will elite untuk mengembalikan politik sebagai milik bersama. Political will berarti elite politik berusaha memberi ruang seluas-luasnya kepada rakyat untuk terlibat dalam urusan politik. Tugas mereka adalah membuat rakyat sadar bahwa politik merupakan milik bersama. Itu berarti rakyat tidak boleh membiarkan ruang politik menjadi ruang yang hanya dimonopoli oleh politisi (Habermas, 1990).

Political will akan melegitimasi kepedulian rakyat yang selalu memiliki kepedulian terhadap perbaikan nasib bangsa. Maka perhelatan politik elektoral harus menjadi momentum memuliakan politik. Politik bukanlah matra sekular yang dalam penggunaannya tunduk di bawah selera dan kendali kapitalis. Politik tidak boleh dihancurkan oleh aksi-aksi dekonstruktif. Melalui kontestasi elektoral, politik masih bisa dipercayai sebagai sarana mengartikulasikan kepentingan bersama.

Jika selama ini, politik telah disalah-artikan dan disalah-gunakan, maka melalui praksis elektoral, politik dikembalikan sebagai sarana merestorasi perbedaan kolek tif yang telah didegradasi oleh praksis-praksis pragmatik distortif. Melalui praksis politik elektoral, publik diyakinkan bahwa kekuasaan ataupun jabatan politik yang diperoleh melalui proses dan me kanisme elektoral merupakan sesuatu yang legitim dan suci dan karenanya tidak pantas disalahgunakan.

Mengikuti ide Habermas dalam Republikan (1999), melalui praksis elektoral-lah politik menjadi sarana yang lebih dari sekadar fungsi instrumental, tetapi merupakan bentuk reflektif dari kehidupan etis-substansial yang mengedepankan aspek deliberatif. Political will memestikan komitmen tulus para elite untuk menjadikan perhelatan elektoral sebagai momentum mengkonversi cita-cita kerakyatan dan kebangsaan dalam program dan praksis publik mereka.

Political will memestikan para elite untuk mendiagnosa masalah-masalah sosial lalu mengurasi aspek-aspek solutif. Itu berarti gagasan-gagasan yang dikemukakan mesti “mengadvokasi” kepentingan rakyat yang selama ini justru seringkali diabaikan dari agenda setting para elite. Political will juga berarti para elite tidak akan membiarkan rakyat terfragmentasi oleh kepentingan politik sesaat. Di atas semua itu, keadilan dan kebaikan bersamalah yang mesti menjadi “detak nadi” dan landas pijak perjuangan politik para elite.

Gerakan politik mereka harus merupakan kristalisasi dari cita-cita publik akan kehidupan yang lebih baik. Selain itu, kontestasi elektoral harus menjadi momentum afirmasi tindakan nalar rakyat dalam mengapresiasi ataupun memberikan kritik atas berbagai bentuk kepincangan publik. Kontestasi elektoral harus ruang partisipasi politik rakyat dengan seluruh diri mereka (kesadaran penuh). Political will menjamin terselenggaranya dialektika publik berbasiskan supremasi diskursus nalar komunikatif.

Dengan demikian, tindakan elektoral rakyat berpijak pada common sense dan berangkat refleksi atas aspek-aspek empirik obyektif. Dengan berlandaskan political will, para elite dapat mempromosikan demokrasi transformatif sebagai cara untuk mewujudkan bentuk kewargaan substantif melalui berbagai dimensi konstitutifnya (Stokke & Törnquist, 2013). Salah salah bentuk manifestasi dari konsep seperti ini adalah membiarkan rakyat untuk merasa bertanggung jawab memberikan pilihan politik secara tepat berdasarkan kesadaran dan analisis nurani. Dengan cara itulah politik dikembalikan kepada esensinya. Dengan begitu pula, kita bisa mencegah kapitalisasi terhadap politik.)***

 

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

20 − nineteen =