Dari dulu sampai sekarang dalam “pemikiran Barat” ada suatu ciri struktural yang, antara lain, bertanggungjawab atas sikap dan tindakan eksploitatif manusia atas alam. Ciri tersebut tidak lain daripada kerangka dan cara berpikir yang tertentu, tepatnya disebut “dualisme”. Salah satu aspek dari kerangka berpikir seperti itu adalah dikotomi antara manusia dengan alam. Dalam kungkungan dualisme itu, orang berpikir dalam kategori-kategori yang saling berlawanan dan saling menyisihkan. Orang berpikir, misalnya, tentang perlawanan antara manusia dengan alam, antara akal budi dengan pancaindera, antara jiwa dengan badan, antara diri sendiri dengan (orang) yang lain dan sebagainya.
Dua dunia dan perlawanan antara dua dunia
Dalam “pemikiran Barat” itu ditemukan pelbagai rupa dan bentuk dualisme yang saling berlawanan. Salah satu dari antaranya adalah perlawanan yang mendasar antara akal budi dengan alam. Perlawanan seperti itu “pada mulanya” disuarakan oleh para filsuf Yunani. Semenjak itu berkembanglah pelbagai macam perlawanan tersebut. Dan dalam sejarah filsafat juga tampak bahwa para filsuf memusatkan perhatiannya pada perlawanan yang berlain-lainan. Pada zaman modern, Descartes, misalnya, menampilkan perlawanan antara akal budi dan tubuh. Para filsuf lainnya memusatkan perhatiannya pada perlawanan antara yang publik dengan yang privat, antara pria dengan wanita, antara yang universal dengan yang partikular.
Dalam bukunya Feminism and the Mastery of Nature (Routledge, London, 1993) Val Plumwood menghubungkan dualisme asali dengan Plato (428/427 s. M. – 348/ 347 s. M). Plato, menurutnya, mengajarkan adanya dualisme antara dunia pancaindera, dunia pengalaman sehari-hari dengan dunia ide-ide, dunia yang mengatasi dunia pancaindera, dunia pengalaman sehari-hari itu. Ada perlawanan yang radikal antara kedua dunia tersebut.
Selain itu masih ada perlawanan lain lagi yang terkait dengan perlawanan yang satu ini. Perlawanan itu adalah perlawanan antara dua kemampuan manusiawi yang menjadi jalan masuk ke dalam dua dunia itu. Jalan masuk ke dalam dunia pancaindera, dunia pengalaman sehari-hari adalah pancaindera. Dan jalan masuk ke dalam dunia ide-ide adalah akal budi atau intelek. Akal budi atau intelek itulah yang menyatakan sedikit apa yang dapat diketahui tentang dunia ide-ide itu.
Dengan demikian ditunjukkan bahwa dalam pemikiran Plato terdapat dua macam dualisme. Yang pertama adalah perbedaan antara dunia pancaindera, dunia pengalaman sehari-hari dan dunia ide-ide. Dan yang kedua adalah perbedaan antara “tangkapan” dengan pancaindera dan akal budi.
Alam bersifat kontingen
Alam bersifat kontingen, karena alam itu dapat tidak ada. Artinya, karena alam itu dapat ada tetapi serentak pula dapat tidak ada. Yang masih perlu ditambahkan dalam kaitan dengan dualisme ini adalah bahwa dunia pancaindera, dunia pengalaman sehari-hari secara tertentu “lebih redah” daripada dunia ide-ide. Plato berpendapat bahwa dunia pancaindera bukanlah dunia yang sesungguhnya. Dunia yang sesungguhnya adalah dunia ide-ide. Namun demikian tidak begitu mudah menjelaskan pernyataan tersebut. Untuk sedikit menjelaskannya dia menggunakan analogi perlawanan antara suatu benda dengan bayangannya. Bayangan merupakan sesuatu yang “kurang nyata” dibandingkan dengan benda yang “menampilkan” bayangan tersebut.
Selanjutnya, atas dasar perhatiannya pada masalah perubahan dia memberikan status “lebih luhur” kepada dunia ide-ide. Entitas-entitas berubah-ubah dalam dunia pengalaman sehari-hari tidak atau, paling tidak, kurang berharga dibandingkan dengan yang tetap atau tidak berubah-ubah. Ada dua macam keadaan yang tetap atau tidak berubah-ubah itu. Yang satu adalah keadaan tetap atau tidak berubah-ubah yang dimiliki oleh entitas-entitas – kalau ada – yang tidak mengalami kerusakan dan kebinasaan.
Entitas-entitas itu tetap berada untuk selamanya. Yang lain adalah entitas-entitas yang tidak berubah sifat dan cirinya. Menurut gambaran Plato, entitas-entitas di dunia ide-ide itu tidak berubah-ubah dalam arti tidak berubah sifat dan cirinya serta tidak menjadi rusak dan binasa.
Juga masih ada hubungan antara dunia ide-ide itu dengan dunia pancaindera, dunia pengalaman sehari-hari. Dunia ide-ide merupakan contoh untuk dunia pancaindera, hadir dalam dunia pancaindera. Dunia pancaindera mengambil bagian dalam dunia ide-ide. Itulah sebabnya mengapa dunia ide-ide lebih luhur daripada dunia pancaindera, dunia pengalaman sehari-hari. Dunia pancaindera, dunia pengalaman sehari-hari sama sekali tergantung pada dunia ide-ide.
Nilai tersebut juga dikenakan pada akal budi (sebagai jalan masuk ke dalam dunia ide-ide) dan pancaindera (sebagai jalan masuk ke dunia pancaindera, dunia pengalaman sehari-hari). Karena dunia ide-ide lebih luhur daripada dunia pancaindera, dunia pengalaman sehari-hari, maka akal budi dengan sendirinya juga lebih luhur daripada pancaindera. Dengan kata lain, pancaindera bernilai rendah atau tidak luhur dibandingkan dengan akal budi.
Konsekuensinya
Tidaklah mengherankan bila makhluk yang dikaruniai akal budi (animal rationale) mempunyai kedudukan yang lebih luhur daripada entitas-entitas lain yang tidak mendapat karunia itu. Dan bila dia yang berakal budi itu ingin memakai, menguasai serta menaklukkan entitas-entitas yang kurang luhur daripadanya, cukuplah dia menggunakan akal budinya dengan baik sesuai dengan maksud dan tujuan yang mau dicapainya.
Dan nyatanya sejarah mencatat bahwa peradaban makhluk yang berakal budi itu selalu ditandai oleh perjuangan untuk menguasai alam, menguasai dunia pengalaman sehari-hari dengan bantuan akal budinya. Sebab, konsep utama kemajuan untuk makhluk tersebut, sebagaimana juga disajikan Val Plumwood, adalah tanpa henti dan tanpa batas menguasai alam, dunia pengalaman sehari-hari. Dan senjata untuk itu adalah akal budinya. Penguasaan seperti itu dengan mudah berubah dan beralih rupa menjadi tindakan nyata untuk mengeksploitasi dan merusakkan alam, dunia pengalaman sehari-hari itu.
Penutup
Demikianlah salah satu penyebab asali, sebagaimana disajikan oleh Plumwood, dengan bertolak dari dualisme Plato, yang menampakkan dirinya dalam rupa dunia ide-ide dan dunia pancaindera, dunia pengalaman sehari-hari. Dunia ide-ide dan akal budi sebagai jalan untuk masuk ke dalam dunia itu lebih luhur nilainya. Dunia pancaindera dan pancaindera sebagai jalan masuk ke dalam dunia pancaindera, dunia pengalaman sehari-hari, sebaliknya, lebih rendah nilainya.
Makhluk yang dikarunia akal budi lebih dihargai daripada entitas-entitas yang tidak diberi karunia itu. Kiranya mudahlah bagi makhluk yang dikaruniai akal budi itu untuk menggunakan sesuka hati dan bahkan mengekploitasi serta merusakkan alam, entitas-entitas yang lain serta dunia pengalaman sehari-hari***
Penulis adalah guru besar
di STF Driyarkara
Saya menolak dengan tegas dualisme Platon. Saya menghargai Platon yg merumuskan pemikirannya sebagai buah perjuangannya untuk menegakkan kebenaran di Athens. Sayangnya ia hidup dalam masyarakat yang apatis terhadap kebenaran, sehingga ia diam2 mengutuk dunia sebagai yang berubah-ubah, tidak konsisten, dan mengagung-agungkan dunia Idea sebagai dunia yang sempurna dan tiada berubah. Terjadilah perang-perangan yang ia buat-buat antara dunia Idea yg sempurna dan dunia materi yg serba beranekaragam.
Mari kini kita kritisi pandangannya. Biarpun memang manusia perlu bergerak menuju Idea, bukan berarti ia perlu menjelek-jelekkan materi, karena tanpa materi yang beragam2, manusia tidak bisa melihat Idea.
Andaikata Platon hidup di zaman Internet ini, dia pasti bisa melihat bahwa Idea itu justru yg menampilkan diri ke dunia materi dalam rupa-rupa kreativitas yang tidak ada batasnya, dan tentulah dia akan berpikir bahwa materi bisa menjadi tanda bagi manusia untuk menuju pada Idea.
Cara yg bagus untuk membawa manusia sampai pada Idea bukan dengan mengutuk materi atau alam (menciptakan dualisme) tapi dengan menjadi saksi bagi Idea, bahwa Idea itu sanggup mengantar dunia materi kepada Kebaikan.