Pastor Stef Tupeng Within, SVD
Pastor Stef Tupeng Within, SVD

Oleh: Steph Tupeng Witin SVDPemimpin Umum/Pemimpin Redaksi HU Flores Pos di Ende

Beberapa waktu lalu, Ketua DPR RI, Setya Novan­to menuding banyak lem­baga swadaya masyarakat (LSM) bersembunyi di balik Gereja (Ka­tolik) untuk menolak investor yang hendak menginvestasikan kerusa­kan alam NTT secara masif kepada generasi masa depan. Anggota DPR dari NTT ini melontarkan tudingan yang tidak bertanggung jawab da­lam sebuah seminar yang diadakan Gereja Kristen di Kupang.

Banyak kalangan kritis dan Gereja Katolik di NTT marah dan meminta Novanto meminta maaf. Tapi mengharapkan orang dengan rasa malu yang telah lama hilang entah di hutam rimba mana seperti Setya Novanto ini untuk meminta maaf ibarat membuang emas ke mulut babi. Buang energi percuma. Lebih baik energi itu kita dayakan untuk mengadvokasi rakyat di akar rumput agar menolak orang-orang luar yang datang mencari makan di NTT yang selama ini mereka kam­panyekan sebagai daerah tertinggal tapi justru dijadikan sebagai lahan bisnis pribadi dan kroninya.

Tudingan Setya Novanto itu bukan sebuah kritik konstruktif tapi igauan dari investor tambang yang stres dan frustrasi karena tidak mampu dan tidak berdaya mengh­adapi solidaritas Gereja menolak tambang. Gereja (Katolik) bersama aktivis LSM menolak NTT menja­di “pusat kerakusan” dari segelintir orang yang menyatukan politik dan bisnis destruktif agar bisa terta­wa renyah di tengah derita dan air mata rakyat kecil NTT yang ia ob­jekkan pada pesta demokrasi lima tahunan. Setya Novanto adalah wakil rakyat dari NTT yang terasing dari realitas NTT.

Kita patut menduga, No­vanto Center yang hampir memenu­hi seluruh lekuk Kota Kupang tidak lain merupakan akal-akalan untuk menarik simpati murahan rakyat agar melanggengkan perselingku­han antara kepentingan politik dan bisnis dalam diri Setya Novanto. Gereja (Katolik) tidak pernah men­jadi tempat berlindung LSM dalam gerakan tolak tambang.

Gereja (Katolik) menja­di institusi kritis dan profetis yang merangkul semua orang yang berkehendak baik tanpa sekat-se­kat agama, suku, ras dan golongan untuk berpikir, berefleksi dan ber­juang di tengah realitas konkret menolak orang-orang seperti Setya Novanto ini yang berwajah politi­kus sekaligus kapitalis, tapi lebih menampakkan wajah kapitalis den­gan mengupayakan pertambangan. Orang-orang kecil di Riung, Kabu­paten Ngada tahu bagaimana Setya Novanto bersama antek-anteknya menggelar sunatan massal dan acara bernuansa agama lain untuk memuluskan rencana tambang bi­jih besi. Kehadiran Setya Novanto dengan “Novanto senter” di Riung telah berhasil merusak segelintir anak muda lokal yang gagal meneror aktivis dan JPIC OFM/SVD Ende yang hadir mengadvokasi rakyat agar setia dan komit menola tambang. Hasilnya: “Rakyat Riung lebih memilih keutuhan hidup dari pada kehancuran yang getol dikam­panyekan Novanto”. Perlawanan rakyat kecil ini memalukan orang-orang berduit seperti Setya Novan­to yang mengandalkan uang untuk menaklukkan komitmen rakyat.

Argumentasi Kuat

Gereja (Katolik) menolak tambang dengan argumentasi yang kuat yang didukung data dan fakta. Gereja tidak pernah alergi dengan investor yang hendak memajukan NTT di luar sektor pertambangan. Berbagai studi membuktikan bah­wa tambang tidak berpengaruh sig­nifikan bagi kesejahteraan rakyat. NTT memiliki potensi terbesar da­lam bidang pertanian, peternakan, perikanan, kelautan, perkebunan, pariwisata dan koperasi. Tambang hanya menghasilkan mudarat. Data dari lokasi tambang di daratan Ti­mor menarasikan puluhan orang mati di lubang tambang. Stu­di fakta di lokasi pertambangan membuktikan bahwa rakyat kecil yang kebanyakan menjadi pekerja menderita berbagai penyakit yang mematikan. Gereja harus membela kehidupan khususnya orang-orang kecil yang justru hanya menjadi ob­jek dari permainan politik berwa­jah kapitalis. Walhi NTT membuk­tikan bahwa sektor pertambangan di NTT hanya menyumbang 0,012 persen untuk PAD. Sektor perta­nian dan peternakan menyum­bang hampir 50 persen untuk PAD. Maka ketika Setya Novanto me­nuding LSM bersembunyi di balik Gereja, ia sesungguhnya hendak membodohi rakyat NTT bahwa PAD dari sektor tambang sebesar 0,012 akan menyejahterakan rakyat ketimbang sektor pertanian yang menyumbang 50 persen. Ini cara berpikir orang yang telah kehilan­gan kewarasan.

Pertambangan telah me­marginalisasi martabat masyarakat NTT mulai dari proses perizinan, eksplorasi dan eksploitasi. Commi­sion of Justice, Peace and Integrity of Creation (JPIC) OFM Indone­sia dan SVD Ende yang terlibat mengadvokasi rakyat di Flores dan Lembata menemukan banyak ke­bohongan yang dilakukan investor yang berselingkuh dengan birokrasi dan legislatif. Rakyat pemilik ulayat tidak pernah dilibatkan. Bahkan rakyat dimanipulasi dengan tanda tangan akal-akalan untuk melo­loskan hasrat investor tambang. Tatanan sosial dan religius dihan­curkan dengan berlindung di balik sumbangan/derma apalagi hanya untuk sunatan massal seperti yang dilakukan Novanto di Riung.

Tambang meracuni air bersih, menyebabkan polusi udara, merusak hutan dan lahan pertani­an serta ekosistem alam. Pertam­bangan di NTT telah mendegradasi keutuhan dan kelestarian ekologis. Bahkan lokasi tambang terbanyak di NTT berada di daerah hutan lindung. Kerusakan ekologis ini tidak sebanding dengan pendap­atan yang diperoleh dari tambang disertai dampak buruk bagi rakyat/ pekerja tambang.

Gereja (Katolik) tetap konsisten menolak tambang.

Igauan dari investor ber­jubah politisi seperti Setya Novan­to ibarat angin puyuh yang tidak bertenaga. Gereja (Katolik) tidak pernah mundur apalagi menyerah pada kerakusan dan ketamakan yang berdampak destruktif bagi rakyat. Gereja Katolik tidak per­nah terganggu sedikit pun dengan halusinasi investor tambang seperti Setya Novanto yang kebetulan dipi­lih rakyat Kupang dan Timor untuk melanggengkan bisnis pribadinya di daratan Timor.

Andaikan Setya Novanto memilih daerah pemilihan di Flores dan Lembata, namanya pasti sudah terkubur bulat-bu­lat. Buktinya, baru ancang-ancang mau bangun hotel di Pantai Pede, Labuan Bajo, Manggarai Barat saja sudah ditolak habis-habisan. Investor yang tidak pernah mera­sa kaya seperti ini akan mencari celah untuk menancapkan kuku bisnis pribadinya berkedok pem­bangunan lapangan pekerjaan dan peningkatan kesejahteraan. Rak­yat pemilik ulayat paling-paling menjadi satpam, penata taman dan tukang cuci piring di restoran.

Advokasi yang setia di­jalankan oleh JPIC OFM Indonesia dan SVD telah berandil menum­buhkan rasa memiliki rakyat atas ulayatnya sebagai harta yang tidak begitu gampang digadaikan kepa­da investor sekelas Setya Novanto yang hanya melemparkan igauan miskin substansi yang sangat tidak pantas ditanggapi***

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

fifteen − 7 =