Wa Gina, foto: JPIC OFM Indonesia

PROFIL, JPIC OFM Indonesia, Minggu Pkl. 07.00 pagi (24/08) penghuni Rumah Singgah Santo Antonius Padua, sudah usai beres-beres diri. Sebagaimana biasa, sebelum sarapan, para pasien di rumah itu dimandikan oleh para frater OFM yang bertugas malam hari.

“Kami memandikan mereka seperti biasa”, ujar seorang Frater OFM. “Tetapi tidak untuk Charles Tambunan, seorang pasien TBC akut. Dia selalu dimandikan oleh Wa-Gina yang memang mau selalu melayani Charles”  tambah Frater.

“Setiap hari, beliau (Wa Gina -red) pula yang menyuap dan membantu aktivitas Charles. Tak ada yang ditakuti oleh Wa-Gina, bahkan penyakit jahanam dan ganas itu. Dia hebat”, gumam Frater.

Bukti Ibadah

Lemah secara fisik, kokoh da­lam kepedulian. Itulah sosok Wa- Gina. Walaupun renta juga tak punya apa-apa, ia diketahui berjiwa sosial tinggi. Usianya di atas 70 tahun. Pernah punya suami, namun lalu tak mau lagi berkeluarga lantaran ditinggal per­gi oleh suaminya. “Malas”, katanya, ketika ditanya alasan tidak mau berkeluarga. “Saya pernah dikhi­anati oleh laki-laki”, ia menjawab lanjut. Tapi, kepedulian dan kasih­nya bagi orang yang menderita tak pernah direnggut rasa malas. Ma­lahan, kepedulian dan kasih pada orang yang sama sekali tak punya hubungan darah dengannya se­makin berkobar.

Perempuan renta ini mu­la-mula tinggal di gubuk tripleks kecil di Pinggir Rel KA, Senen. Tak ada barang ‘istimewa’ di gu­buk 2×3 meter itu. Barang-barang rongsokan jadi isi pondok itu.

Wanita asal Jawa ini ber­cerita tentang kegiatannya selain memulung. Dia mengaku hampir setiap minggu mengikuti perseku­tuan jemaat. Saya ingin dekat sama Tuhan.

“Saya memang pemulung. Tetapi saya mau mengikuti acara Gereja. Saya kemudian malu, kalau setiap hari minggu saya mengikuti persekutuan Jemaat, tetapi ketika ada orang yang sakit, saya meng­hindar. Apa artinya, ibadah itu? Mungkin ini bentuk persembahan saya bagi Tuhan”, Katanya sambil menunjuk pada Charles Tambu­nan.

Charles Tambunan -pen­derita TBC akut- menjadi orang yang merasakan kasih Wa-Gina. “Saya tidak punya hubungan apa-apa dengan Charles. Ia sebelumnya adalah seorang penyanyi malam di Diskotik wilayah Jakarta ini. Kami berkenalan sebagaimana layaknya orang-orang lainnya. Tak ada yang istimewa dari setiap perjumpaan kami sehari-hari di sekitar rel. Tetapi, semenjak dia sakit, saya merasa kasihan padanya dan mau membantunya ketika diminta oleh teman-teman Charles.

Mula-mula memang, saya berpikir bahwa sakit si Charles ini tidak lama. Tetapi yang terjadi se­baliknya, sangat lama, hampir tu­juh bulan berlalu hingga sekarang. Dan saya kasihan padanya. Sebab, tak ada yang mau mendekati dan menemaninya. Charles sendirian, ditinggal pergi oleh orang-orang dekatnya, termasuk keluarganya sendiri. Saya mau menemaninya walaupun kadang-kadang tera­sa melelahkan, begitu Wa-Gina berkisah panjang”.

Sendirian- Tabah

Wa-Gina memang seorang perempuan tangguh. Ia mencari nafkah sendirian. Tak ada yang me­nemani. Dari hari ke hari memu­lung dan hidup di gubuk pinggir rel KA Senen. Orang-orang men­genalnya sebagai pemulung yang teliti dan serius, namun selalu rela memberi senyum bagi orang yang lalu di samping tempatnya memi­lah sampah.

Wa-Gina memang tak punya keluarga, tetapi ia memiliki banyak sahabat. “Wa-Gina kami kenal baik. Ia seorang yang rela berkorban bagi orang lain”, Kata Herman, sahabat­nya di Rel. “Wa-Gina beberapa bu­lan ini jarang kembali ke sini kare­na sedang membantu orang yang sakit. Sudah lama sekali”. Memang, semenjak membantu Charles Tam­bunan, Wa-Gina tidak menjalan­kan kerjanya yang biasa. Jarang atau bahkan tidak memulung lagi.

Hari-harinya dihabiskan dengan menemani, merawat dan mendengarkan keluhan-keluhan Charles di Rumah Singgah Anto­nius Padua, Jakarta. Juga, katanya, “saya sering dimarah-marahi sama Charles. Sempat merasa ikut ma­rah juga. Kadang-kadang lelah mendengar kerewelannya, sensitif­nya, dan kemauannya yang harus serba dituruti.

Kami berdua sering ribut dalam berbagai hal, misalnya saja urusan pakaian yang harus dikena­kan, memijat, cara memandikan­nya. Namun, perlahan, saya bisa “meladeni” Charles. “Semua butuh proses. Bertahun-tahun tak pernah ‘merawat’ orang sakit. Sekarang, saya agak jarang marah lagi bila dimarahi sama Charles. kita harus mengerti, dia kan orang sakit”, kata Wa-Gina.***

Eras Baum A

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

seventeen + 2 =