Tak kebetulan Fransiskus dipilih sebagai pelindung alam ciptaan yang keutuhannya kita perjuangkan. Pilihan itu disebabkan oleh cara baru Fransiskus menghayati injil dengan melibatkan alam semesta, kosmos. Spiritualitas yang serentak injili dan kosmis itu sehari-hari dihayati Fransiskus dalam Ekaristi.

Di situ Kristus dan hasil bumi menyatu secara menakjubkan. Ke dalam roti dan anggur yang dapat kita lihat dengan mata badani (Wasiat 21), Tuhan kita Yesus Kristus setiap hari bersedia turun dari surga ke atas altar dalam rupa yang sederhana itu (Petuah 1). “O keluhuran yang merendah! Tuhan semesta alam, Allah dan Putra Allah, begitu merendahkan diri-Nya, sampai Ia menyembunyikan diri di dalam rupa roti yang kecil itu, untuk keselamatan kita!” (SuratOrdo 27).

Pada zaman kaum Kathar menolak makna keselamatan alam ciptaan dan menjauhkan diri dari materi yang dipandang korup, Fransiskus justru menemukan kebaikan ilahi dan daya penyelamatan-Nya di dalam dunia jasmani yang diciptakan oleh Allah dengan sangat baik (Kej 1:31). Maka ia tidak menjauhkan diri dari dunia jasmani, tetapi terjun di dalamnya dan menikmatinya dalam kesederhanaan, tanpa menjadikan pemiliknya.

Melihat Penyelamat datang merendahkan diri ke dalam unsur-unsur jasmani, Fransiskus mengajak para saudara dan semua orang beriman untuk dengan penuh rasa hormat merendahkan diri pula di depan Kristus yang turun ke dalam roti dan anggur sesederhana ini (SuratOrdo 12-13).

Kerendahan hati di hadapan unsur alam yang diubah oleh Roh Tuhan, mengantarnya kepada kerendahan hati  dan rasa hormat di hadapan seluruh alam ciptaan Allah. Semuanya berbicara kepadanya tentang kemuliaan Allah.

Maka dalam ajakan-ajakan agar para saudara memuji Tuhan, ia berulang kali mengikutsertakan pula alam ciptaan. “Puji-pujilah Dia, hai langit dan bumi. Puji-pujilah Tuhan, hai semua sungai. … Hai semua makhluk, pujilah Tuhan. Semua unggas di udara, puja-pujilah Tuhan.” [1]

Setahun sebelum kematiannya, ketika sudah sakit keras dan merasa tertekan, setelah akhirnya mendapat kepastian tentang keselamatannya, Fransiskus terdorong untuk menulis  bagian pertama Gita Sang Surya, sebuah nyanyian puji syukur kepada “Tuhanku” oleh karena alam ciptaan itu.

Berbeda dengan keterpusatannya yang lazim kepada Kristus, dalam nyanyian ini Putra Allah tidak disebut. Yang disapa hanyalah Tuhan yang Mahatinggi. Manusia pun tampak absen dalam bagian pertama nyanyian, bahkan tak layak menyebut nama-Nya. Ia hanya hadir tak langsung sebagai penerima manfaat dari alam yang indah dan berfaedah itu. Karena alasan “penerima manfaat” yang sama juga tak ada binatang yang disebut. Yang Mahatinggi di sini dipuji karena alam yang tak bernyawa saja.

Yang paling mengharukan dalam Puji-Pujian Segala Makhluk ini ialah bahwa Fransiskus memperluas persaudaraannya sampai mencakup seluruh alam. Dunia di sekitar para saudara bukanlah objek kerja tangan mereka ataupun sarana hidup mereka tetapi subjek-subjek dalam suatu jalinan kekeluargaan yang universal. Matahari adalah saudara mereka (dialah juga disebut ‘tuan’ sebab menjadi lambang “Tuhanku”). Api dan angin pun saudara, sedangkan bulan, bintang-bintang, air, bumi, dan bahkan alam maut adalah saudari-saudari Fransiskus dan para saudara yang menyanyikannya.

Sementara manusia kurang menjawab panggilannya yang luhur di tengah dunia ciptaan Allah, para saudara-saudari yang lain itu, yang senantiasa menghiraukan Pencipta mereka, menjalankan suatu misi tersendiri dengan memberi contoh-contoh pelayanan yang merendah dan menyelamatkan.

Oleh karena kesetiaan mereka, Tuhan yang baik dan mahatinggi senantiasa dipuji dan dimuliakan; dan manusia diingatkan akan apa artinya sebuah relasi pelayanan yang rendah hati di hadapan Tuhan. Misalnya, Allah telah membuat matahari untuk memberi terang, dan saudara kita itu terus melakukannya, sedangkan api terus siap sedia bagi Tuhan untuk menerangi malam.

Bulan dan bintang tetap dengan  gemerlapan, megah, dan indah, berada di langit, tempat Tuhan telah memasang mereka. Tuhan dapat menopang hidup segala makhluk bernyawa karena saudara angin yang membawa segala macam cuaca, dan saudari air yang berfaedah, merendah dan murni, senantiasa menyuburkan saudari ibu pertiwi untuk menumbuhkan aneka macam buah-buahan, bunga-bunga dan rerumputan, untuk menyuap dan mengasuh kita. Melalui jalinan persaudaraan yang luas ini Tuhan yang baik, bon Signore, menyediakan semua yang berfaedah dan indah bagi kita, maka – demikian Fransiskus mengakhiri nyanyian pujiannya ‑ hendaklah kita memuji, bersyukur dan mengabdi kepada-Nya dengan sungguh-sungguh merendahkan diri, con grande umilitate.

Sementara tulisan-tulisan Fransiskus sendiri tidak berbicara tentang makhluk-makhluk yang bernyawa, pelbagai riwayat hidup Fransiskus justru banyak bercerita tentang hubungan sang santo dengan mereka. Thomas Celano menceritakan bahwa hubungan persaudaraan kosmis yang penuh sukacita dan pujian, baru tumbuh dalam diri Fransiskus setelah ia bertobat, menolak warisannya di depan uskup Guido dan mengalami pelbagai cobaan lain (1 Cel 16).

Dari situ ia mulai melihat kesaksian yang diberikan makhluk-makhluk bernyawa yang lain itu kepada manusia seperti dirinya  yang masih mencari kehendak Allah. Misalnya,  Ia takjub ketika burung-burung yang ia beri salam, menanggapi dengan hinggap dan mendengarkan sabda Allah yang ia wartakan, dan baru mau terbang lagi setelah diberkati (1Cel 58). Sejak hari itu ia mulai mengajak semua binatang dan makhluk lain untuk memuji Pencipta, dan dirinya selalu diingatkan oleh contoh mereka untuk melakukannya juga.

Selain mempunyai mata untuk melihat contoh saudara-saudarinya ini, ia juga punya telinga untuk mendengar – seperti dikatakan Paulus – keluh-kesah seluruh makhluk yang ditaklukkan kepada kesia-siaan. Celano menceritakan bagaimana hati Fransiskus sering tergerak oleh makhluk bernyawa yang menderita.

Ia membebaskan seekor domba yang dikepung kambing-kambing, karena domba mengingatkannya akan penderitaan Kristus. Ia mempercayakannya kepada kaum biarawati San Severino yang kemudian membuat jubah bagi Fransiskus dari bulu domba itu (1Cel. 77-78). Ia menyelamatkan cacing dengan memindahkannya ke pinggir jalan, dan di musim dingin ia menyediakan madu dan anggur bagi lebah (80).

Ia membebaskan seekor kelinci dari perangkap, dan mengembalikan ikan yang diberi kepadanya ke danau,  tidak tanpa memperingatkan mereka agar jangan ditangkap lagi (60-61). Bagi Celano hubungan kekerabatan Fransiskus dengan dunia ciptaan tampak merupakan perwujudan dari harapan Paulus untuk segala makhluk, ketika ia menulis bahwa Fransiskus “menangkap rahasia hati segala makhluk seperti seorang yang telah ‘masuk ke dalam kemerdekaan kemuliaan anak-anak Allah” (Rom 8:20-23; 1Cel. 81).

Gambaran kaya 1 Celano akan hubungan kekeluargaan Fransiskus dengan makhluk-makhluk lain diperdalam di Legenda Major Santo Bonaventura. Menurutnya, kelimpahan kasih Kristuslah yang menggerakkan Fransiskus untuk memeluk bukan hanya orang kusta tetapi juga semua makhluk di bumi sebagai saudaranya. Perhatiannya untuk kebutuhan mereka, dijawab mereka dengan pelayanan yang lembut dari pihak mereka pula, seperti dialami Fransiskus ketika seorang dokter mengobati matanya dengan memakai api yang atas permohonan sang kudus tidak menyakitkannya (LM 5:9).

Saudari jangkerik rela memenuhi undangan sang kudus untuk selama delapan hari datang hadir di tengah para saudara agar mereka tergerak untuk memuji Tuhan bersama saudari mereka itu (LM 8-9). Fransiskus juga membawa pendamaian antara manusia dan ciptaan, seperti ketika ia mengajak penduduk Grecchio untuk bertobat, lalu ladang gandum mereka tidak lagi dihancurkan oleh hujan es dan hewan mereka tidak lagi diancam oleh serigala. Spiritualitas kosmis yang Bonaventura temukan dalam Fransiskus, akan membantu dia untuk mengembangkan suatu teologi kosmis tersendiri.

Spiritualitas injili dan kosmis Fransiskus begitu kuat dan segar sehingga sejak awal mengilhami para pengikutnya untuk mendekati alam ciptaan dengan cara yang baru. Maka tak salah kalau kita yang sekarang mencari suatu spiritualitas ekologis, kembali membuka diri bagi spiritualitas Fransiskus itu. (Sdr. Martin Harun, OFM seorang Imam Fransiskan dan Dosen Emeritus Kitab Suci DI STF Driyarkara)

 

Kepustakaan:

Johnson, Timothy J, “Francis and Creation,” in: The Cambridge Companion to Francis of Assisi, ed. Michael J.P. Robson, Cambridge UP, 2012, pp. 143-58.

Vauchez, André, Francis of Assisi: The Life and Afterlife of a Medieval Saint, New Haven: Yale UP, 2012, 271-82.

[1]     Ajakan Memuji Allah 5-6, 11-12, 15; juga Pujian Yang Diucapkan Pada Semua Waktu Ibadat 3, 5, 8; dan Ibadat Sengsara, Untuk Ibadat Vesper 4).

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

10 − 1 =