Oleh: Valens Dulmin, Tim Riset dan Advokasi JPIC OFM
Mungkin banyak diantara kita yang sudah bosan bicara atau membaca topik tentang tambang. Atau mungkin geli dan merasa muak bila topik itu terus dibicarakan. Karena isinya hanya itu-itu saja: tambang merusak lingkungan, tambang merambah hutan lindung, pemerintah pro tambang, pemerintah selingkuh dengan perusahaan tambang, masyarakat lingkar tambang menjadi miskin, tambang menyejahterahkan, pertambangan melanggar HAM dan hak-hak masyarakat. Belum lagi kalau kita mendengar bagaimana pemerintah lokal kalah dari perusahaan tambang di Pengadilan.
Pemerintah Kabupaten Manggarai dan Kabupaten Manggarai Barat adalah dua contoh pemerintahan yang kalah dalam pengadilan ketika bersentuhan dengan tambang. Kekalahan itu menjadi dasar bagi para pengusaha tambang untuk kembali menggerus, menggali dan menghancurkan lahan-lahan, kebun, hutan yang seharusnya untuk kepentingan masyarakat banyak.
Kendatipun demikian tetap harus diakui bahwa tambang, dan tentu juga perkebunan kelapa sawit, memang penghancur utama tatanan lingkungan yang harmonis.
Pengakuan tentang perusahaan khususnya pertambangan, perkebunan berskala besar seperti kelapa sawit, dan hutan tanaman industri sebagai pelaku utama perusak lingkungan bukanlah tanpa alasan. Data Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Nasional menegaskan bahwa persentase perusakan dan pencemaran oleh korporasi menembus angka 82,5%. Dalam hal ini, pertambangan dan hutan tanaman industri (HTI) telah menjadi predator puncak ekologis.
Walhi juga mencatat bahwa ada beberapa modus yang dilakukan oleh perusahaan besar untuk memuluskan bisnisnya yang pada akhirnya merusak lingkungan, seperti gratifikasi dalam proses penetapan tata ruang kabupaten, gratifikasi terjadi saat proses tanah hasil alih fungsi, fasilitas proses pengkajian, dan kunjungan kelapangan. Selain itu modus lain adalah melalui suap untuk mempengaruhi usulan review kawasan hutan dari Gubernur ke Kementerian Kehutanan.
Kejatahan terhadap kemanusiaan
Aktivitas pertambangan sebenarnya tidak hanya merusak lingkungan alam, menimbulkan pencemaran, tetapi juga rentan dengan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. World Resources Institute ( 2003 ) pernah melaporkan bahwa sebagian besar tambang di dunia baik yang aktif maupun sedang dieksplorasi berada di lingkungan dan daerah yang sangat rentan, yang banyak dihuni oleh masyarakat adat.
Kelompok-kelompok inilah yang rentan terhadap manipulasi, pembohongan, penipuan dan hak-hak mereka sering dilanggar bahkan terjadi juga tindakan kekerasan dan kriminalisasi.
Aktivitas pertambangan, dalam praktiknya juga menjadi tombak depan terjadinya pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat khususnya masyarakat adat, masyarakat sederhana yang tinggal di daerah sekitar tambang. Kehadiran tambang telah melanggengkan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia, melanggengkan penipuan dan manipulasi, melanggengkan merajalelanya berbagai penyakit, dan membuat masyarakat yang menolak pertambangan menjadi masyarakat yang terpidana dan karenanya harus ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara demi menjaga agar pertambangan tetap berjalan mulus menghancurkan tanah, kebun dan air.
Dengan demikian kita harus mengatakan bahwa perusakan terhadap lingkungan alam sebenarnya sebuah praktik nyata kejahatan terhadap kemanusiaan. Banyak orang, secara khusus yang berdiam di daerah lingkar tambang mengalami penderitaan baik fisik maupun mental.
Mereka tidak punyak akses lagi terhadap alamnya sebagai sumber kehidupan mereka, karena tanah dan hutan diambil oleh perusahaan tambang. Secara mental pun mereka menjadi orang asing di tanah mereka sendiri, mereka takut untuk bicara karena mereka dikelilingi oleh aparat penjaga perusahaan yang sewaktu-waktu menggunakan kekerasan kalau masyarakat berusaha menghalangi kegiatan pertambangan.
Praktek pelanggaran terhadap warga yang dilakukan oleh perusahaan tambang tentu saja menimbulkan reaksi dari masyarakat setempat dan berbagai pihak yang pro terhadap lingkungan hidup dan hak-hak asasi manusia. Perlawanan atau penolakan masyarakat terhadap tambang atau perkebunan sawit harus dinilai sebagai sebuah perlawanan terhadap kejahatan kemanusiaan**