Panggilan hidup membiara pada prinsipnya adalah sebuah panggilan Revolusioner untuk mewujudkan keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan sebagai konsekuensi atas panggilan untuk mewartakan Kerajaan Allah, kerajaan yang adil, damai, dan berkeutuhan. Jika itu telah luntur, maka Revolusi Mental dalam hidup religius mutlak perlu, salah satunya dengan meningkatkan semangat ber-JPIC. Berikut ini petikan wawancara kami dengan direktur JPIC OFM Indonesia, Sdr. Petrus Kanisius Aman, OFM.
Apa pentingnya JPIC dalam Hidup Membiara?
Kita harus memulai dengan mengatakan bahwa nilai-nilai JPIC itu adalah nilai-nilai revolusioner dalam kehidupan religius. Mengapa? Karena nilai-nilai tersebut menyadarkan kembali akan substansi pokok dari kehidupan religius itu sendiri, yakni memberikan kesaksian tentang kehidupan Kerajaan Allah di dunia ini.
Karena itu, hidup religius harus revolusioner, dalam arti harus menampilkan suatu model hidup berdasarkan suatu nilai yang bukan merupakan nilai favorit dari dunia ini. Tetapi nilai-nilai Kerajaan Allah, yang kalau dihayati menantang atau dalam arti tertentu memaksa orang untuk meninggalkan atau melepaskan segala macam kecenderungan hidup yang diukur oleh nilai-nilai duniawi.
Dalam arti itulah kita mengayati hidup religius itu sebagai suatu cara hidup yang revolusioner.
Selanjutnya, isi dari kesaksian hidup religius itu sendiri. Dahulu orang selalu memahami hidup religius itu sebagai cara hidup yang hanya berkaitan dengan hal-hal spiritual, kerohanian, doa dan refleksi. Sekarang dengan nilai-nilai JPIC, kaum religius dipaksa untuk mewujudkan secara konkrit di tengah-tengah dunia nilai-nilai Kerajaan Allah yaitu nilai keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan.
Nah, dengan menghayati nilai keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan mestinya juga ada revolusi dalam perspektif dan cara melihat kehidupan religius, yaitu tidak melihat keterlibatan pada bidang JPIC dan kehidupan rohani yang dikaitkan dengan hidup doa sebagai dua hal yang bertentangan, tetapi merupakan dua hal yang harus bersatu, tetapi merupakan yang integral dari suatu kehidupan religius.
Karena itu, ber-JPIC bukan pertama-tama suatu kegiatan tetapi merupakan suatu teologi, yaitu suatu refleksi iman yang harus berbuah pada aksi dan dari aksi kemudian direfleksikan kembali sehingga orang diperkaya juga secara spiritual. Keterlibatan pada JPIC harus memperkaya sesorang, harus mengoptimalkan dimensi spiritual dari kehidupan seseorang. Dalam arti itu, butuh revolusi.
Pertama, revolusi cara pandang tentang hidup religius itu sendiri dan kemudian revolusi pemahaman tentang hidup spiritual dengan tidak melihatnya sebagai sesuatu yang abstrak spiritual tetapi merupakan hidup spiritual yang transformatif, yang mampu mengubah dunia, menjadikan dunia lebih baik, lebih adil, lebih damai dan lebih utuh. Dalam arti itu hidup religius sudah merupakan suatu revolusi, dengan nilai-nilai JPIC yang ada di dalamnya.
Tantangannya?
Tantangan terbesarnya adalah komitmen orang pada hidup religius itu sendiri. Saya yakin, kalau secara spiritual seseorang sungguh-sungguh matang, mantap dan berkomitmen, maka secara sosial dan secara manusiawi dia juga akan sungguh-sungguh berkomitmen. Karena apa? Hal spiritual itu menyangkut relasi orang dengan Allah.
Kalau orang sungguh-sungguh masuk dalam relasi dengan Allah – sebagaimana seorang nabi yang punya kedalaman relasi dengan Allah memiliki patos atau keprihatinan seperti Allah, maka tidak bisa tidak seorang religius juga akan masuk dalam kehidupan manusia yang sungguh-sungguh dalam memperjuangkan nilai-nilai keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan. Jadi, tantangan utamanya adalah mutu hidup religius itu sendiri.
Apakah hidup religius kita sungguh-sungguh bermutu? Kalau orang punya mutu hidup religius, pasti dia punya komitmen, yang membuat dia rela berkorban, merelakan kesenangan diri sendiri untuk mewujudkan nilai-nilai substansif dari hidup religius itu sendiri, terutama dalam memperjuangakan nilai keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan.
Selain itu, bahaya sekarang sebagaimana dikatakan John Sobrino, terjadi pembalikan. Jika dulu dunia melihat hidup religius sebagai sebuah hidup alternatif, tetapi sekarang malah kaum religius yang mengikuti kecendrungan dunia, sehingga kehilangan jati diri sebagai suatu model hidup alternatif, model hidup yang revolusioner di tengah dunia sekarang ini.
Khusus bagi para Fransiskan?
Fransiskan sekarang mesti kembali kepada identitas Fransiskan itu sendiri sebagaiman diwariskan oleh St. Fransiskus. Mungkin secara retorik kita sering mengatakan bahwa JPIC itu sebagai suatu cara hidup, suatu DNA, tetapi apa artinya bagi setiap Fransiskan secara individual? Mungkin ini yang kurang menjadi bahan refleksi dan garapan perjuangan menjadi Fransiskan secara personal.
Kita umumnya tidak bergulat secara pribadi, selalu berbicara tentang persaudaraan, meski itu sangat penting. Tetapi perlu diingat bahwa persaudaraan yang baik itu keluar dari mutu kehidupan pribadi. Yang masih kurang bagi kita, pada level pribadi setiap saudara, komitmen untuk mewujudkan nilai – nilai tersebut belum optimal. Karena dalam level pribadi hal itu tidak ada, maka setiap upaya bersama untuk mewujudkan nilai JPIC itu sebagai cara hidup Fransiskan, sebagai DNA tidak tercapai. Setiap orang tidak rela, tidak mau dan tidak punya komitmen.
Ada komentar bahwa JPIC itu hanya sebagai gerakan. Tanggapan Pater?
Hal itu merupakan ekspresi atau tanda bahwa kita belum sungguh-sungguh memahami atau tepatnya spirit JPIC belum sampai pada level pribadi. Setiap saudara belum sungguh-sungguh mampu menjawab pertanyaan, apa artinya menjadi Fransiskan bagiku dan untuk dunia sekarang ini?
Kita masih diwarisi oleh pemahaman hidup religius tempo dulu, sebagaimana telah dikatakan di atas, sehingga melihat kepedulian pada nilai-nilai keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan sebagai hal di luar dari kehidupan religius itu. Padahal, kalau kita menghayati sungguh-sungguh spiritualitas kita, maka kita tidak bisa tidak peduli.
Mengapa Fransiskus bisa begitu dekat dengan Allah melalu pengalaman perjumpaannya dengan alam, orang kusta dan lain sebagainya? Semuanya kembali pada mutu kehidupan religius kita. Apakah kita sungguh-sungguh dekat dengan Allah? Orang yang dekat dengan Allah pasti dekat dengan orang lain, terutama dengan mereka yang menderita dan dekat dengan seluruh ciptaan Allah. Mungkin juga kita yang terlibat dalam bidang JPIC belum sungguh-sungguh menghidupinya. Itu juga tantangan bagi kita.
Karena itu hal tersebut dilihat sebagai panggilan untuk secara bersama-sama lebih sungguh-sungguh lagi dalam meningkatkan mutu hidup religius kita. Masih banyak yang harus kita kerjakan untuk memperjuangkan bahwa JPIC itu sungguh-sungguh nilai hidup religus bukan sekedar gerakan.
Pesan Bagi Fransiskan Muda?
Perlu tumbuh kebanggaan dalam diri, bahwa kita ini adalah Fransiskan, kita harus menunjukkan bahwa kita bersukacita menjadi seorang Fransiskan. Kalau hal itu ada, maka ia akan senang memperlihatkannya dalam perilaku atau dalam sikap. Kalau orang tidak bahagia dengan cara hidup yang dipilih maka, ia akan hidup seadanya saja, tidak mengejar bahwa ada nilai lain, ada nilai khusus yang bisa saya tawarkan kepada dunia dengan hidup sebagai Fransiskan. Hal itulah yang dikerjakan sebagai panggilan dan juga sebagai tanggung jawab personal sebagai manusia bahwa kita selalu hidup bersama orang lain. (Sdr. Charles Talu, OFM, staf JPIC OFM Indonesia)