Oleh: Alex Lanur OFM, Biarawan Fransiskan dan Guru Besar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta
Saya kira St. Fransiskus dari Asisi kurang tahu tentang apa “hakekat” agama. Para ahli saja mengatakan bahwa agama sulit didefinisikan. Yang ahli saja sampai pada kesimpulan seperti itu. Apa yang dapat diharapkan dari seorang St. Fransiskus dari Asisi yang pendidikan formalnya barangkali tidak sampai tamat SD.
Namun, hal itu sama sekali tidak menyatakan bahwa dia tidak tahu apa yang paling penting dalam agama yang dianutnya. Dia adalah seorang Katolik. Kiranya dia lebih merupakan seorang yang menghayati apa yang diajarkan oleh agamanya daripada seorang yang banyak berpikir tentangnya. Dia sangat yakin akan Tuhan macam mana yang diimaninya dalam agamanya, akan manusia dan akan makhluk-makhluk lain sebagai ciptaan Tuhan sebagaimana diajarkan oleh agamanya. Namun semua hal ini tidak terjadi tiba-tiba. Meskipun dia dipanggil secara khusus oleh Tuhan, namun dia juga mengalami perkembangan dalam pengetahuan dan keyakinannya.
Sebelum “mengunjungi” Tanah Suci (Palestina) dia sudah mendengar tentang adanya kaum Muslimin dan agamanya. Sesudah kembali dari Tanah Suci dia sangat terkesan, paling tidak, oleh seruan adzan yang didengarnya di daerah-daerah Islam yang dilaluinya. Karena itu dia menginginkan agar hal seperti itu juga dijalankan di daerah Kristen (bdk. SurPim 7-8).
Dengan pengetahuan teoretis yang tidak seberapa banyak tentang agama Katolik yang dianutnya sebagai seorang Katolik (AngTBul XIX: 1-3) St. Fransiskus dari Asisi mendekati orang-orang Katolik dan bergaul dengan mereka. Dia juga mendekati dan menghadapi orang-orang Katolik yang menjadi bidaah serta orang-orang Muslimin dan orang-orang tak beriman pada zamannya (bdk.AngTBul XVI; AngBul XII: 1-2). Pergaulannya yang sangat erat dan mesra dengan Allah mendasari, menjiwai serta mengarahkan hubungannya dengan siapa saja dan dengan orang yang beragama apa saja, khususnya dengan orang-orang yang beragama Kristen dan Islam pada zamannya.
Namun, kamu semua adalah saudara
Bagi St. Fransiskus dari Asisi semua orang adalah saudara dan saudarinya. Dia sangat yakin akan kebenaran tersebut. Bersaudara, menurutnya, berarti di hadapan Tuhan seseorang merasa, mengalami, menghayati dan yakin bahwa dirinya setara dan sederajat saja dengan orang-orang lain. Mengapa demikian? Sebab dia merasa, mengalami, menghayati dan yakin bahwa dia sendiri dan orang-orang lain sebenarnya diciptakan oleh Allah yang sama saja. Karena itu baginya Allah adalah Sang Pencipta dan Bapanya yang mahabaik. Selanjutnya, dia juga merasa, mengalami, menghayati dan yakin bahwa dia sendiri dan orang-orang lain adalah pendosa. Dan sebagai pendosa bersama dengan orang-orang lain dia membutuhkan uluran tangan penuh kasih dan pengampunan atas dosa-dosanya dari Allah yang sama. Dan akhirnya, oleh Allah yang sama dia dan mereka juga dihimbau, dianjurkan dan bahkan diperintahkan untuk saling melayani dengan penuh kasih.
Karena itu, mengapa sebagai manusia orang yang satu masih membenci, masih merendahkan, masih meghina dan bahkan masih membinasakan orang yang lain. Bukankah mereka semua pada dasarnya adalah saudara satu sama lain, terutama karena mereka semua diciptakan oleh Allah, Bapa yang sama dan sangat dicintai oleh-Nya? Dari sudut itu sebenarnya tidak ada alasan apa pun untuk saling bermusuhan dan saling membinasakan bukan hanya sebagai manusia, tetapi juga sebagai orang yang menganut agama yang berbeda satu sama lain.
St. Fransiskus dari Asisi dengan para bidaah pada zamannya
Pada zaman St. Fransiskus dari Asisi dan bahkan sebelumnya muncullah dalam Gereja Katolik beberapa kelompok bidaah. Para penganutnya cukup tersebar di Eropa pada wktu itu. Antara lain, ada bidaah kaum Waldenses, bidaah kaum Humiliati dan bidaah kaum Kathari. Karena ajarannya yang sesat itu kaum Waldenses akhirnya dikucilkan dari Gereja Katolik dalam Konsili Verona pada 1184. Hal yang sama juga terjadi dengan kaum Humiliati. Mereka juga dikucilkan dari Gereja Katolik dalam Konsili yang sama. Kaum Kathari mengalami yang berikut. Mereka membahayakan tatanan masyarakat. Karena itu mereka perlu dihadapi dengan kekerasan senjata. Ada semacam “perang salib” untuk membinasakan mereka.
Dalam kaitan dengan para bidaah ini St. Fransiskus dari Asisi mempunyai caranya sendiri untuk menghadapinya. Dia memberikan jawaban pada ajaran bidaah pada zamannya, pertama, dengan kehidupan yang baik, dengan hidup beriman yang tidak goyah dan doa yang tiada putus-putusnya juga untuk para bidaah itu. Dia tidak menghadapi mereka secara apologetis atau defensif, tetapi dengan menampilkan kehidupan yang jujur dan benar di hadapan manusia dan di hadapan Allah sendiri. Selanjutnya, dia juga memberikan pengajaran yang benar pada semua orang yang membantu para bidaah itu. Dengan demikian dia menjawab mereka lebih dengan perbuatan baik, dengan teladan yang baik daripada dengan perkataan. Kebencian mereka dihadapinya dengan cinta kasih yang berkobar-kobar akan mereka. Dia tidak percaya dan yakin bahwa kekerasan dapat menyebabkan para bidaah itu berubah haluan dan bertobat.
Secara singkat hal itu, antara lain, ditunjukkan oleh pernyataan yang berikut: “Dan bilamana kita melihat atau mendengar orang mengatakan atau melakukan yang jahat atau menghojat Allah, maka marilah kita mengatakan dan melakukan yang baik dan memuliakan Allah yang terpuji selama-lamanya” (AngTBul XVII: 19). Dengan demikian dia menjadi alat di tangan Allah sendiri, yang dipakai oleh-Nya untuk menyelamatkan para bidaah itu dan bahkan umat manusia seluruhnya.
St. Fransiskus dari Asisi dan kaum Muslimin serta kaum tak beriman
Pada zaman St. Fransiskus dari Asisi perdagangan antara Timur dan Barat berjalan lancar. Selain itu juga terjadi Perang Salib. Perang tersebut bermaksud merebut kembali Tanah Suci dari tangan kaum Muslimin. Paling tidak, kedua hal itu membuka mata orang Kristen, khususnya di Itali, akan adanya kaum Muslimin di belahan Timur dunia ini. Mereka ini belum mengenal Injil.
Karena itu juga muncul keinginan untuk “mengkristenkan” mereka. Dan Perang Salib dilihat sebagai salah satu cara untuk itu. Tetapi cara itu ternyata gagal, bahkan gagal sama sekali.
St. Fransiskus dari Asisi mendapat gagasan untuk mewartakan Injil perdamaian kepada kaum Muslimin tanpa menggunakan senjata. Karena itu pada 1212-1213 dia bermaksud untuk pergi ke Palestina dan Syria. Maksud ini tidak tercapai, karena kapal yang ditumpanginya karam. Pada 1214 dia berusaha lagi untuk “mendekati” kaum Muslimin di Spanyol dan Afrika Utara. Usaha itu juga gagal, karena dia jatuh sakit. Akhirnya pada 1219 sekali lagi dia mencoba mewujudkan cita-citanya yang sudah dua kali gagal itu. Dari Ancona (Itali) dia menuju ke Mesir. Dan berhasil. Pada waktu itu tentara Kristen sedang mengepung kota pelabuhan Damieta.
Mula-mula dia pergi kepada tentara Kristen. Namun tentara itu sedang berada dalam kekacauan. Dia berusaha mendamaikannya, tetapi tidak berhasil.
Lalu dia meninggalkan tentara Kristen dan berusaha “mendekati” Sultan Melek-al-Kamil, Sultan Mesir, yang memimpin pasukan kaum Muslimin pada waktu itu. Dia berhasil dan diizinkan berkhotbah di depannya. Diri St. Fransiskus dari Asisi sendiri, cara bicaranya dan cara dia membawa dirinya mengesan di hati Sultan itu.
Selain itu, salah satu tulisan St. Fransiskus dari Asisi berjudul: “Mereka yang pergi ke tengah kaum Muslimin dan orang tak beriman” (AngTBul XVI; AngBul XII). Kami kutip apa yang dikatakannya dalam tulisan itu. “Saudara-saudara yang pergi (kepada kaum Muslimin dan orang tak beriman) dapat membawa diri secara rohani di antara orang-orang itu dengan dua cara. Cara yang satu ialah: tidak menimbulkan perselisihan dan pertengkaran, tetapi hendaklah mereka tunduk kepada setiap makhluk insani karena Allah dan mengakui bahwa mereka orang Kristen. Cara yang lain ialah: mewartakan firman Allah, bila hal itu mereka anggap berkenan kepada Allah, supaya orang percaya akan Allah yang mahakuasa,…Pencipta segala sesuatu… dan supaya dibaptis dan menjadi Kristen…” (AngTBul XVI: 5-7).
St. Fransiskus dari Asisi sebenarnya lebih suka akan cara yang pertama, meskipun cara yang kedua bukan tidak mendapat perhatian darinya. Dia lebih senang bahwa para penganutnya berkhotbah dengan perbuatan baik, dengan contoh hidup yang baik, bukan dengan bertengkar dan menyakitkan hati orang lain, bukan dengan merendahkan dan menjelekkan agama yang lain serta orang-orang yang menganut agama yang lain itu. Dia menghendaki bahwa semuanya berlangsung dalam keadaan damai dan penuh kerendahan hati, seperti yang, antara lain, ditunjukkannya di depan Sultan Mesir itu.
St. Fransiskus dari Asisi mengalami, menghayati dan yakin bahwa semua orang adalah saudaranya. Dia dan mereka diciptakan dan dicintai oleh Allah Sang Pencipta dan Bapa yang mahabaik dan penuh kasih yang sama. Mereka adalah anak-anak-Nya yang sangat dicintai oleh-Nya. Karena itu tidak ada alasan bagi manusia dan manusia yang beragama manapun untuk melakukan kekerasan, untuk saling membenci, saling menghina, saling merendahkan dan bahkan saling membinasakan.
Diri St. Fransiskus dari Asisi, sikapnya serta tulisannya menunjukkan bahwa dia penuh kedamaian dan menghendaki agar kedamaian dan perdamaian itu berbuah secara konkret dalam kehidupannya sendiri dan dalam diri serta kehidupan orang-orang lain. Dengan demikian akan terjadilah bahwa diri dan hidupnya menjadi pewartaan tentang cinta kasih, penghargaan yang tulus akan diri dan kehidupan orang-orang lain, menjadi pewartaan kedamaian dan perdamaian yang sangat didambakan oleh siapa pun.
Betapa banyaknya orang di dunia ini yang menempuh cara hidup sebagaimana dijalankan oleh St. Fransiskusdari Asisi itu. Di Indonesia juga tidak kurang jumlahnya. Tidak mungkinkah mereka itu menjadi pengkhotbah yang ulung, yang seluruh diri dan kehidupannya menjadi khotbah abadi tentang perdamaian, keadilan dan cinta kasih tanpa pamrih yang sudah diwujudkan oleh Bapa Pendirinya selama hidupnya di dunia ini?