Oleh: Dr. Peter C. Aman OFM, Biarawan Fransiskan, Direktur JPIC OFM dan Dosen di STF Driyarkara, Jakarta
Pada saat terakhir hidupnya, Fransiskus mengatakan kepada para pengikutnya: “Aku telah menyelesaikan apa yang menjadi bagianku dan selanjutnya kalian mesti menyelesaikan apa yang menjadi bagian kalian”. Apa yang dimaksudkan Fransiskus adalah hidup menurut injil yang telah dijanjikan dan dijalankannya dalam seluruh hidupnya. Fransiskus meminta para pengikutnya agar mereka setia menjalani hidup menurut Injil atau mengikuti jejak Tuhan kita Yesus Kristus.
Bagi Fransiskus, hidup menurut Injil berarti menyerupai atau meniru Yesus Kristus serta meneruskan tugas perutusan Kristus. Karena itu apa yang dijanjikan Fransiskus sebenarnya merupakan sesuatu yang berlaku bagi semua orang Kristen, karena orang-orang Kristen pun berjanji untuk mengikuti jejak Kristus serta meneruskan tugas perutusannya.
Panggilan Kristiani
Panggilan kristiani tidak dapat dipisahkan dari tugas perutusan Yesus Kristus sendiri. Inti tugas perutusan Yesus Kristus ditegaskan-Nya ketika pertama kali tampil di depan umum. Penginjil Markus menulis begini: Bertobatlah sebab Kerajaan Allah sudah dekat (Mk 1:15). Para pendengar diminta agar bertobat, memperbaharui serta menyesuaikan diri dengan hidup baru sebagaimana dituntut Kerajaan Allah. Umumnya orang memahami Kerajaan Allah sebagai kondisi serta situasi hidup di mana Allah meraja; dan di mana Allah meraja maka manusia menikmati keselamatan, kedamaian dan sukacita.
Yesus menyadari bahwa tugas perutusan-Nya adalah menegakkan Kerajaan Allah, sehingga ketika tampil di kampung halamannya Nazareth, ia menyampaikan hal berikut ini: “Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan khabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang” (Lk 4:18-19). Dari apa yang disampaikan Yesus ini, kita menemukan bahwa penegakan Kerajaan Allah terkait erat dengan pembebasan, penglihatan, sukacita, kegembiraan serta perwujudan keadilan. Pokok-pokok tersebut bahkan dapat dikatakan sebagai hal-hal pokok yang tidak dapat tidak ada dalam kerajaan Allah yang ingin ditegakkan Yesus. Lebih dari itu apa yang disampaikan Yesus sebenarnya merupakan hal-hal yang paling didambakan dan dirindukan manusia untuk diwujudkan dan dialami dalam kehidupan di dunia ini.
Karena itu setia pada tugas perutusan Yesus Kristus berarti peduli serta turut berperan aktif mewujudkan pembebasan, keadilan, sukacita dan damai. Keselamatan yang dikerjakan Allah dalam Yesus Kristus mencakup serta meliputi kehidupan manusia dalam seluruh sisinya serta mencakup seluruh alam semesta. St Paulus dengan jelas mengatakan hal itu kepada umat di Efesus bahwa Yesus Kristus adalah damai sejahtera kita (bdk. Ef 2:14). Yesus Kristus menjadi damai sejahtera karena segala sesuatu ada dalam Dia dan diciptakan dalam Dia (bdk. Kol 1: 15-22). Dari pernyataan Paulus ini menjadi jelas bahwa tidak ada sesuatu pun di dunia ini yang tidak berhubungan dengan Yesus Kristus dan bahwa segala sesuatu bersatu dengan dan dalam Dia.
Pernyataan Paulus ini tidak dapat dilepaskan dari apa yang dikatakannya tentang Yesus dalam suratnya kepada umat di Korintus di mana dia menyebut Yesus Kristus sebagai ‘hikmat Allah’ atau kebijaksanaan Allah (bdk. 1 Kor 1: 24). Di sini hikmat atau kebijaksanaan bukan lagi sekedar nilai atau kebajikan, tetapi pribadi. Nah sebagai pribadi ‘hikmat Allah’ itu mendahului segala sesuatu dan bersama Allah menciptakan segala sesuatu (bdk. Ams 8: 22-31).
Ketika kita mengakui dan mengamini bahwa Yesus Kristus adalah pokok iman kita dan bahwa dengan menjadi Kristen kita menyatakan diri bersedia mengikuti Dia dan menjadikan Dia sumber dan model kehidupan kita, maka dengan sendirinya kepedulian serta partisipasi dalam mewujudkan keadilan, damai, sukacita serta keutuhan ciptaan bersumber dan berpangkal pada iman akan Yesus Kristus itu. Bagi orang Kristen perjuangan mewujudkan keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan merupakan perkara iman dan menyangkut seluruh keberadaaan serta mutu hidup beriman sebagai orang Kristen. Orang Kristen adalah penerus tugas perutusan Yesus Kristus agar keselamatan sampai ke ujung bumi serta mencapai kepenuhannya.
Karena menyangkut iman serta mutu hidup sebagai orang Kristen maka keterlibatan serta kepedulian orang Kristen mesti bersumber pada relasi serta kesatuannya dengan Kristus. Tentang hal ini St. Paulus mengatakan bahwa orang Kristen harus memiliki pikiran dan perasaan yang juga ada dalam Kristus (Flp 2:5).
Apa yang digarisbawahi Paulus adalah bahwa orang Kristen, karena kesatuannya dengan Kristus, mau tidak mau meneruskan tugas perutusan Kristus karena sesungguhnya Yesus Kristus sendirilah yang menjiwai, menyemangati dan bahkan hadir dalam diri setiap orang Kristen (bdk Gal 2:20) dan Yesus pun menjanjikan pendampingan serta kehadiran-Nya terus menerus dalam umat-Nya sampai akhir zaman (bdk. Mt 28:20).
Inilah yang menjadi dasar mengapa Para Uskup Sedunia di tahun 1971 menegaskan bahwa untuk zaman sekarang ini tugas mewartakan Injil tidak bisa dilepaskan dari tugas mewujudkan keadilan karena mewujudkan keadilan merupakan inti pokok dari khabar gembira Injil. Tak ada pewartaan khabar gembira tanpa memperjuangkan keadilan. (bdk. Keadilan di Dunia no.6) Setia pada tugas perutusannya yang bersumber pada tugas perutusan Kristus, maka Gereja dan setiap orang Kristen adalah pelaku serta pejuang keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan.
Panggilan Fransiskan
Sebagaimana sudah dikemukakan sebelumnya bahwa inti hidup setiap Fransiskan pada dasarnya sama dengan inti hidup setiap orang Kristen yakni mengikuti Yesus Kristus dan setia menepati Injil. Hal itu sudah ditetapkan oleh Fransiskus pada awal Anggaran Dasar yang ditulisnya untuk para saudara yang sedang dan akan mengikutinya.
Apa yang membuat para Fransiskan terbedakan dari orang Kristen pada umumnya adalah bahwa hidup mereka yang berpangkal-sumber pada Yesus Kristus serta Injilnya, menemukan pola serta modelnya pada cara hidup St. Fransiskus dari Assisi. Kesetiaan serta kesungguhan St. Fransiskus dalam mengikuti Yesus Kristus antara lain terungkap dalam sejumlah inti pokok dari cara hidupnya, seperti kepeduliaan pada orang-orang miskin serta terbuang; cinta damai dan anti kekerasan; kesatuan serta hormatnya pada seluruh makhluk ciptaan yang disebutnya sebagai saudara-saudari. Selain itu, tentu saja, keserupaannya dengan Yesus Kristus yang tersalib.
Kepedulian St. Fransiskus pada orang-orang miskin dan terbuang terlihat dalam cara hidupnya sendiri serta kedekatan dan cintanya pada orang miskin dan orang kusta yang merupakan kelompok terbuang dari masyarakat pada masa itu. Pola hidupnya yang anti kekerasan dan cinta damai bersumber pada sikap hidup serta ajaran Yesus sendiri: mengampuni orang yang bersalah, tidak membalas kejahatan dengan kejahatan tetapi sebaliknya mencintai musuh, berdoa untuk yang menganiaya serta memberikan pipi yang satu ketika pipi yang lain ditampar. Demikian juga kesatuan St. Fransiskus Assisi dengan seluruh makhluk ciptaan – yang disapanya sebagai saudara-saudari – bersumber pada kesadaran serta keyakinannya akan kesatuan segala sesuatu karena diciptakan oleh Pencipta yang sama serta kesatuan seluruh makhluk ciptaan dengan dan dalam Yesus Kristus sebagai yang utama dan yang sulung dari segala yang diciptakan. Bagi Fransiskus alam ciptaan memperlihatkan keindahan serta kemahabesaran si Pencipta, tetapi alam ciptaan adalah juga ‘sesama ciptaan’ bagi manusia, sehingga mereka adalah saudara dan saudari.
Setia pada cara hidup Injili sebagaimana dihidupi oleh St. Fransiskus berarti, bagi para Fransiskan, setia pada kepedulian terhadap mereka yang miskin serta terbuang melalui kesaksian, cara hidup serta perbuatan; setia pada sifat serta ciri dasar sebagai pribadi yang cinta damai dan anti kekerasan; dan akhirnya setia pada semangat serta kesadaran bahwa semua ciptaan adalah ‘saudara-saudari’ yang harus dicintai, diperhatikan, dijaga serta dipelihara. Pokok-pokok inilah yang menjadi ciri dasar serta sifat khas dari cara hidup Fransiskan sehingga dapat dikatakan bahwa tanpa sifat-sifat atau ciri-ciri dasar itu, seseorang tidak dapat menyebut dirinya seorang Fransiskan.
Apa Yang Engkau Kehendaki Aku Perbuat?
Inilah pertanyaan pokok yang menandai serta memotivasi St. Fransiskus dalam proses pertobatannya. Pertanyaan tersebut bukan sekedar untuk meminta petunjuk apalagi semacam wangsit. Sdr. Jose Rodriguez Carballo OFM (Minister General OFM) menyebut pertanyaan itu sebagai pertanyaan eksistensial, karena menyangkut seluruh cara hidup dan cara berada St. Fransiskus.
Tuhan menjawab pertanyaan St. Fransiskus lewat perjumpaan-perjumpaan: dengan dirinya sendiri (KTS 4:6: LM 1,2; 1 Cel 6): dengan pengemis (KTS 3); dengan Yesus tersalib (KTS 13); dengan Sabda Tuhan atau Injil (KTS 25); dengan saudara-saudara (KTS 27) dan dengan orang kusta (Was 1-3). Jawaban Tuhan atas pertanyaan itu diterima St. Fransiskus dalam dan melalui perjumpaan, keterlibatan, praksis serta pengalaman hidup dengan sesama. Dan menariknya, ‘sesama’ yang dimaksudkan di sini bukanlah sesama manusia pada umumnya tetapi mereka yang terkucilkan. St. Fransiskus menjadi sesama bagi mereka yang terbuang, seperti juga mereka yang terbuang menjadi sesama bagi St. Fransiskus. Perjumpaan, keterlibatan serta pengalaman akan mereka yang terbuang terkristalisasi dalam refleksi St. Fransiskus atas apa yang Tuhan kehendaki agar dia perbuat dan hasilnya adalah cara hidup dan cara berada St. Fransiskus dan para saudaranya.
Pengalaman-pengalaman perjumpaan tersebut membuahkan perubahan menyeluruh dalam cara berada dan cara hidup St. Fransiskus. Ungkapan terkenal yang melukiskan perubahan menyeluruh itu ditemukan dalam Wasiat di mana St. Fransiskus menulis: “Setelah aku meninggalkan mereka, apa yang tadinya terasa memuakkan, berubah bagiku menjadi kemanisan jiwa dan badan; dan sesudahnya aku sebentar menetap, lalu aku meninggalkan dunia” (Was.3).
Perubahan yang menyeluruh itu terjadi berkat campur tangan ilahi serta keterbukaan atau kerela-sediaan St. Fransiskus untuk diubah dan diperbaharui. Campur tangan ilahi itu amat jelas dalam kesadaran St. Fransiskus. Dalam diri orang kusta yang dipeluk dan diciumnya, ia berjumpa dengan Yesus Kristus yang tersalib. Orang kusta (baca: mereka yang terkucilkan dari masyarakat) adalah wajah Kristus yang tersalib dan terus tersalib oleh kezaliman ketidakadilan pada masa kini. Beata Theresa dari Calcuta amat terinspirasi oleh St. Fransiskus ketika dia berkata: “Ketika aku berjumpa dengan orang miskin, aku melihat Yesus yang tersalib; ketika aku berdoa di depan Yesus yang tersalib, aku melihat wajah orang miskin”.
Pertanyaan “apa yang Engkau kehendaki aku perbuat” tentu saja menjadi pertanyaan setiap pengikut St. Fransiskus juga. Persoalannya bukan bahwa Tuhan enggan menjawab pertanyaan itu, tetapi bahwa tidak semua memiliki kepekaan rohani untuk menemukan jawaban yang Tuhan berikan, kendatitI Tuhan sendiri telah mengatakan bahwa Dia hadir dan menyatakan diri pada mereka yang paling hina dan dikucilkan (bdk Mt 25:40).
Nurani spiritual Fransiskan tidak dapat tidak peka terhadap realitas semakin banyaknya mereka yang terkucilkan pada masa kini. Tuhan menunjukkan begitu banyak hal untuk dilakukan serta dikerjakan sehingga dalam kesetiaan untuk melakukan hal-hal itu para pengikut St. Fransiskus tetap terdapat setia pada jati diri kefransiskanan mereka serta sibuk melakukan apa yang semestinya mereka kerjakan: memperbaiki rumah Tuhan yang nyaris roboh, memulihkan gambar dan citra Allah yang rusak dalam diri kaum miskin dan tertindas; memulihkan alam ciptaan yang hancur dan nyaris punah. Hanya jika demikian pengikut Fransiskus masih dapat dan boleh bersama St. Fransiskus mengidungkan dengan khidmat Kidung Saudara Matahari.
Refleksi Ulang Ketiga kaul
Konsili Vatikan II, berhubungan dengan pembaharuan hidup religius, mengedepankan dua hal pokok: (1) kembali ke semangat dasar serta sumber-sumber pokok, (2) penyesuaian diri dengan dunia dan tuntutan serta tanda-tanda zaman. Ketiga kaul memang merupakan ‘merk khas’ kaum religius, termasuk para Fransiskan. Tetapi roh pembaharuan yang dihembuskan Konsili Vatikan II tidak berefek luas dan mendalam. Penyesuaian diri dengan dunia, tuntutan serta tanda-tanda zaman lebih menyangkut aspek-aspek luar nan dangkal, sedangkan ‘kembali ke semangat dasar’ tak kunjung tercapai. Itulah sebabnya kaum religius menjadi ‘gamang’ dalam mendefenisikan makna keberadaan dan kesaksiannya pada masa kini. Dampaknya adalah bahwa hidup religius tidak lagi menjadi model hidup alternatif yang menarik (suatu hal yang disinyalir menjadi salah satu penyebab berkurangnya jumlah panggilan hidup religius).
Menemukan relevansi dan makna aktual dari ketiga kaul hidup religius terasa perlu dan mendesak justru karena pada hakekatnya panggilan hidup religius adalah panggilan kenabian untuk melayani dunia dan Gereja (VC 84). Ketiga kaul religius akan menjadi bentuk kesaksian kenabian untuk masa kini ketika ketiga kaul tidak melulu dipahami secara yuridis-formal dan spiritual, tetapi lebih teologis, sosial dan moral. Berguru pada nabi Mikha, kaum religius dapat menemukan bahwa apa yang Tuhan kehendaki lewat kaul kemiskinan, ketaatan dan kemurnian tidak lain dari: bertindak adil, hidup rendah hati di hadapan Allah dan mencintai dalam kesetiaan (bdk Mi. 6:8).
Apa yang ditegaskan Mikha sebagai kehendak Allah, seluruhnya dihayati dan dijalankan oleh Yesus yakni berlaku adil (memilih berpihak pada mereka yang miskin dan tertindas); hidup dengan rendah hati di hadapan Allah (mengutamakan kehendak Allah serta membina relasi personal dengan Allah dan sesama); mencintai dengan lembut (mengutamakan hidup manusia di atas hukum serta peraturan, selalu tergerak oleh belaskasihan). Kalau hidup religius berarti hidup mengikuti ketiga nasehat Injil maka ketiga nasehat Injil itu akan tetap relevan dan menantang ketika dihidupi secara kontekstual dan kreatif dengan tetap setiap pada model utama yakni Yesus sendiri.
Kesimpulan
Bagi setiap orang Kristen dan terutama Fransiskan, keadilan dan perdamaian serta keutuhan ciptaan bukan lagi cuma sekedar nilai atau tuntutan etis moral, tetapi perkara iman dan cara berada sebagai orang Kristen dan Fransiskan. Tidak ada hidup dan cara berada kristiani yang tidak peduli pada keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan.
Bagi para Fransiskan, dengan mengacu pada kalimat St. Fransiskus pada awal tulisan ini, kepedulian serta keterlibatan dalam mewujudkan keadilan, perdamaian serta keutuhan ciptaan merupakan suatu mandat yang berlaku dalam seluruh hidup. Hal-hal tersebut bukanlah sesuatu yang ditambahkan atau bukanlah sekedar aktivitas, tetapi cara hidup dan cara berada. Hal-hal itulah yang mencirikan serta meresapi seluruh hidup, cara berada dan kegiatan para Fransiskan. Semua itu mesti berdasarkan pada kebenaran berikut ini: keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan harus bersumber pada kontemplasi (pengalaman serta perjumpaan dengan Allah), yang tidak dapat tidak mendorong orang untuk memberi kesaksian tentangnya dalam hidup dan tindakan.
Seperti St. Paulus yang mengatakan bahwa celakalah ia kalau tidak mewartakan Kristus, demikian jugalah setiap orang Kristen dan para Fransiskan. Mereka akan kehilangan jati diri kristiani dan fransiskan ketika mereka tidak peduli dan mengabaikan keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan.***