Pengantar
Kependudukan telah menjadi bidang studi modern yang umumnya berurusan dengan data dan metode statistik serta matematik untuk meneliti baik struktur maupun distribusi masyarakat berdasarkan umur, jenis kelamin, status perkawinan beserta dinamikanya seperti kematian, kelahiran, perpindahan, dlsb.
Studi ini amat bersandar pada data sensus, registrasi statistik penduduk serta teknik jajak pendapat. Studi kependudukan umumnya tidak hanya berkaitan dengan jumlah serta distribusi penduduk dalam kategori umur, jenis kelamin, tingkat kesejahteraan, pendidikan dan seterusnya, tetapi juga korelasi penduduk dengan sumber-sumber alam dan budaya yang tersedia.
Studi kependudukan bahkan meliputi baik pasar maupun juga perusahaan-perusahaan asuransi. Pentingnya studi kependudukan masa kini disebabkan karena studi tersebut memberi kontribusi bagi kebijakan politik penguasa maupun lembaga-lembaga masyarakat yang berurusan dengan lingkungan hidup serta distribusi sumber-sumber alam.
Gereja pun tidak dapat mengabaikan persoalan kependudukan dan itulah sebabnya masalah kependudukan juga dibicarakan dalam dokumen-dokumen sosialnya.
Persoalan Pokok
Persoalan pokok kependudukan terutama terkait dengan fakta bahwa hidup manusia tidak dapat dipisahkan atau bahkan amat bergantung pada alam serta sumber-sumber alam. Perubahan iklim, wabah penyakit, curah hujan, bencana alam berpengaruh langsung pada hidup dan keberlangsungan hidup manusia. Di lain pihak kemajuan yang dicapai manusia dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi turut memberi kontribusi pada hidup manusia entah secara positif maupun negatif.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama tekonologi medik, telah menyebabkan peningkatan mutu hidup, usia hidup rata-rata dan jumlah penduduk; tetapi di lain pihak juga segera disadari bahwa jumlah penduduk yang sedemikian besar akan menjadi tidak sepadan dengan ketersediaan sumber-sumber alam penopang hidup serta keberlangsungan hidup manusia. Karena itulah persoalan jumlah penduduk dan keterbatasan sumber-sumber alam menjadi isyu pokok pada masa kini.
Tak dapat disangkal bahwa jumlah penduduk bertambah terutama pada abad terakhir ini. Data-data berikut menunjukkan hal itu. Pada tahun 1650 jumlah penduduk dunia adalah 545 juta; tahun 1800 meningkat menjadi 907 juta jiwa. Seratus tahun kemudian berjumlah 1.6 miliar. Tahun 1950 menjadi 2.5 miliar dan tahun 2000 menjadi sekitar 5.7 miliar. Sulit memprediksi secara pasti, tetapi jika tahun 2010 jumlah penduduk berkisar antara 5 – 7 miliar, maka tahun 2050 diperkirakan berkisar antara 8.5 – 13.5 miliar.
Yang menarik adalah data-data yang menunjukkan bahwa pertambahan penduduk justru terjadi lebih banyak di Negara-negara miskin (Asia, Afrika dan Amerika Latin) dengan rata-rata pertambahan 2.5 % per tahun. Angka peprtumbuhan seperti ini mempersulit pencapaian tingkat kesejahteraan sosial dan ekonomi secara efektif.
Distribusi yang tak adil
Nubuat profetis Gandhi, bahwa bumi ini sebenarnya cukup untuk menghidupi manusia dan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan segelintir orang tamak, dibenarkan oleh realitas ketidakadilan global dalam distribusi sumber-sumber alam dan ekonomi pada masa kini. Ada jurang mendalam yang memisahkan segelintir orang kaya dan mayoritas rakyat miskin. Miliaran ‘Lazarus’ mengerumuni pintu segelintir orang kaya masa kini. Data-data berikut membenarkan hal tersebut.
20% dari orang-orang termiskin di dunia menerima 1.4% dari Pendapatan Nasional Bruto (GNP), padahal 20% dari orang kaya menikmati 84%. 4 miliar manusia di dunia memperoleh pendapatan sekitar 1-2 $ AS per hari, sedangkan pada waktu yang sama 258 orang terkaya mengumpulkan modal pribadi sekitar 764 miliar $ AS. Distribusi dan konsumsi bahan bakar juga tidak adil. Negara-negara kaya yang berpenduduk 15% dari seluruh penduduk dunia menikmati 50 % dari bahan bakar yang diproduksi dunia; 60% produksi kayu dunia; 70% besi.
Ketidakadilan distribusi sumber alam dan ekonomi ini tentu menyebabkan kebangkrutan mutu hidup dan kesejahteraan sebagian besar penduduk dunia yang bermukim di negara-negara miskin di belahan selatan. Dari sekitar 5.7 miliar jumlah penduduk dunia saat ini, sekitar 2.5 miliar tidak mempunyai pekerjaan yang produktif; 1/5 penduduk dunia menderita kelaparan dan tiga juta anak meninggal tiap tahun karena kekurangan makanan. 5 juta anak meninggal setiap tahun karena diare, yang dapat diatasi dengan biaya sebesar 700 juta $ AS, yang dipakai negara maju untuk memproduksi senjata untuk digunakan dalam waktu 6 jam. Biaya hidup seekor anjing di negara maju sama dengan biaya hidup delapan orang di negara miskin. Angka-angka ini masih bisa dideretekan lagi, tetapi semuanya menyingkapkan fakta tunggal ini: ada ketidakadilan global dan ketidakadilan global tersebut menjadi petaka untuk 85% penduduk dunia ini. Tragis!
Menanggapi Kenyataan : Ajaran Sosial Gereja
Gereja Katolik, dalam ajaran sosialnya, menanggapi persoalan kependudukan dengan berpangkal tolak pada pemahaman akan seksualitas manusia sebagaimana dimaksudkan Allah yakni prokreasi. Perintah Kitab Kejadian (1:28) agar manusia berkembang-biak dilihat sebagai alasan mengapa Allah menciptakan manusia sebagai pria dan wanita. Maksudnya agar memenuhi bumi, memeliharanya dan menguasainya.
Penekanan bahwa seksualitas dimaksudkan pertama-tama dalam rangka prokreasi, selanjutnya dipertegas dalam konsep tentang keluarga sebagai unit sosial manusia yang paling dasar. Manusia adalah makhluk sosial, membutuhkan sesama baik untuk hidup maupun untuk perkembangan dirinya secara utuh dalam rangka mencapai tujuan akhir hidupnya dalam Allah. Karena itu seks tertuju kepada perkawinan, perkawinan tertuju kepada kelahiran anak dan pembentukan keluarga. Keluarga lantas bertanggungjawab membesarkan serta mendidik anak sehingga mereka menjadi warga masyarakat (dan Gereja) yang baik. Kebesaran Allah justru dialami dalam peristiwa kelahiran baru serta diversitas suku-bangsa manusia di dunia ini.
Pada abad-abad pertama, upaya memenuhi bumi menjadi program sebagian besar masyarakat dan negara.Kecemasan akan terjadinya kepadatan penduduk belum muncul. Hidup selibat, yang berarti tidak berkeluarga bahkan dilihat sebagai sesuatu yang bertentangan dengan mandat Kejadian. Pemerintah di banyak negara memacu pertambahan jumlah penduduk atas alasan sosial, politik, ekonomi dan militer.
Berabad-abad kemudian mulai mencul kecemasan akan jumlah penduduk yang bertambah tak sebanding dengan peningkatan dan kemajuan kesejahteraan sosial. Pada tahun 1798 Thomas Malthus menerbitkan karya berjudul: An Essay on the Principle of Population. Karya tersebut memperkenalkan kepada publik relasi mendasar antara pertambahan jumlah penduduk dengan peningkatan serta kemajuan kesejahteraan sosial-ekonomi. Kendati teori Malthus bahwa perkembangan ekonomi tidak secepat pertambahan jumlah penduduk tidak lagi terbukti benar, karyanya justru mengawali upaya yang tak pernah usai sampai kini untuk menemukan apa saja komponen atau elemen penting bagi suatu pertumbuhan penduduk yang optimal dan ideal.
Baca Juga: Mengintegrasikan Ajaran Sosial Gereja Dalam Pendidikan Katolik
Banyak teoritisi kependudukan mengakui bahwa jumlah penduduk, sumber-sumber alam, usia rata-rata, angkatan kerja, kemampuan teknis dan sistem pendidikan merupakan elemen komplementar baik bagi teori maupun bagi kebijaksanaan kependudukan.
Ajaran sosial Katolik modern sampai kini memang belum mengakui bahwa jumlah penduduk bumi saat ini sudah melampaui batas toleransi, dalam arti sudah melampaui daya tampung dan daya tahan alam (sumber-sumber alam) untuk menyangganya. Pandangan tersebut antara lain dapat kita temukan dalam Familiaris Consosortio (FC) 6; Humanae Vitae (HV) 23; Dokumen Medellin tentang Keluarga dan Kependudukan 10. Kendati demikian, Gereja Katolik tidak menolak pengaturan jumlah penduduk secara bertanggungjawab dan manusiawi. Pemerintah sesuai kewenangannya dapat menjalankan hal itu (bdk.Populorum Progressio/PP 37). Gereja pun berpendapat bahwa pertambahan jumlah penduduk bukanlah merupakan hal yang pada dirinya baik.
Ada tiga hal pokok dalam ajaran sosial Gereja tentang kependudukan. Ketiganya bertumpu pada pokok utama ajaran sosial Gereja yakni martabat pribadi manusia.
Pertama, hak asasi setiap manusia untuk berkeluarga dan mempunyai anak. Selanjutnya Gereja menekankan hak pasangan (orang tua) untuk menentukan besarnya keluarga atau berapa jumlah anak. Keputusan mengenai jumlah anak harus memperhitungkan kondisi ekonomi, sosial, fisik dan psikologis pasangan. Dan hal itu dibenarkan secara moral. Humanae Vitae (HV) ketika berbicara tentang orang tua bertanggungjawab mengemukakan: “Berhubungan dengan kondisi fisik, ekonomi, psikologi dan sosial, orang tua yang bertanggung-jawab dapat dengan bebas dan dengan sukarela menentukan jumlah anggota keluarga, atau karena alasan yang berat dan dengan memperhatikan hukum moral, memutuskan tidak melahirkan anak pada periode tertentu atau untuk masa yang tak tentu” (bdk. HV 10).
Pemerintah memiliki peran agar menciptakan kondisi yang kondusif bagi keluarga sehingga mereka dengan bijaksana dan bertanggungjawab dapat memutuskan jumlah anak mereka. Tetapi adalah pelanggaran terhadap hak orang tua ketika besarnya jumlah anak dan sarana-sarana pembatasan jumlah anak dipaksakan kepada mereka. Tentang hal itu Gaudium et Spes (GS) menegaskan: “Konsili menyerukan kepada semua orang, supaya jangan menempuh cara-cara pemecahan, yang secara umum atau oleh pihak-pihak tertentu dianjurkan atau kadang-kadang bahkan diharuskan, dan yang bertentangan dengan hukum moral. Sebab menurut hak manusia yang tidak dapat diganggu-gugat atas perkawinan dan pengadaan keturunan, pertimbangan tentang jumlah anak tergantung dari keputusan orang tua yang benar, dan sama sekali tidak dapat diserahkan kepada keputusan pemerintah” (87).
Hal kedua, berkaitan dengan metode atau cara pengaturan jumlah penduduk. Gereja Katolik berpegang pada prinsip bahwa tujuan yang baik tidak boleh dicapai dengan cara-cara yang tidak baik (finis non iustificat medium). Bahwa jumah penduduk dapat diatur dan dikontrol sampai pada jumlah tertentu, tidak dengan sendirinya membenarkan setiap cara, seperti aborsi, sterilisasi, pembunuhan bayi, penyebaran sarana kontrasepsi serta sejumlah sarana lain yang secara tradisional ditolak Gereja berdasarkan argumen moral. Martabat manusia bersumber atau berlandas pada pribadi manusia sebagai makhluk moral (bdk. Dignitattis Humanae 2), maka dari itu pemanfaatan sarana-sarana yang tidak dapat dibenarkan secara moral justru akan merusak martabat pribadi manusia itu sendiri (HV 23; FC 6).
Pokok ketiga adalah materialisme. Yang dimaksudkan di sini terutama menyangkut ukuran atau standar kesejahteraan yang tidak boleh hanya dipautkan pada akumulasi kepemilikan harta. Dalam kenyataan selalu terjadi bahwa demi mengumpulkan harta, orang mengorbankan atau mengabaikan tugas dan tanggungjawab untuk melahirkan dan membesarkan anak. Anak dilihat sebagai penghalang pencapaian kekayaan material.
Yang ditekankan oleh Gereja dalam ajaran sosialnya bukan kesuksesan dalam mengumpulkan harta secara pribadi, tetapi solidaritas antarmanusia dan perwujudan tanggungjawab untuk berbagi harta material dan budaya secara benar dan adil. Persoalan pokok dalam hal kependudukan menurut pandangan ajaran sosial Katolik bukan kelebihan jumlah penduduk (over population) semata-mata, tetapi juga dan terutama distribusi harta dan kekayaan ekonomi secara tidak adil (Mater et Magistra 188-192; PP 43-55) yang terus terjadi sampai kini, yang menyebabkan kemelaratan dan penderitaan pada manusia.
Materialisme dan mentalitas kontraseptif (HV 17) dipicu terutama oleh kelobaan dan egoisme, yang terungkap nyata dalam pengutamaan materi di atas pribadi manusia (Laborem Exercens/LE 6-8). Hal ini dilihat sebagai penyebab mengapa manusia tidak mampu menemukan kebaikan manusia sejati dalam hubungannya dengan Allah dan dengan sesamanya (PP 41-42). Gereja Katolik dalam ajaran sosialnya menekankan pentingnya cita-cita “berbuat lebih banyak, belajar lebih banyak dan memiliki lebih banyak” yang dilihat sebagai hal-hal pokok demi menunjang martabat pribadi manusia (PP 6). Meningkatnya produksi ekonomi dan standar hidup masyarakat adalah tujuan yang mesti dicapai manusia. Tetapi kemajuan tersebut harus ditempatkan dalam konteks pelayanan demi perkembangan manusiawi yang utuh, serta harus dijalankan dalam spirit solidaritas dan kerja sama timbal-balik (PP, LE; Sollicitudo Rei Socialis.
Penutup
Dari apa yang disampaikan di sini boleh disimpulkan bahwa dalam ajaran sosial Gereja masalah kependudukan bukan pertama-tama soal jumlah penduduk, tetapi lebih menyangkut pengakuan akan martabat manusia yang sama dan mendasar untuk setiap manusia. Hal ini tidak berarti bahwa jumlah penduduk tidak perlu diperhatikan dan diatur. Pengaturan jumlah penduduk harus mengusung martabat pribadi dan pembangunan pribadi manusia secara utuh sebagai pilar utama serta tujuan yang mau dicapai. Pencapaian kesejahteraan sosial-ekonomi harus juga berciri manusiawi atau tanpa mengorbankan martabat pribadi.
Karena itu, persoalan kependudukan dalam ajaran sosial Gereja, pertama-tama dilihat dari perspektif moral dan bukan hanya dari perspektif teknik dan politik semata. Kedua perspektif ini harus mencapai sintesa yang adil dan benar. Keduanya punya kekuatan dan kelemahan, makanya perlu dibangun sintesa yang sinerjik. (Sdr. Peter C. Aman, OFM Seorang Fransiskan Imam dan berkarya sebagai Dosen di STF Driyarkara Jakarta)