Secara teologis, peristiwa salib dilihat sebagai suatu bentuk kebenaran iman. Salib merupakan konsekuensi dari misi dan perjuangan Yesus yang menebus dan menyelamatkan manusia dari dosa. Perjuangan ini mendapat legitimasinya ketika kebenaran, kejujuran, keadilan, dan keselamatan manusia menjadi target misi Kristus.
Perjuangan ini terlihat sangat konsisten karena dilandasi oleh cinta dan pengabdian-Nya yang total kepada Bapa dan umat manusia. Karena cinta itu pula, Yesus sama sekali tidak mau menyerah dalam melewati jejak nestapa menuju Kalvari. Bahkan, nyawa Ia pertaruhkan di kayu salib. Pengorbanan yang luar biasa ini merupakan buah sekaligus bukti cinta-Nya yang sempurna kepada Bapa dan umat manusia. Pada aras teologis ini, peristiwa salib memuat dimensi pembebasan dan penyelamatan.
Terlepas dari refleksi teologis tersebut, peristiwa salib juga tentu sangat terbuka untuk direfleksikan. Jika dilihat secara sosio-kultural, terlihat bahwa salib bukanlah simbol kemuliaan, keagungan, atau pembebasan. Untuk konteks masyarakat Romawi, salib adalah nista/penghinaan. Salib adalah hukuman kelas berat yang pantas dijatuhkan kepada mereka yang makar dan subversif.
Dalam hal ini, Yesus dituduh makar dan subversif oleh pihak pemerintah Romawi karena Ia mengaku diri sebagai raja. Momen ini dimanfaatkan massa Yahudi dengan menuduh Yesus sebagai pemfitnah agama dan penghujat Allah. Tuduhan ini semakin diperuncing dengan sebuah teriakan provokatif yang mencetar Pilatus, wakil pemerintah Romawi: “Kami tidak mempunyai raja selain kaisar” (Yoh 19: 15).
Karena kuatnya tekanan massa (Yoh 19: 7), Pilatus menjatuhkan hukuman mati kepada Yesus meskipun de facto ia tidak menemukan kejahatan apa pun pada-Nya (Yoh 18: 38b). Di sini, terlihat jelas bahwa nurani Pilatus begitu mudah ditelikung politik pencitraan. Nuraninya begitu mudah ditimbun kepentingan politik yang jorok, di mana ia lebih memilih untuk menarik dukungan politik massa terhadap rezim kekuasaannya ketimbang memilih untuk menegakan kebenaran dan keadilan yang seharusnya dijunjung tinggi.Dalam konteks ini, Pilatus adalah representasi pemimpin yang pragmatis, oportunis, dan tanpa ‘visi politik yang baik dan benar’.
Selain itu, peristiwa penyaliban dan kematian Yesus juga terkesan sangat konspiratif karena pada waktu itu, orang Yahudi tidak mengenal hukum salib; Mereka hanya mengenal hukum rajam. Hukuman rajam dijatuhkan kepada mereka yang berbuat zinah dan kepada orang-orang yang melakukan subversi dan pembangkangan terhadap hukum Yahudi.
Pada saat itu, hukuman salib hanya digunakan untuk menghukum orang-orang yang melakukan aksi protes terhadap penguasa Romawi. Namun, atas nama ketaatan kepada penguasa Romawi, penguasa Yahudi menjatuhkan hukuman salib kepada Yesus yang sebenarnya kontraproduktif dengan muatan materi hukum Yahudi.
Di sini terlihat adanya konspirasi politik yang jorok antara penguasa Yahudi dengan petinggi Romawi. Oleh karena itu, kematian Yesus dapat didekati dari sudut pandang politis. Atau kematian Yesus dapat dilihat sebagai salah satu bentuk hukuman politik.
Karena adanya konspirasi yang tidak beres ini, orang-orang Yahudi memberikan tuduhan yang tidak pantas kepada Yesus, seperti misalnya penghasut, penghujat, penebar ajaran sesat, dan bahkan Yesus dituding telah bertindak makar di lingkungan bangsa Yahudi. Luapan gejolak dan fitnah yang menyeruak dari mulut orang-orang Yahudi ini menjadi ikon kejahatan kemanusiaan pada waktu itu karena mereka memberikan tuduhan yang tidak realistis, tidak sesuai dengan faktum yang ada saat itu.
Kita bisa melihat nurani orang Yahudi telah tersuntik oleh kepentingan politik yang sangat konspirasional. Sebab ketika tindakan manusia berubah menjadi kejahatan, pada saat yang sama ia sebenarnya sedang mengalami ‘kematian’ hati nuraninya. Akan tetapi, untuk itulah Yesus datang dan menderita. Yesus mau memperjuangkan nurani yang jujur dan membangkitkan kembali citra kekuasaan yang sudah lama ditimbun oleh begitu banyak proyek kepentingan diri dan kroni.
Refleksi Kita
Jika peristiwa salib Yesus dikonfrontasikan dengan fenomena sosial-politik saat ini, dapat dikatakan bahwa peristiwa salib merupakan simbol jeritan orang-orang kecil dan masyarakat miskin yang menjadi korban kebijakan yang tidak adil dari penguasa yang tak bernurani. Peristiwa salib adalah gambaran perjuangan tanpa akhir untuk menyuarakan keadilan, kebenaran, dan kejujuran.
Hal ini menjadi semakin mendesak dan kontekstual karena sudah menjadi cerita lama bahwa dalam kenyataan sehari-hari, penguasa atau pemimpin acap kali menyetir roda kekuasaan tidak berdasarkan hati nurani yang bening dan jujur (sebagaimana penguasa Yahudi dan Romawi dalam kaitannya dengan peristiwa salib Yesus).
Pemimpin atau penguasa untuk level Indonesia kerap memproduksi kebijakan publik atas dasar kepentingan-kepentingan pribadi atau kelompok dalam lingkaran kekuasaan. Oleh karena itu, banyak kebijakan politik yang tidak pro-rakyat dan bahkan sering membuat rakyat justru sengsara dan menderita.
Kebijakan-kebijakan politik, baik yang berskala nasional maupun lokal, lahir dari jual-beli kepentingan antara kelompok elite. Sebagai misal, pisau hukum—dalam level kebijakan maupun praksis—cenderung tumpul ‘ke atas’ (kalangan elite dan berduit), dan sebaliknya, tajam ‘ke bawah’ (rakyat kecil dan tidak berduit. Pada titik ini, masyarakat kecil, orang sederhana dan miskin tentu semakin terperosok dan melarat, sementara penguasa dan faksi yang berdompet tebal semakin menjadi konglomerat.
Masyarakat kecil tak pernah absen menjadi tumbal kebijakan yang tidak adil dari penguasa lalim. Mereka (masyarakat kecil) selalu menjadi korban kepentingan politik para elite pragmatis, oportunis, dan nir-testimoni politik. Dan, dalam kondisi yang absurd seperti ini, salib menjadi bentuk protes terhadap segala bentuk praktik ketidakadilan, ketidakjujuran, dan kesewenangan yang dibuat penguasa tengik dewasa ini.
Dari peristiwa ini, salib dilihat sebagai kesempatan yang baik bagi kita untuk mengingat kembali nasib masyarakat yang menjadi tumbal kekuasaan yang tidak adil serta berjuang tanpa henti menyuarakan suara mereka yang acapkali tidak didengarkan (voice of voiceless). Lalu, satu hal yang paling penting, bahwa Yesus bangkit justru untuk mengangkat litani penderitaan dan jeritan orang-orang kecil ini ke takhta yang membebaskan dan menyelamatkan.
Dengan demikian, peristiwa salib Yesus hendaknya melahirkan solidaritas kemanusiaan untuk senantiasa berjuang bersama masyarakat yang menderita, membela kebenaran dan keadilan, dan melawan secara konsisten penguasa mamon yang hanya mementingkan proyek kesejahteraan diri dan kongsinya. Kita tidak boleh membiarkan ketidakadilan merajai hidup manusia. Perjuangan Yesus sampai di puncak Kalvari menjadi simbolisme perjuangan yang sangat konsisten untuk menegakkan keadilan, kebenaran, hati nurani, dan solidaritas kemanusiaan.*** (Sdr. Joan Damaiko Udu, OFM, Mahasiswa STF Driyarkara Jakarta)