Apakah manusia sehingga Engkau mengingatnya? (Mzm 8:5)
Manusia dan lingkungan hidup memiliki nilai luhur hanya ketika diletakkan dalam hubungan yang dinamis dengan Allah sebagai asal-usul, alasan dan tujuan keberadaannya. Mengabaikan hubungan itu selalu berarti melapangkan aneka jalan untuk dominasi, kelobaan, kesenjangan, kekerasan, eksploitasi sesama dan perusakan lingkungan hidup. Intensi artikel ini sederhana saja, yakni agar kita membela, merawat dan membangun relasi yang harmonis dengan lingkungan hidup.
Belajar dari “Kidung Saudara Matahari”
Intensi yang sederhana itu mengingatkan kita akan sikap religius St. Fransiskus Asisi (1181-1226) terhadap sesama ciptaan. Oleh Paus Yohanes Paulus II, tokoh spiritual Abad Pertengahan ini ditetapkan sebagai pelindung ekologi atau lingkungan hidup. Penetapan ini tentu bukan tanpa dasar historis. St. Fransiskus semasa hidupnya selalu menyapa alam ciptaan sebagai “saudara dan saudari”. Matahari disapanya sebagai “saudara”, air disapanya sebagai “saudari”, bumi disebutnya “ibu”, begitupun dengan makhluk-makhluk ciptaan lainnya.
Cara St. Fransiskus menyapa dan memperlakukan segala ciptaan sebagai saudara-saudari yang dikasihinya itu memperlihatkan kepercayaan dasarnya bahwa martabat setiap manusia dan segenap ciptaan adalah martabatnya di hadapan Allah. Dia yakin bahwa Allah adalah satu-satunya Pencipta, dan bahwa semua ciptaan setara atau sederajat saja di hadapan Allah. Dia melihat kehadiran nyata Allah dalam segenap ciptaan. Allah yang Mahatinggi dan Mahaluhur itu melampaui segala-galanya, namun serentak pula dekat dengan ciptaan-Nya.
Inti sari keyakinannya itu dipadatkan dalam lagu pujian yang sangat terkenal yakni Kidung Saudara Matahari. Suatu pujian yang bersifat mistik kosmik sekaligus ajakan kepada segenap makhluk untuk memuji Sang Pencipta. Dalam Kidung tersebut, Fransiskus menyebut Saudara Matahari sebagai simbol Allah yang menerangi; Saudari Bulan dan Bintang-bintang yang menghias cakrawala; Saudari Ibu Pertiwi atau Bumi yang mengasuh penghuninya dan menumbuhkan kembang-kembang yang asri; Saudari Air sebagai simbol kerendahan hati; Saudari Angin yang menghidupkan semua; Saudari Maut badani yang olehnya semua insan tak akan luput.
Tegasnya, sikap hormat dan takwa Fransiskus terhadap segenap ciptaan mengizinkan dia bersama mereka memuji Allah. Sikap tersebut dilukiskan oleh St Bonaventura sebagai berikut: “Dengan memandang Asal segala makhluk, maka ia dipenuhi dengan takwa yang berlimpah-limpah. Makhluk-makhluk, betapapun kecilnya, disebutnya dengan nama saudara atau saudari” (Kisah Besar Riwayat Hidup St Fransiskus VIII,6). Dia percaya semua yang baik berasal dari Allah. Karena itu, St Fransiskus tidak berlaku sebagai tuan yang lalim dan eksploitatif melainkan saudara yang ramah dan bersahabat dengan sesama ciptaan Tuhan yang lain.
Yang Harus Kita Buat
Di tempat-tempat umum di negeri ini, kita gampang sekali menemukan dan membaca tulisan-tulisan yang berisi seruan moral. Beberapa di antara seruan itu berbunyi : “Kebersihan adalah sebagian dari iman”; “Dilarang membuang sampah di sini!”; “Sampah adalah berkat!”. Ungkapan-ungkapan ini tampaknya banal dan karena itu, mungkin sekali tidak menimbulkan rasa kejut dalam diri kita. Mari kita coba merenungkan kedua pernyataan itu.
Secara sosiologis, pernyataan itu menunjuk pada kenyataan faktual masyarakat kita. Kenyataan itu adalah bahwa banyak orang di antara kita belum terlalu mempertimbangkan akibat sosial dari tindakan-tindakan yang dilakukannya. Kita masih terlalu mementingkan diri sendiri sedemikian rupa sehingga (sengaja) lupa bahwa membuang sampah di sembarang tempat jelas tidak hanya merugikan dirinya sendiri dan sesamanya tetapi juga jelas merusak citra “hidup” dari lingkungan tempat kita tinggal. Bau tak sedap makanan berlemak yang tidak dibuang pada tempatnya jelas menimbulkan kejijikan dalam diri orang lain. Demikian pun sampah-sampah botol dan plastik yang tidak dapat lapuk atau hancur oleh tanah pastilah merusak lingkungan tanah. Dalam skala yang lebih luas, penebangan pohon-pohon di hutan secara berlebihan dan diikuti dengan pembakaran hutan jelas mengakibatkan banjir, tanah longsor, persediaan air menjadi berkurang, lapisan ozon makin menipis, satwa menjadi makin punah lantaran kehilangan habitatnya, dan udara menjadi tercemar. Begitupula melakukan aktivitas penambangan tanpa peduli pada pemulihan lingkungan hidup dan pemukiman warga masyarakat merupakan arogansi dan menciptakan aneka macam kejahatan sosial.
Dengan singkat, pernyataan dan larangan tersebut di atas memuat gambaran yang terang mengenai mentalitas masyarakat kita terhadap sesama dan juga lingkungan hidupnya. Mentalitas yang dimaksud adalah egoisme dan keserakahan. Maka itu, tersirat juga dalam dua ungkapan itu semacam harapan agar semakin banyak orang menjadi sadar akan konsekuensi moral-sosial dari tindakan-tindakannya dan lantas merasa bersalah bila gagal mengupayakan pembelaan terhadap lingkungan hidup.
Kita coba bersama-sama berupaya menghormati dan menyelamatkan bumi ini. Sudah terlalu lama bumi ini dilihat dan bahkan diyakini sebagai tempat untuk memenuhi sejumlah kebutuhan umat manusia. Telah tiba saatnya bagi kita untuk juga memikirkan kelestarian dan kelangsungan hidup alam semesta. Upaya ini membutuhkan kerja sama banyak pihak dan tentu saja dengan intensitas keterlibatan yang tinggi mengingat masalah lingkungan hidup ini berhubungan dengan kebaikan bersama. Semua diajak untuk membina persaudaraan dengan alam semesta. Dan ajakan ini sungguh mendesak untuk dilaksanakan sebab tindakan destruktif terhadap lingkungan hidup di suatu tempat dapat menimbulkan kerusakan tidak saja di tempat tersebut tetapi juga di tempat-tempat lainnya.
Upaya kita untuk menjaga hubungan yang bersahabat dengan alam semesta merupakan salah satu perwujudan konkret iman kita kepada Sang Pencipta. Penegasan ini bukanlah sesuatu yang baru mengingat dunia adalah semacam “ikon” atau “Sakramen” yang memperlihatkan kehadiran dan kebesaran Tuhan. Lingkungan hidup adalah anugrah Tuhan bagi kita dan karena itu, perlu sekali memperlakukannya sebagai sebagai saudara dan sahabat. Menanam pohon, menjaga kebersihan, dan membuang sampah pada tempatnya merupakan sebagian dari sikap yang sesuai dengan iman Kristiani.*** (Sdr. Frumen Gions, OFM Seorang Fransiskan Imam dan Dosen di STF Driyarkara Jakarta)