SONY DSC
                                                      

Keluarga Fransiskan-fransiskanes Jakarta (KANESTA) merayakan pesta St Fransiskus Asisi, Minggu 4/10/2015. Perayaan tahunan bertema ‘Menjadi Fransiskan yang Murah Hati’ ini berlangsung di Rumah Sakit St. Elisabeth, Kemang Pratama, Bekasi, Jawa Barat.

Hadir dalam kesempatan itu dua ratusan biarawan/i fransiskan bersama fransiskan awam yang bergabung dalam Ordo Fransiskan Sekular (OFS), memadati aula besement Rumah Sakit St. Elisabet.

Perayaan meriah ini dibuka dengan seminar yang dimoderatori RP. Togu OFM cap. Tampil sebagai pembicara tunggal, ahli spiritualitas fransiskan, RP. Yohanes Ladju OFM.

Pater Yan, demikian ia biasa disapa, menegaskan bahwa menjadi seorang yang murah hati bagi fransiskan bukanlah sebuah pilihan, melainkan keharusan.

“Kita ini adalah pengikut Fransiskus Asisi. St. Fransiskus dalam hidupnya telah menampilkan diri sebagai seorang yang murah hati. Dia menjual harta miliknya dan membagikannya kepada orang miskin di Asisi, meninggalkan cita-citanya menjadi kesatria, dan kemudian menjadi pelayan Injil.”

“Sebagai Fransiskan, kita harus meniru apa yang dilakukan oleh Bapa Fransiskus” tandas pastor pendamping Ordo Fransiskan Sekular (OFS) tingkat Nasional ini. Selanjutnya, ia memberikan pendasaran teologis mengapa fransiskan harus murah hati.

“Allah yang menjelma menjadi manusia dalam diri Yesus yang diikuti secara radikal oleh Fransiskus adalah Allah yang Murah hati. Kitab Suci menyatakan bahwa Allah adalah kasih (1 Yohanes 4:17). Allah lebih dahulu murah hati kepada kita, maka pada saatnya pula kita harus bermurah hati. Jangan hanya tahu menerima kemurahan hati Allah, tetapi tidak mau menjadi agen kemurahan hati Allah,” kritik pastor lulusan St. Bonaventure University-USA ini.

 Apakah Kita Cukup Murah Hati?

Usai seminar, perayaan dilannjutkan dengan Ekaristi. Tampil sebagai selebran utama, RP. Hugo, OFMcap, Pastor rekan paroki St. Klara-Bekasi didampingi lima rekan imam lainnya, RP. Hugo OFMcap, RP. Agung Suryanto OFM, RP. Anton Widiarto OFM, RP. Togu, OFMcap, dan RP. Yohanes Ladju OFM.

Dalam khotbahnya, Pater Yan menegaskan sekali lagi bahwa menjadi fransiskan yang murah hati mestinya bukan angan-angan yang mengawang di langit biru, melainkan sebuah praktek dalam hidup sehari-hari.

Dunia saat ini, demikian Pater Yan, sedang membutuhkan fransiskan yang murah hati bukan yang enggan untuk keluar dari kenyamanan biara yang megah. Membeludaknya para pengungsi dari daerah koflik seperti Siriah ke Eropa; gizi buruk yang merenggut nyawa anak-anak di NTT; perdagangan manusia; lingkungan yang rusak parah adalah realita dunia saat ini yang menjadi ruang pengejawantahan ide fransiskan yang murah hati.

Dengan nada menggugat, khas Pater Yan, sederet pertanyaan retoris ini mencuat. Apakah kita yang mengaku diri sebagai pengikut St. Fransiskus Asisi ini pernah mengalami getirnya perjuangan orang di pinggiran Rel Kreta Api yang menerjang debu dan panas terik matahari demi sesuap nasi?

Pernahkah kita berdesak-desakan di kendaraan umum dan melihat langsung para pemulung yang mengais sampah di tempat-tempat kumuh? Apakah kita cukup murah hati dengan orang-orang miskin dalam altar pelayanan kita di Sekolah-sekolah dan Rumah Sakit yang kita kelola?

Pater Yan amat meyayangkan, belum lama ini seorang bayi akhirnya menghembuskan nafas terakhir karena tidak tertolong di sebuah Rumah Sakit. Pelayanan tidak diberikan karena kelengkapan administratif yang diminta pihak Rumah Sakit tidak terpenuhi.

Pentas memukau siswa-siswi SMA Marsudirini Bekasi.

Rumah Sakit tersebut milik para pengikut Pengikut Fransiskus.“Silahkan merenungkan dan menindaklanjuti hal ini. Nama fransiskan itu harus dipertanggungjawabkan dalam keseharian hidup,” pungkas Pater Yan.

Rangkaian perayaan berakhir dengan resepsi bersama, pukul 20.00. Sambil menunggu santap malam, hadirin terpukau oleh pentas teater siswa-siswi SMA Marsudirini, Bekasi. Siswa siswi binaan Suster-suster OSF.

Pentas teater yang atraktif dan memikat ini merupakan paduan indah seni suara dan aksi teatrikal. Ibu Guru yang keras dan suka membentak siswa ditonjolkan dalam pentas.

Pelototan matanya membuat siswa takut. Ia berteriak setiap kali hendak mengendalikan suasana kelas. Ia datang ke kelas dengan mistar di tangan. Mistar yang sama kerap kali dipakai untuk memukul siswa yang berulah. Segi menegangkan ini kembali cair ketika bu Guru pergi dan anak-anak bernyanyi dan menari.

Serasa kena sihir, hadirin menikmati hingga ujung pentas. Setelahnya, santap malam bersama, dan pulang!

(Sdr. Rian Safio, OFM, Calon Imam Fransiskan, sedang studi di STF Driyarkara. Tinggal di Biara St. Antonius Padua, Cempaka Putih, Jakarta Pusat).

 

 

 

 

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

13 + 13 =