Johnny Dohut OFM
“Dari kacamata iman kita, peringatan Hari Pangan dapat memperdalam kesadaran kita bahwa hidup yang diciptakan Allah adalah anugerah. Manusia diciptakan tidak hanya untuk sekedar hidup, melainkan untuk tumbuh dan berbuah. Kita pun mengimani bahwa Allah tidak hanya menciptakan lalu meninggalkan ciptaan-Nya begitu saja. Ia setia menyertai dan menguatkan, melalui makanan yang disediakan, maupun melalui kehadiran sesama dan seluruh alam ciptaan.”
Dengan agak mengabaikan keseluruhan gagasan, saya mengutip paragraf kedua surat gembala Mgr. Ignasius Suharyo dalam rangka Hari Pangan Sedunia 2015. Surat gembala ini dibacakan sebagai ganti homili pada 10-11 Oktober di setiap Paroki di Keuskupan Agung Jakarta.
Menjadi jelas, untuk orang beriman, Perayaan Hari Pangan tidak sekadar hiruk-pikuk ngomong soal makanan buat isi perut. Lebih jauh dari itu, membincang pangan menjadi kesempatan bersyukur untuk penyelenggaraan Tuhan. Dia yang memberi benih, menumbuhkan aneka jenis tumbuhan berbuah, umbi-umbian, dan sayur mayur. Ada nuansa syukur.
Karena bukan merupakan hal yang terpisah dari refleksi iman, HPS cukup mendapat tempat dalam Gereja. Hampir setiap keuskupan di Indonesia merayakan HPS dengan refleksi dan berbagai bentuk kegiatan bersama masyarakat. HPS bahkan telah menjadi perayaan rutin tahunan. Setiap kali juga (mungkin) muncul surat gembala dari Bapa Uskup.
Membincang pangan sepertinya sulit menghindari keprihatinan akan kemiskinan, kelaparan, gizi buruk, dan sebagainya. Sementara di meja tertentu berkelimpahan makanan, ada orang seperti Lazarus yang menanti remah-remah yang jatuh.
Sementara di keluarga kaya ada keleluasaan memilih apa yang akan dimakan; di keluarga miskin masih bertanya ’adakah yang bisa dimakan hari ini?’
Di satu sisi ada kelimpahan makanan yang lalu mubazir dan dibuang-buang, di sisi lain ada yang berkeringat dingin menahan lapar.
Ketimpangan ini diungkapkan dengan sangat gamblang oleh Paus Fransiskus dalam Ensiklik Laudato Si (Terpujilah Engkau Ya Tuhanku). “…kurang lebih sepertiga dari seluruh makanan yang diproduksi terbuang, dan setiap kali makanan terbuang, makanan itu seolah-olah dicuri dari meja orang miskin”
Data Perwakilan Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-bangsa, sebagaimana dikutip Mgr. Suharyo, di Indonesia (30 Mei 2015) menyebutkan 19,4 juta penduduk Indonesia (7,9%) masih menderita kelaparan pada tahun 2014-2015. Kondisi ini diperparah oleh produksi pangan nasional yang tidak mencapai target untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Artinya terpaksa nanti kita mengimpor beras. Mimpi untuk swasembeda pangan, lantas dilihat sebagai hal yang sulit diwujudkan.
Solidaritas
Ketimpangan global terkait pangan mesti membuka mata hati untuk solider. Perayaan HPS dalam banyak cara mengantar kita untuk sampai pada keutamaan ini. Hari Pangan Sedunia mengundang kita untuk tidak hanya melihat isi piring kita sendiri tetapi juga melihat piring orang lain dan memastikan apakah ada isinya atau tidak! Jika kosong, tak ada isinya, itu artinya kita diundang untuk berbagi.
Membincang HPS di Keuskupan-keuskupan di wilayah Timur Indonesia, NTT misalnya, patut diapresiasi. Hampir setiap Keuskupan berusaha memaknai kesempatan ini. Setiap kali juga mungkin umat mendengar pembacaan Surat Gembala dari Bapa Uskup. Hal ini, hemat saya, penting terutama karena konteks rakyat (umat) NTT, di TTS misalnya, yang kerap dilanda kemarau panjang, gizi buruk dan busung lapar.
Merayakan HPS serentak menjadi upaya menjadikan kegembiraan dan harapan duka dan kecemasan orang-orang zaman ini, terutama mereka yang miskin dan lapar, menjadi kegembiraan dan harapan duka dan kecemasan murid-murid kristus (bdk GS art.2). Menjadikan duka dan kegetiran busung lapar menjadi duka dan kegetiran Gereja pula.
Namun sejauh mana HPS menggerakkan upaya demi ketahanan pangan, sehingga pada perayaan HPS tahun berikutnya tak ada kabar tentang gizi buruk, busung lapar, dan rawan pangan?
Apakah HPS sudah membidani lahirnya sebuah teologi pangan? Teologi yang merupakan refleksi atas seluruh upaya penyelenggaraan pangan? Refleksi yang lahir dari pergulatan bersama masyarakat demi mewujudkan ketahanan pangan.
Semoga dugaan ini salah, bahwa kita tergoda merayakan HPS sekadar selebrasi. Supaya kelihatan peduli. Kelaparan tetap awet. Gizi buruk datang di saat kemarau panjang. Masyarakat makin tidak mandiri dalam hal pangan. Kita merayakan HPS dari tahun ke tahun.
HPS: Sekadar Selebrasi?
Kita tidak mengharapkan perayaan HPS yang sekadar selebrasi. Kita mengapresiasi baik setiap kegiatan dalam rangka HPS. Refleksi yang bernas terkait tema pangan juga patut mendapat jempolan.
Namun sejauh mana semua ini telah menggerakan perubahan? Jika perubahan itu bukan mimpi kita, apakah tugas kita hanya untuk selebrasi dan bukannya menggerakkan perubahan?
Di Manggarai, semakian banyak dapur yang kehilangan ladang sayur. Tegasnya, orang enggan menanam sayur. Tinggal beli di pasar, semuanya akan beres. Ini sebuah masalah terkait kemandirian pangan. Ketergantungan pada pasar makin tinggi.
Ada semacam pasarisasi makan bahkan minum. Segala-galanya seolah-olah menjadi urusan pasar. Kini semuanya bisa dibeli.Di samping itu, ketergantungan pada raskin (beras miskin) jadi makin tinggi. Makan itu identik dengan nasi. Ada image yang keliru, bahwasannya makan ubi itu miskin dan tertinggal. Ubi nyaris tidak lagi dibudidayakan. Ini semua konstitutif bagi datangnya rawan pangan dan gizi buruk.
Ladang di samping rumah seringkali dibiarkan kosong, tak ditanami apa-apa. Kebun dapur seringkali tidak dioptimalkan fungsinya bagi ketahanan pangan keluarga. Padahal siapa yang mengerjakan tanahnya akan kenyang dengan makanan (Ams 12:11).
Hal itu terjadi sampai di kampung-kampung. Sulit diterima bagaimana akhirnya orang kampung membeli sayur yang dijajakan para pedagang yang masuk ke luar kampung dengan sepeda motor. Mereka menyebutnya ‘ojek sayur’!
Ini kemajuan atau kemunduran? Untuk memenuhi kebutuhan sayur masyarakat Ruteng, sayur didatangkan dari Bima dan Bajawa. Lagi-lagi ini kemajuan atau kemunduran? Inikah kemajuan pertanian kita di Manggarai yang tanahnya relatif subur? Hal yang sama mungkin terjadi di daerah lain.
Pada perayaan HPS keprihatinan serupa ini bisa muncul. Apa yang dibuat setelahnya di tingkat komunitas? Apa yang dibuat setelah didengungkan pentingnya menanam sayur dan memupuk kebanggaan menikmati dari hasil kerja sendiri? Apakah makin banyak yang menanam sayur dan tak membeli di pasar? Ataukah permintaan sayur di pasar makin tinggi?
Mimpi untuk Teologi Pangan
Dalam sebuah wawancara terkait tema gizi buruk di NTT untuk majalah Gita Sang Surya, pembicaraan kami mengerucut pada hal bagaimana Gereja secara kelembagaan menghadapi persoalan ini. Ada satu harapan. Teologi pangan mesti mendasari praksis sekaligus menjadi refleksi atas praksis penyelenggaraan pangan.
Melalui teologi pangan, kita “mensyukuri rahmat yang Tuhan berikan kepada kita dalam bentuk semua benih yang ada. Kita hidupkan lagi benih-benih lokal sehingga menjadi berkah. Menjadi berkah itu artinya apa? Kita tanam, dan yang minikmatinya tidak hanya kita sendiri tetapi tetangga juga. Di sinilah kita solider dan berbagi. Berbagi karena apa? Karena memang kita memiliki sesuatu gitu lho. Orang bisa memberi karena dia punya. Kalau dia nga punya apa yang dia beri?”
“Di rumah pendidikan (paroki), kalau pastor-pastor itu bisa menyelenggarakan sendiri pangannya, mungkin baik sebagai contoh untuk masyarakat. Kan enak, jadi frater atau pastor, dikasi makan masyarakat (umat). Kalau mereka harus mengusahakan makan sendiri, mungkin akan mikir ulang itu. Jadi, keterjaminan hidup elit gereja itu, yang entah darimana asalnya (nampaknya kurang mendidik.) Betul ga Gereja di NTT punya banyak tanah? Kalau dilakukan reformasi agraria di tanah-tanah gereja, mau nga ya?”
Tampaknya sulit untuk tidak melakukan sesuatu di hadapan kenyataan lapar atau kelaparan. Kenyataan ini membuka ruang bagi kepedulian dan solidaritas. Kesulitan serupa barangkali dialami ketika kita berhadapan dengan kenyataan gizi buruk. Sulit untuk tidak melakukan sesuatu, sekecil apa pun itu! Juga barangkali sulit untuk tidak merefleksikan pangan dalam pergulatan teologis kita.
Dalam Perjanjian Pertama, yang miskin dikenyangkan Allah Allah dengan roti (Mzm 132:15). Ketika Israel lapar dan karenanya bersungut-sungut saat mengembara di padang gurun, Yahwe menurunkan manna, roti dari langit. Mereka makan manna empat puluh tahun lamanya, sampai mereka tiba di perbatasan Kanaan (Kel 16:35). Sebuah penyelenggaraan pangaan dari pihak Allah.
Di Perjanjian Kedua, Yesus menggandakan roti, memberi makan lima ribu orang (Mrk 6:30-44; Luk 9:10-17). Paulus sendiri mengusulkan kemandirian pangan dengan kerja. Yang tidak kerja tak patut diberi makan (2 Tes 3:10). Untuk urusan perut, Paulus memenuhinya dari hasil kerja sebagai penyamak kulit. Karya pastoral yang luar biasa jangkauannya tidak dibangun atas ketergantungan-konsumtif pada umat yang dilayani.
Di akhir wawancara, saya merenung kembali Yesus yang menyelenggarakan roti. Lima potong roti digandakan, lima ribu orang dapat makan. Mukjizat roti macam apa yang bisa terjadi hari ini?
Hari Pangan Sedunia, 16 Oktober, telah lewat sehari. Tiba-tiba saya ingat di kesempatan lain, di ruang kuliah, kelas teologi. Topik yang kami bahas ialah Teknologi sebagai Keselamatan. Dosen kami bertanya, apa pentingnya calon biarawan mempelajari teknologi?
Ingatan saya tak utuh merekam keutuhan jawaban yang dia berikan saat itu. Ia mengatakan, kita tidak bisa menggandakan roti lewat mukjizat seperti yang dilakukan Yesus! Tapi kita bisa mengenal dan mempelajari teknologi. Teknologi pangan, misalnya. Dengan cara itulah kita menggandakan roti. Namun bagaimana itu bisa dilakukan bila teknologinya tidak kita kuasai?)***