Oleh: Sdr. Iwan Jemadi, OFM, Biarawan Fransiskan dan Mahasiswa STF Driyarkara, Jakarta.

“Halo, kamu seorang pemeluk agama?” tanya Tuhan pada tokoh aku dalam puisi Jokpin yang dimuat KOMPAS/8/8/2015. Sang tokoh dalam puisi itu dengan gigih menjawab, “Sungguh, saya pemeluk teguh, Tuhan”. Sejenak Tuhan bercanda. “Lho, Teguh si tukang bakso itu, hidupnya lebih oke dari kamu, gak perlu kamu peluk-peluk.”

Serupa tokoh aku dalam puisi itu, manusia yang tinggal di Indonesia, mutlak memberikan jawaban yang serupa. Kita adalah para pemeluk dari agama tertentu, sekurang-kurangnya salah satu dari agama yang telah disediakan pemerintah. Bahwa kita sungguh beriman, itu soal lain. Hal yang paling penting adalah kita memeluk sebuah agama. Namun, apa artinya menjadi pemeluk sebuah agama?

Pemeluk Teguh

Di Indonesia dicatat demikian: Ketuhanan Yang Mahaesa ditempatkan sebagai sila pertama. Entah bagaiamana itu dirumuskan, setidaknya sila pertama hendak menegaskan bahwa orang Indonesia adalah orang yang ber-Tuhan. Kemudian, keber-Tuhanan itu difasilitasi oleh negara melalui agama. Ketika ada yang memiliki iman yang tak mungkin terpenuhi dalam  agama yang diakui negara, mudah saja mereka dianggap sebagai aliran sesat. Meskipun demikian, negara perlu menjaga semua warga (juga mereka yang dianggap sesat) demi apa yang diserukan dalam UUD 1945. Bahwa “tiap-tiap penduduk diberikan kebebasan untuk memilih dan mempraktikkan kepercayaannya” dan “menjamin semuanya akan kebebasan untuk menyembah, menurut agama atau kepercayaannya”.

Agama kemudian dianggap sebagai sebuah formalitas belaka. Demi keabsahan sebagai seorang warga negara. Agama sebagai sebuah institusi lebih melekat kuat, daripada iman kepada Tuhan. Idealnya semua orang yang beragama, pasti juga beriman. Dan setiap iman pada Tuhan yang diwadahi oleh agama tertentu selalu berjalan beriringan dengan kehidupan sosial yang baik. Tetapi, di negeri di mana Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi sila pertama, yang terjadi seringkali yang sebaliknya.

Kekerasan antara agama selalu terjadi. Juga, korupsi  dilakukan oleh semua orang  yang beragama. Semua penjahat adalah orang yang taat mengisi kolom agama pada KTPnya. Sekurang-kurangnya ia beragama, bahwa ia selalu gagal mengamalkan ajaran agama dan melaksanakan imannya, itu soal lain. Bahwa seorang korputor juga dapat memberi sedekah yang jauh lebih besar. Jika di ujung timur Indonesia masjid dibakar, di ujung Barat Indonesia gereja dibongkar dan kemudian dibakar. Semua itu dilakukan oleh mereka, yang seperti tokoh aku dalam puisi Jokopin, menyebut dirinya sebagai pemeluk teguh.

Bahwa agama tidak serta merta membuat orang menjadi suci hanya dengan mengisi kolom agama pada KTP, itu benar. Akan tetapi, lebih benar bahwa agama yang tertera pada kartu identitas seharusnya memiliki dampak bagi kehidupan pribadi dan sosial dari pemilik yang mengaku pemeluk teguh. Bahwa korupsi tidak pernah bisa menjadi mulia jika uangnya disedekahkan untuk pembangunan rumah ibadat. Tentu, apa yang dilakukan oleh seorang yang beragama, tidak menceritakan sepenuhnya kebenaran yang terkandung dalam agamanya.  Tetapi, seorang pemeluk, memiliki peranan yang sangat penting, untuk menciptakan kesan umum terhadap agama tertentu. Bahwa kejahatan tidak punya agama, itu benar. Tetapi ketika orang yang beragama melakukan kejahatan, orang mudah untuk menghubungkannya dengan agama yang dipeluknya. Mungkin karena kita terlalu terburu-buru untuk segera beragama, sampai lupa caranya beriman. Maka, kita seringkali menjadi lebih sensitif dan peduli dalam perkara pembangunan rumah ibadat, ketimbang menumbuhkan kesadaran-kesadaran religious yang lebih toleran.

Iman harus selalu direfleksikan dari praksis dan pengalaman hidup. Apa relevansi sosial dari pilihan (atau mungkin keterpaksaan) kita untuk memeluk agama tertentu?  Apakah religiusitas hanya ditakar sebatas seberapa sering kita mendaraskan doa dan puasa, sementara ketidakadilan berkeliaran di sekitar kita?  Saya bersyukur (sekaligus juga ditantang), iman Kristen saya tidak pertama-tama dibenarkan hanya karena saya sering merayakan ekaristi dan berdoa, tetapi juga ditentukan oleh seberapa sering saya menaruh perhatian terhadap penderitaan sesama, dan mengamalkan kasih.

Karena agama tidak membuat manusia menjadi malaikat. Karena agama tidak punya lengan untuk memeluk pengikutnya. Tetapi pengikutnya yang memiliki lengan untuk merentangkan peluk. Dalam dialog selanjutnya antara tokoh aku dan Tuhan dalam puisi Jokopin, Tuhan bertanya lagi. “Benar kamu pemeluk agama?” Tokoh aku menjawab, “sungguh, saya pemeluk agama, Tuhan.” Lalu Tuhan menambahkan, “Tapi, Aku lihat kamu gak pernah memeluk. Kamu malah menyegel, membakar, merusak, menjual agama. Teguh si tukang bakso itu, malah sudah pandai memeluk.”

Di tangan pemeluknya, agama bisa menjadi berkat atau kutuk bagi yang lain. Lalu, apakah dengan demikian agama tidak lagi diperlukan ?

Belaskasihan: Nada Dasar Hidup Beragama

Karen Amstrong menuliskan ulasan yang menarik dalam bukunya yang berjudul Compassion.  Ia menjelaskan belaskasihan sebagai nilai dasar dalam setiap agama. Sikap welas asih berbeda dari persaaan yang biasanya bersifat fluktuatif, mudah meledak-ledak, tergantung situasi yang dihadapi. Kita bisa menyayangi seseorang detik ini, namun di saat yang lain, kita bisa berbalik membencinya dengan berbagai alasan, bahkan alasan yang tidak masuk akal (irrasional) sekalipun. Namun sikap welas asih merupakan sesuatu yang selalu ada, dalam kondisi apapun, kepada siapapun, bahkan termasuk kepada musuh sekalipun. Menurut Amstrong, welas asih bagaikan sikap seorang ibu terhadap bayi yang dilahirkannya, akan selalu ada, meski si anak melakukan hal-hal yang melukai hati sang ibu.

Compassion bisa tumbuh ketika manusia berhasil menekan egonya dan lebih mementingkan sesama. Itulah sebabnya, manusia yang punya sikap welas asih, tidak akan bisa hidup tenang. Dia akan selalu risau memikirkan nasib sesama manusia yang tertindas, dimanapun mereka berada. Dalam sikap welas asih, tidak ada lagi ‘mereka’ atau ‘saya’, yang ada adalah ‘kita’. Terorisme di Afghanistan, Pakistan, atau Suriah tidak lagi urusan ‘mereka’, karena setiap saat akan bisa hadir di tempat ‘saya’. Karenanya, itu semua adalah urusan ‘kita’ dan kita semua harus bergandengan tangan untuk menyelesaikan problem besar ini.

Di balik segala bentuk kekerasan yang muncul sepanjang sejarah, baginya belaskasihan merupakan keuatamaan dasar yang ada dalam diri setiap manusia, dan sekaligus juga nilai yang terkandung dalam setiap agama. Tidak ada agama yang membenarkan pembunuhan, atau mengiyakan permusuhan. Agama selalu menuntut bagi setiap pemeluknya untuk menenteng kebaikan dan sekaligus menentang kejahatan. Tetapi, nampaknya hal ini selalu gagal diamalkan.

Agama selalu dipersoalkan karena menyangkut siapa yang benar dan siapa yang salah. Ketika kita memutuskan untuk beragama, berarti kita memiliki posisi atau cara pandang tertentu terhadap realitas. Dengan beriman berarti kita memilih paham atau cara berada tertentu terhadap realitas (alam, manusia dan bahkan Allah), cara berada yang khas tentang moral dan bakhan mengenai sejarah. Sekalipun memiliki cara berada yang berbeda, setiap agama selalu pasti menentang kejahatan. Kejahatan tentu selalu objektif, tidak pernah berciri subjektif. Di setiap masyarakat, membakar rumah ibadat (agama apa pun) bukanlah sesuatu yang baik dan dapat dibenarkan dengan alasan apa pun. Apalagi, jika itu dilakukan oleh orang beriman.

Agama akan selalu baik. Tetapi, setiap orang tidak bisa dipastikan menjadi lebih baik hanya karena menganut agama tertentu. Selanjutnya, agama juga tidak dapat disalahkan hanya karena banyaknya kejahatan yang seringkali dihubungkan dengan agama. Kejahatan tidak memiliki agama. Maka, ketika rumah ibadat dibakar atau dibongkar, kita tak perlu mengecam agama atau menyesal karena terlanjur beragama.

Mewartakan Pelukan

Untuk ketiga kalinya, Tuhan bertanya pada tokoh aku dalam puisi Jokopin. “Benar kamu pemeluk agama?” Kali ini, tokoh aku dengan jujur mengakui, “Sungguh, saya belum memeluk, Tuhan.” Pengakuan yang tidak datang terlambat, meskipun ia sudah terlanjur menyegel, menjual agama. Seperti tokoh aku, kita mungkin perlu mengakui, betapa pun kita beragama, kita tentu bukan pemeluk yang baik. Boleh jadi, pelukan kita telah berubah menjadi cekikan bagi agama, yang membuat nilai-nila dasar dalam agama tidak nampak dan mewujud.

Di akhir doanya, Tuhan menawarkan pelukan kepada tokoh aku. Selanjutnya Ia memerintah. “Doamu tak akan cukup. Pergilah dan wartakanlah pelukanKu. Agama sedang kedinginan dan kesepian. Ia membutuhkan pelukanmu.” Doa dan sedekah kita tak pernah cukup, tanpa keberpihakan pada yang lain. Doa yang rajin, sedekah yang rutin, dan puasa yang padat, bukan takaran iman seseorang. Iman sekalipun merupakan pilihan pribadi, pada akhirnya harus memiliki dampak sosial. Tidak ada iman yang mengabaikan dimensi sosial dalam kehidupan beragama yang sejati.

Saya ragu, apakah Tuhan menerima doa dari mulut orang beragama yang sekaligus mengucapkan pujian kepadaNya dan cacian kepada sesama? Apakah Tuhan, masih menerima sedekah yang disumbangkan dari tangan orang beriman, sementara lengan yang sama digunakan untuk mengacungkan parang dan meneriakan perang melawan sesama? ****

 

 

 

 

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here