(Laporan hari kedua)

 Hari kedua (16 Oktober 2015) merupakan  ‘harinya para petani’. Panitia membagi peserta ke dalam kelompok-kelompok kecil untuk mensharingkan pengalaman suka-duka yang dialami para petani. Juga menggali kembali kekayaan pangan-pangan lokal sebagai pangan alternatif yang memang sudah lama ditinggalkan oleh orang-orang Manggarai.

Ada dua kelompok besar sharing itu, yakni anak-anak sekolah dan kelompok orang dewasa. Fokus refleksi kelompok anak-anak sekolah, melihat profesi petani dari berbagai sudut pandang. Selain itu, mereka diajak untuk berpikir tentang kemajuan pertanian di Manggarai. Dirumuskan dalam pertanyaan: “Apakah profesi petani dicita-citakan oleh para siswa/i SMK Pertanian?”

ekopastoral pagal

Sementara itu, kelompok sharing orang dewasa dibagi berdasarkan latar belakang profesi dan daerah asal. Kelompok orang dewasa mencoba menggali kembali kekayaan tradisi lokal yang sudah mulai menghilang. Misalnya mereka mendiskusikan kembali tradisi membuka kebun baru, tradisi panen, tradisi perayaan syukur atas panen, jenis-jenis makanan lokal, jenis-jenis sayur lokal, dan aneka tradisi lokal yang berhubungan dengan pertanian dan perut orang Manggarai zaman dulu. Di samping itu, mereka juga mendiskusikan berbagai kebijakan yang diambil oleh pemerintah atas mereka di mana semuanya menemui jalan buntu.

Pertanyaan pokok sharing itu: “Bagaimana usaha  orang-orang Manggarai untuk mencapai kemandirian pangan?” Bagaimana kita orang Manggarai berpikir supaya kita tidak lagi mengkonsumsi beras miskin?Bagaimana kita Orang Manggarai berpikir supaya tidak mengkonsumsi sayur dan buah yang didatangkan dari Bima, NTB? Bagaimana kita orang Manggarai berpikir supaya kita bangga mengonsumsi makanan lokal, seperti ubi, talas,sorgum dan aneka makanan lokal lainnya?

Ada bermacam-macam tanggapan atas sejumlah hasil diskusi. Ada juga perbedaan bahasa untuk suatu ritus antara orang-orang Manggarai, Manggarai Barat, dan Manggarai Timur. Namun, semua peserta saling belajar satu sama lain. Mereka saling memperkaya dan belajar dari sesamanya. Para petani sawah dari Lembor dapat belajar sesuatu dari petani kopi dari wilayah anggarain Timur, pun sebaliknya. Para petani kebun dari Cibal dapat belajar banyak hal dari petani kebun di wilayah Ndoso, Kuwus.

Lalu, diskusi di kelompok anak-anak sekolah dipresentasikan oleh utusan masing-masing kelompok. Kelompok orang dewasa memberi catatan kritis atas mental anak-anak muda yang tidak lagi mau mencintai pertanian. Manusia dapat hidup justur berkat petani. Dan orang-orang Manggarai justru lahir dari rahim petani. Namun, menurut pandangan peserta dari ‘golongan tua’, masa depan pangan Manggarai sudah sangat mengkhawatirkan. Hal itu disebabkan oleh golongan muda yang  tidak lagi mencintai profesi petani sebagai profesi mereka di masa depan. Banyak anak muda yang menganggap profesi petani sebagai profesi orang-orang gagal dan orang-orang kalah. Banyak orang muda juga melihat profesi petani sebagai profesi yang harus dihindari dan ditakuti. Oleh karena itu, banyak orang muda mencari pelarian kalau gagal dalam studinya, entah karena SDM maupun karena keterbatasan biaya. Banyak anak muda Manggarai yang menjadi ojek. Banyak anak muda manggarai yang merantau ke Malaysia, Kalimantan, Jawa, dan Papua. Mereka malu dan gengsi kembali ke kampung untuk mengolah tanah. Mereka menjauhi tanah dan enggan menjadi petani. Itulah komentar dari ‘golongan tua’.

foto eko 1

Namun, menurut anak-anak sekolah hal seperti itu terjadi pada anak-anak muda Manggarai karena salah asuh  ‘golongan tua’. Orang-orang tua Manggarai selalu berpesan kepada anaknya yang sekolah: “Anak…sekolah yang baik ya supaya menjadi pegawai atau pejabat yang sukses”. Menurut golongan muda, para orang tua jarang  berpesan kepada anaknya seperti ini: “Anak…..sekolah yang baik ya supaya menjadi petani yang sukses”. Menurut golongan muda, para orang tua tidak perlu mempersalahkan anak-anak muda yang malu dan gengsi mengolah tanah karena mereka tidak pernah mengarahkan para anak untuk menjadi petani yang sukses. Apalagi dalam konteks Manggarai, profesi petani selalu diidentikkan dengan kemiskinan dan kebodohan. Itulah sebabnya mengapa anak-anak muda Manggarai menjauhi dan menolak profesi petani karena image-nya yang negatif.

Seluruh kegiatan di hari kedua diperuntukkan bagi para petani. Sharing dari hati ke hati menjadi dinamika yang penting hari itu. Pada akhirnya, semua setuju bahwa  profesi petani harus dimuliakan, sebagai profesi yang harus dan akan tetap ada selama manusia berdiam di muka ibu pertiwi ini. Seluruh kegiatan sharing pertanian di hari kedua ditutup dengan acara pentas budaya yang dibawakan oleh kelompok-kelompok dampingan ekopastoral dan anak-anak sekolah.*** (Laporan Hari Kedua: Faris Jebada, OFM)

unnamed (5)

 

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

13 + 13 =