Oleh: Sdr. Arye Janoe

Pengantar
Dalam Kitab Suci, kita menemukan kesadaran bahwa alam raya dan segala isinya merupakan sakramen: tanda dan sarana kehadiran Allah. Dalam kitab Mazmur misalnya kita menemukan bagaimana orang Israel mengungkapkan kekaguman serta syukurnya atas alam ciptaan yang memperlihatkan kebesaran dan keindahan Pencipta. Ciptaan memperlihatkan kebesaran dan keagungan, keindahan dan kelembutan Allah. Kalau demikian maka sebenarnya manusia dapat berjumpa, mengalami dan mengkontemplasikan Allah dalam dan melalui ciptaan-Nya, karena alam adalah sarana komunikasi Allah.

Sayangnya, pandangan sakramental ini tidak berkembang dalam seribu tahun pertama kekristenan, karena hal itu dilihat sebagai kepercayaan sia-sia dan tidak kristiani. Sebaliknya alam atau dunia ini mesti diabaikan dan ditinggalkan kalau mau mengejar kesucian dan berjumpa dengan Allah. Allah dijumpai dalam kesendirian dan kesepian padang gurun, bukan di tengah keramaian dan keindahan alam, suatu pandangan yang didukung oleh paham dualisme yang begitu kuat pada masa itu. Maka berkembanglah semangat fuga mundi yang dipelopori para rahib. Kecendrungan ini kemudian dibalik dan “diakhiri” oleh St. Fransiskus dalam spiritualitas kosmik yang ia alami dan hidupi.

St. Fransiskus Assisi: Suatu Titik Balik
Menurut Leonardo Boff, St. Fransiskus mengakhiri model pencarian kesucian dengan cara fuga mundi tersebut. Ia tidak mencari dan menemukan Allah dengan melarikan diri dari alam ciptaan dan masyarakat. Tetapi ia menemukan dan mencari Allah dalam kehidupan nyata di dunia dan di tengah alam ciptaan. Kalau Fransiskus menyebutkan dalam Was. 3, bahwa dia meninggalkan dunia, yang dimaksudkannya adalah ‘dunia’ sebagai simbol kecenderungan dan keinginan menjauhi Allah dan kebenaran-Nya.

Dengan ini, St. Fransikus Assisi memberikan suatu model kesucian yang berciri kosmik karena ia mengkotemplasikan kehadiran, keindahan dan kebesaran Allah dalam alam ciptaan-Nya. Fransiskus berjumpa dan mengkontemplasikan Allah Tritunggal serta menikmati kehadiran-Nya dalam alam ciptaan. Karena itu spiritualitas St. Fransiskus adalah spiritualitas kosmik; kesucian yang dicapainya juga berciri kosmik. St. Fransiskus memulai suatu spiritualitas baru yang tidak lagi dicirikan oleh hidup menyendiri di padang gurun untuk melakukan pertobatan, tetapi memulai suatu spiritualitas yang hidup, konkret, manusiawi, sensible, puitis dan memiliki hati.

Spiritualitas Kosmik dan Kemiskinan St. Fransiskus
Bagaimana memahami relasi Fransiskus dengan alam serta kemiskinanannya? Ada tiga pokok yang ingin saya sampaikan di sini:

Pertama, Fransiskus adalah seorang penyair. Kita kenal baik bahwa Fransiskus adalah seorang penyanyi jalanan yang suka akan kegembiraan, pesta dan keindahan. Karena ‘kemampuannya’ itu ia mampu melihat dan menafsirkan segala sesuatu sebagai penyataan kehadiran Allah, penyataan rahmat Allah, penyataan diri Allah. Karena itu, Fransiskus menyairkan segala pengalamannya akan Allah yang dijumpainya dalam sesama dan juga dalam alam. Fransiskus mampu mengumandangkan kidung pujian terhadap Allah karena segala sesuatu itu dan menyapa segala sesuatu itu sebagai saudara.

Kedua, Fransiskus memahami bahwa segala sesuatu berasal-usul sama. Kesadaran diri Fransiskus sebagai saudara dari sesama ciptaan bersumber pada kesadaran sakramentalnya akan segala sesuatu serta kesadaran akan dirinya di tengah segala sesuatu serta di hadapan Allah. Fransiskus menjadi seorang ‘penyanyi Tuhan’ atau penyair yang sampai pada pengalaman transfigurasi dari segala sesuatu serta penemuan akan keberhubungan segala sesuatu dengan satu sumber abadi yakni Allah Pencipta. Keberhubungan segala sesuatu menyadarkan Fransiskus akan relasi simbiosis atau komplementar dari segala sesuatu dalam suatu ekosistem raksasa, sebagai suatu keluarga alam semesta. Karena itulah Fransiskus menyebut seluruh dunia adalah rumahnya (biaranya), yang tidak mengutamakan perbedaan tetapi sebaliknya kesamaan dan kesatuan sehingga dia berlaku lemah lembut terhadap segala sesuatu. Manusia dan alam semesta menjadi satu keluarga justru karena berasal-usul yang sama.

Ketiga, Fransiskus menjalani hidup miskin secara radikal. Kesadaran sebagai ciptaan dan menyadari diri sebagai yang berasal dari Allah sendiri Kesadaran inilah yang melandasi semangat dan spiritualitas kemiskinan St. Fransiskus. Kemiskinan pada Fransiskus bersumber pada kesadaran bahwa kita tidak berada dari diri kita, karena kehendak kita, oleh kehebatan dan kekuatan kita sendiri. Kemiskinan pada Fransiskus bukan suatu bentuk atau sikap menolak atau tidak menghendaki untuk memiliki sesuatu sebagai harta milik. Kemiskinan adalah kebebasan untuk mencintai dan menghormati segala sesuatu sebagai saduara dan saudari. Hasrat kemiskinan Fransiskus membuat dia mampu “memiliki” Allah sehingga dia berani berkata “Deus Meus et Omnia”. Fransiskus meninggalkan segala sesuatu agar ia dapat merangkul Allah dalam dirinya.

Spirit Kosmik dan Kemiskinan Fransiskus Bagi Kita
Kemiskinan Fransiskus adalah suatu komitmen eksistensial yang bersumber pada pengenalan dan pengalamannya akan Allah terutama melalui peristiwa inkarnasi. Peristiwa inkarnasi bagi Fransiskus adalah suatu model atau contoh nyata dari kemiskinan absolut. Yesus melepaskan segala sesuatu agar merangkul segala sesuatu. Fransiskus pun ingin menyerupai Yesus. Fransiskus melepaskan segala sesuatu, sehingga dia menjadi bebas untuk segala sesuatu. Fransiskus membebaskan diri dari keinginan untuk menguasai dan mengontrol sesuatu sesuai keinginannya sendiri, karena baginya hal ini menjadi sumber dari segala macam konflik dan perselisihan. Sebaliknya kemiskinan adalah pembebasan dari hawa nafsu dan cinta diri; membebaskan orang dari keinginan tak teratur dan nafsu kuasa, memajukan rasa hormat dan syukur atas segala sesuatu, pembebasan untuk merangkul segala sesuatu dalam persaudaraan universal dan menyadarkan bahwa manusia adalah makhluk ekologis, bukan hanya makhluk sosial dan rasional.

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

9 − 5 =