Konsumerisme telah menandai kehidupan masyarakat modern. Di banyak tempat, lebih khusus di kota-kota besar seperti Jakarta, sering kita saksikan banyak orang membeli barang bukan karena kebutuhan, melainkan karena ingin up to date atau sekadar mencari kepuasan semata. Belanja (Shopping) pun tak pelak menjadi semacam trend atau gaya hidup.
Lantas muncul sesanti baru, “Consumo ergo sum” (saya mengkonsumsi maka saya ada). Konsumsi menjadi gaya hidup. Atau juga “I shop, therefore I exist” (saya berbelanja maka saya ada). Gaya dan mentalitas hidup seperti ini tentu menjadi tantangan untuk kita zaman ini tak terkecuali para Fransiskan. Dalam konteks itulah pertanyaan seperti ini mencuat: apakah asketisme Fransiskan masih relevan dan kontekstual di zaman ini?
Untuk menanggapi hal tersebut, Forum Komunikasi Saudara Muda OFM Indonesia (Forkasi) bekerja sama dengan JPIC-OFM Indonesia, menggelar diskusi ilmiah bertajuk “Konsumerisme dan Asketisme Fransiskan”, pada Sabtu 20/2/2016, bertempat di biara St. Yosef Kupertino, Galur-Tanah Tinggi, Jakarta Pusat. Diskusi yang dimoderasi oleh Sdr. Johnny Dohut, OFM ini menghadirkan dua pembicara kunci, yaitu Sdr. Oki Dwihatmanto, OFM dan Sdr. Frumens Gions, OFM.
Sdr. Oki mendapat kesempatan pertama untuk berbicara. Dalam pemarannya, saudara yang pernah studi di Universitas Antonianum-Roma ini, pertama-tama mengelaborasi logika yang bekerja di balik fenomena konsumerisme. Proses belanja/konsumsi, demikian Sdr. Oki, telah menjadi semacam gaya hidup masyarakat modern pertama-tama karena dalam proses itu orang dapat menemukan ke-aku-an-nya.
Akan tetapi, lanjutnya, ada semacam paradoks karena dalam proses itu, manusia yang sejatinya adalah subjek mengalami objektivasi. “Pada dasarnya, manusia adalah kehendak untuk menjadi (to be). Tetapi, ketika ia mempunyai nafsu untuk memiliki (to have), ia mengalami kehilangan identitas ontologisnya sebab ia tidak lagi terarah pada suatu yang transenden yang menjadi ciri jati diri ontologisnya. Ia terjebak dalam cara hidup yang menuntut untuk memiliki, mengkonsumsi. Dan dengan ini ia mengabaikan perwujudan jati dirinya yang luhur dan mulia. Ia merendahkan diri hingga ke tingkat binatang yang dikendalikan oleh hasrat-hasrat”, tegas Sdr. Oki penuh semangat.
Lebih lanjut, saudara yang sangat menguasai spiritualitas Fransiskan ini menandaskan, zaman yang ditandai mental konsumeristis ini menjadi locus untuk menunjukkan relevansi dan konstektualitas asketisisme Fransiskan.
“Asketisisme dapat menjaga kita dari berhala-berhala dunia dan segala macam keterikatan untuk memiliki secara serakah”, pungkasnya. Dengan belajar dari Fransiskus Asisi, demikian Sdr. Oki kita perlu menyadari diri sebagai ciptaan yang rapuh dan karena itu perlu mendisiplinkan badan dengan penuh kesadaran, bebas, dan bertanggung jawab. Semua ini dilakukan dengan penuh suka cita. Sebab askese fransiskan bukanlah kemurungan!
Selanjutnya, Sdr. Frumens Gions menyajikan sejumlah perspektif segar dalam bersikap kritis terhadap konsumerisme. Menurut saudara yang juga ahli moral ini, konsumerisme mesti dicela karena mereduksi manusia hanya sebagai makhluk berkebutuhan belaka dan pada saat yang sama mengabaikan dimensi transendensi manusia. “Manusia terlalu hina jika dipandang hanya sebagai makhluk berkebutuhan”, tegas Sdr. Frumens.
Akibatnya, demikian Sdr. Frumens, manusia hanya dilihat sebagai makhluk yang egoistis, yang melulu mementingkan diri sendiri, dan serentak mengabaikan yang lain (sesama dan Tuhan). Selain itu, orang juga akan melihat segala sesuatu dengan menggunakan logika komoditas serta melakukan sesuatu hanya untuk mendapatkan uang dan keuntungan. “Konsumerisme membuat orang loba dan rakus”, lanjutnya.
Bertolak dari sejumlah perspektif dan pendasaran tersebut, Sdr. Frumens lagi-lagi menegaskan pentingnya sikap kritis terhadap konsumerisme. “Apa gunanya manusia memiliki seluruh dunia jika ia kehilangan jiwanya”, tandas Sdr. Frumens menutup presentasi.
Diskusi ini kemudian dilanjutkan dengan penyajian presentasi singkat dari Sdr. Darmin Mbula, OFM, selaku penanggap utama. Dalam komentarnya, Sdr. Darmin lebih banyak menjelaskan fenomena konsumerisme yang sudah lama merambah dunia pendidikan.
“Konsumerisme adalah dosa struktural. Ia dipicu dan didorong oleh sistem pendidikan. Hal ini dukung oleh masuknya paham neoliberalisme yang antara lain menjadikan pendidikan sebagai komoditas atau sesuatu yang bisa diperjualbelikan. Intervensi yang kuat dari Bank Dunia,model kurikulum gado-gado, serta kurangnya kajian filosofis tentang tujuan pendidikan turut mendukungnya sehingga pendidikan jauh dari cita-cita mewujudkan kesejahteraan mumum, keadilan sosial dan perdamaian abadi.”
Oleh karena itu, demikian Sdr. Darmin, OFM, jika dunia pendidikan ingin keluar dari belitan konsumerisme, maka paham neoliberalisme dalam dunia pendidikan harus dicabut. Selanjutnya kita perlu mengubah pendidikan dari komoditas menjadi komunitas.
Karena itu, demikian Sdr. Darmin, kita perlu memulai suatu model pendidikan yang berbasiskan komunitas dengan berlandasakan kasih. Model pendidikan semacam ini menekankan pentingnya mengasah rasa kagum (diksi poetik), takzim, dan care sebagai bahasa bersama dalam suatu komunitas!“
Dengan demikian, pendidikan tidak hanya mencakup aspek falsifikasi, justifikasi, dan pengetahuan, tetapi juga understanding dan caring. Dengan kata lain manusia manusia dididik sebagai makhluk yang multidimensi!”tandas Sdr. Darmin dengan wajah binar.
Selanjutnya, diadakan sesi tanya-jawab untuk mengeksplorasi tema secara lebih mendalam. Acara kemudian dilanjutkan dengan santap siang bersama.
Sdr. Joan Udu, OFM,Mahasiswa STF Driyarkara Jakarta