Pancasila seringkali menjadi sekadar hafalan, sekadar rumusan yang indah diucapkan. Hingga hari ini, Pancasila belum sepenunhya menjiwai prilaku sehari-hari rakyat bangsa Indonesia dari sabang sampai Merauke. Nilai-nilai Pancasila belum sepenuhnya diwujudkan. Korupsi meraja lela, ketidakadilan sosial merebak,jurang kaya miskin makin lebar, intoleransi, dan fundamentalisme agama mengganggu persatuan dan kesatuan bangsa.
Panitia rekoleksi Paskah SMP Marsudirini, Cawang- Jakarta Timur, rupanya menyadari persoalan itu. Karena itu, di Masa Prapaskah tahun ini mereka menjadikan pancasila sebagai sub tema permenungan untuk 331 anak kelas VII dan VIII. Pemilihan tema ini selaras dengan tema APP (Aksi Puasa Pembangunan) dari Keuskupan Agung Jakarta. Tahun ini, KAJ mengeluarkan tema Amalkan Pancasila, Kerahiman Allah Memerdekakan.
“Sebagai bagian dari KAJ kami menyajikan tema ini untuk rekoleksi siswa-siswi kami. Dengan ini seruan APP menyentuh semua kalangan baik itu orang tua, remaja, dan anak-anak” kata Ibu Titik Agustin, Guru Bahasa Indonesia, ketua panitia rekoleksi Paskah SMP Marsudirini untuk tahun ini.
Panitia lalu meminta tim Animasi dari JPIC-OFM melayani tiga Tiga ratus siswa dalam rekoleksi Persiapan Paskah tahun ini. Enam frater dari tim animasi JPIC-OFM Indonesia, Johnny Dohut OFM, John Tukan OFM, Philip Sulistyo OFM, Epa Prasetya OFM, Iwan Jemadi OFM, Hendra OFM menyanggupi permintaan itu.
Sabtu, (27/2), sekitar pukul 07.00, keenam Frater tiba dikompleks SMP Marsudirini Cawang. Tiga puluh menit kemudian kegiatan dibuka oleh ketua panitia. Setelahnya Ibu Titik menyerahkan tiga ratus siswa-siswi kelas VII dan VIII kepada para frater untuk didampingi.
Segera saja Tim membagi 331 siswa ke dalam dua kelompok dampingan. Frater Philip, John, dan Jony, mendampingi Kelas VII, yang semuanya bekostum kemeja/kaos berwarna putih dan bertempat di aula lantai satu, yang sekaligus merupakan lapangan basket. Sementara kelas VIII yang semuanya berkostum/kaos warna merah didampingi Frater Iwan, Hendra dan Epa di Aula SMP Marsudirini, di lantai empat.
Pancasila Belum Sungguh Diamalkan
Pada sesi pertama, peserta diajak merenung tema pancasila. Kelompok dampingan Frater Iwan dkk di lantai empat membuka dengan menyanyikan lagu Garuda Pancasila. Frater Jony, yang mengampu sesi pertama untuk kelas VI di lantai satu, memanggil enam siswa untuk mendeklamasikan Pancasila.
“Teman-teman kita di lantai IV sudah menyanyikan garuda Pancasila. Kita mendeklamasikannya saja di sini” ujar Fr. Jony sambil memanggil Maheswari (Katolik, Kelas VII E), Steven (Islam, Kelas VII D), Derian (Budha, Kelas VII A), Fredy (Konghuchu, Kelas VII F), Tito (Katolik, kelas VII B), Laetitia (Kristen Protestan, VII F).
Laetitia mengucapkan ‘Pancasila’ lalu diikuti lima teman lainnya mendeklamasikan sila pertama sampai sila kelima. Sebuah paduan yang plural, dengan beragam latar belakang agama, mendeklamasikan Pancasila sebagai dasar kehidupan bersama sebagai satu bangsa.
Dalam pemaparan materi terkait subtema Pancasila, Fr. Jony menyadarkan siswa siswi akan pentingnya mengamalkan Pancasila. “Perjalanan kita sebagai satu bangsa membutuhkan pancasila sebagai rambu-rambu yang membantu kita untuk sampai pada tujuan yakni terciptanya kehidupan berbangsa berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa, kemnusiaan Yang adil dan peradab, persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat permusyawaratan Perwakilan, Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia. Kelima sila ini adalah nilai-nilai luhur yang hendak kita wujudkan demi tercapainya masyarakat Indonesia yang lebih baik!”
Tetapi sayang, nilai-nilai luhur ini belum diwujudkan sepenuhnya. Laetitia prihatin dengan maraknya korupsi di negeri ini. Korupsi menurutnya merupakan pelanggaran terhadap sila keadilan sosial. Sementara Fredy melihat prilaku membuang sampah sebagai bentuk pelanggaran terhadap Pancasila. “Buang sampah sembarangan kan bisa menyebabkan banjir. Yang jadi korban banjir kan orang-orang sederhana yang rumahnya di pinggir-pinggir kali” Yang lainnya prihatin dengan adanya pembangunan Gereja yang dijegal ormas tertentu.
Di sesi kedua, Frater John Tukan menekankan kerahiman yang mesti Nampak dalam perbuatan kasih dalam perjumpaan dengan sesama dan seluruh alam ciptaan. “Rahim adalah tempat yang nyaman dan memungkinkan semua orang bertumbuh! Di negara yang berasaskan Pancasila ini kita perlu saling menerima dan menghargai serta mendukung pertumbuhan satu sama lain apa pun latar belakang budaya dan agama. Dengan itu, kita menjadi manusia yang 100% Katolik dan 100% Indonesia. Mari kita menunjukkan kerahiman Allah dalam perjumpaan dengan sesama lewat tindakan kasih!”
Rumah Pluralisme
Sebagai lembaga pendidikan Katolik, SMP Marsudirini-Cawang , patut disebut juga sebagai rumah untuk pluralisme. Siswa-siswi yang dibina di sana cukup beragam. Dari 331 kelas VII dan VIII, yang beragama Katolik 127 , Muslim 5, Budha 31, Hindu 4, Protestan 164. Semuanya hadir dan ambil bagian dalam rekloleksi dan bakti sosial serta penanaman pohon siang itu.
“Sejauh ini tidak ada kesulitan dan hambatan berarti dalam pergaulan antar mereka. Mereka bersahabat satu sama lain, terbuka, dan tanpa membeda-bedakan. Pada hari-hari Raya mereka saling memberi ucapan. Di sini kebersamaan dibina dengan banyaknya kegiatan bersama. Di sana siswa-siswi kami belajar bekerja sama, saling menghargai, dan menerima satu sama lain. Anak-anak pada dasarnya punya kerinduan untuk selalu ada bersama di sekolah. Sekolah menjadi seperti rumah kedua mereka. Sekolah lalu mewadahi keinginan mereka dengan berbagai kegiatan bersama misalnya pramuka, Natal bersama, tujuhbelasan, Hari Pahlawan dan sebagainya”.
“Pernah ada yang menarik dan sedikit lucu terjadi di sekolah kami,” tutur ibu Titik lebih lanjut, “setiap jam dua belas siang, di sini kami doa angelus bersama-sama. Biasanya ada satu orang yang memimpin doa lewat mikrovon dan diikuti seluruh warga sekolah. Namun tiba-tiba pada satu hari ada anak Budha yang menyanggupi dirinya memimpin doa. Tanpa disuruh, ia meminta diijinkan untuk memimpin doa angelus. Kami semua kaget. Ada apa dengan anak ini?”
Ada bagitu banyak kisah menarik dalam perjumpaan dan kebersamaan anak-anak dari beragam latar belakang agama di SMP Marsudirini-Cawang. Sekolah menjadi rumah kedua bagi anak-anak untuk belajar bekerja sama, saling menghargai, dan hidup harmonis satu sama lain.
“Melalui model pembinaan seperti ini, yang memungkinkan kerja sama dan saling menghargai satu sama lain” komentar Frater Iwan,”SMP Marsudirini mewujudkan apa yang dikatakan oleh Yudi Latif, Penulis buku Negara Paripurna, sebagai upaya meradikalkan Pancasila! Di sana kesatuan dibangun tanpa mengingkari perbedaan. Berbeda-beda tapi satu!”
Rekoleksi berakhir pukul 12.30. Setelahnya siswa-siswi melakukan aksi sosial sembako murah kepada warga sekitar dan menanam pohon di sekitar lingkungan sekolah. “Dengan begini kan jadi lengkap ya Frat. Ada sesi untuk teori ada sesi untuk praktik. Ada refleksi, ada aksi.” pungkas Ibu Titik.)***
John Tukan OFM dan John Dohut OFM