Kita memberi gelar ‘pahlawan devisa’ untuk Tenaga Kerja Indonesia. Nama yang indah! Namun sayang, keindahan itu tidak melukiskan nasib mereka yang tak putus dirundung malang. Di negeri sendiri mereka diabaikan, tidak disiapkan dengan serius sehingga minim keterampilan. Perekrutannya pun sarat kecurangan.
Di luar negeri mereka seringkali disiksa majikan, haknya sebagai pekerja kurang mendapat perhatian, perlindungan atas mereka pun tidak optimal. Tiba saatnya pulang, mereka lagi-lagi diperas dari Bandara hingga sampai di rumah. Yang paling aneh pun diam-diam dirasakan. Di luar negeri ada yang masih merasa dihargai, namun sebaliknya di negeri sendiri diabaikan dan diperas habis-habisan.
Sejumlah keprihatinan ini meruak dalam acara launcing buku Panduan Negara Tujuan Penempatan untuk TKI dan Talk Show di Auditorium Yustinus Lantai 15 Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta, Rabu, 24 Februari 2016. Tema yang dikemas untuk Talk Show pagi hingga siang itu ialah “Menggagas Masa Depan Perlindungan dan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia: Menjawab Tantangan Tata Kelola Migrasi Tenaga Kerja”.
Acara yang bertepatan dengan ulang tahun Serikat Buruh Migran Indonesia ke-13 ini terlaksana berkat kerjasama IOM (International Organisation for Migrant) dengan BNP2TKI dan Prodi Magister Hukum FH Unika Atmajaya. Rektor Unika Atmajaya, Dr. Agustinus Prasetyantoko, dalam sambutannya membuka acara inimenegaskan bahwa isu migran merupakan isu global yang berimplikasi luas. Di Indonesia sendiri yang paling santer adalah mengenai tenaga kerja terutama yang bekerja di luar negeri. “Kita memiliki banyak tenaga kerja, tetapi kurang memiliki kompetensi. Hadirnya MEA hendaknya membuat kita berusaha agar tenaga kerja kita dibekali keterampilan agar semakin produktif dan punya dasa saing” ungkapnya dengan penuh harapan.
Ketua IOM Indonesia, Mark Getchell dalam sambutannya untuk membuka peluncuran buku itu menyatakan bahwa TKI perlu dibekali pemahaman budaya dan aturan loka di negara tempat mereka bekerja. “Banyak pekerja kita tidak memahami dan kurang memiliki pengetahuan akan budaya dan hukum setempat sehingga rentan mengalami kekerasan, pelecehan, diusir dari tempat kerja, dan lain sebagainya. Karena itu kita membantu mempersiapkan para TKI kita dengan informasi yang dibutuhkan mengenai hukum dan budaya setempat, sehingga di sana mereka bisa dihargai, bekerja dengan tenang dan dapat kembali ke Indonesia dalam situasi yang menyenangkan dan selamat” pungkasnya.
Wakil Kedutaan Amerika, Miss. Hanna, yang hadir dalam acara itu, mengamini apa yang disampaikan Mr. Getchell. “Pengetahuan sangat dibutuhkan untuk mengadaptasi budaya dan kehidupan baru di negeri asing.” Selain itu, beliau meminta agar para tenaga kerja diberikan orientasi keberangkatan misalnya oleh BNP2TKI.
Wakil dari Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI, Bapak Harmono mengucap terima kasih atas masukan dan usaha IOM menyediakan informasi untuk para TKI dengan menerbitkan buku-buku panduan ke negara-negara tujuan TKI.
Acara jadi makin menarik ketika dilanjutkan dengan testimoni (kesaksian) ibu Iso, mantan TKI yang pernah bekerja di Arab Saudi. Melalui kisahnya terungkap realita pemerasan terhadap TKI yang sudah dimulai sejak mereka masih di Indonesia. Aneh, di tanah asing mereka diperlakukan dengan baik tetapi di negeri sendiri mereka malah mengalami kesulitan.
Mereka dieksploitasi oleh para agen. “Untuk mengurus Pasport setelah majikan saya meminta untuk kembali ke Saudi,” kenang Ibu Iso, “saya harus mengeluarkan uang sebesar 25 juta rupiah. Saya ke sana kemari mengurus kelengkapan administrasi. Tapi betapa rumitnya birokrasi negeri ini. Saya dioper ke sana-kemari untuk pada pada akhirnya tidak jadi berangkat. Uang saya habis, tidak jadi berangkat pula!” tutur Ibu Iso yang prihatin dengan bobroknya birokrasi negeri ini.
Suasana menjadi cair kembali ketika Musisi Pop Jazz asal NTT, Ivan Nestorman menyanyikan dua buah lagu dari albumnya berjudul “Promoting Safe Migration and the Fight Againts Human Trafficking”. Lagu pertamanya, Mama Lekas Pulang mengungkap kerinduan anak-anak TKW akan sang ibu. Mereka butuh uang tetapi terutama sangat membutuhkan pelukan kasih dari seorang ibu. Terungkap dalam penggalan syairnya: …Mama lekas pulang/mama lekas pulang/ kami rindu kau setengah mati/ uang memang penting/uang memang perlu/ tapi terlebih lagi pelukanmu
Lagu kedua dengan judul Serigala Berbulu Domba hendak menceritakan kerja para calo yang merekrut TKI khususnya di NTT. “Mereka bahkan menempel plakat untuk memikat para calon di dinding-dinding Gereja. Tidak jarang yang menjadi korban adalah keluarga dekat mereka sendiri,” terang penyanyi berambut gimbal ini.
Talk Show
Selepas santai, acara dilanjutkan dengan Talk Show yang dipandu oleh ibu Vivi Zabkie, seorang reporter dan presenter radio Sarjana lulusan Universitas Pajajaran jurusan Ilmu Komunikasi yang juga konsen pada masalah buruh dan migran.
Hadir sebagai pembicara staff ahli dari Komisi IX DPR – RI Bapak Wahab Samad; Sekretaris Utama BNP2TKI Bapak Hermono; Direktur PWNI (Perlindungan Warga Negara Indonesia) dan BHI (Badan Hukum Indonesia) Kementrian Luar Negeri Bapak Muhamad Iqbal; Bapak Guntur Witjaksono, Staff Ahli bidang Kerjasama Luar Negeri Kementrian Ketenagakerjaan; Dr. Antonius PS. Wibowo, SH., MH, akademisi dari Universitas Katolik Atma Jaya; Ibu Marlinda dari Satuan Tugas TKI, Kamar Dagang Indonesia; dan Bapak Haryanto selaku Ketua Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI).
Tema yang muncul dalam Talk Show adalah soal penanganan TKI, Tata Kelola, dan terutama RUU pengganti UU Nomor 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan Dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri.
Menanggapi pertanyaan terkait lambannya pemerintah menangani permasalahan TKI, Harmono lebih menyoroti birokrasi yang lambat. “Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir soalnya lebih pada politik birokrasi sehingga keputusan berjalan lambat dan tidak teralamatkan ke TKI. Hal inilah yang sedang dibahas pemerintah dan DPR dalam RUU TP2TKILN,” terangnya. Staf Ahli dari Komisi IX DPRI, Wahab Samad mengamini pernyataan Harmono. Dia mengungkapkan bahwa RUU sedang dibahas dan disana terjadi pertarungan antar gagasan yang sangat alot.
“Dapat dimengerti mengapa menjadi sangat alot, karena ini adalah Ranah gemuk dan merupakan peluang bisnis yang sangat besar”, sentil Vivie Zabkie sang moderator asal Bengkulu. Sementara itu, staff Ahli Bidang Kerjasama Luar Negeri Kementrtian Ketenagakerjaan, Bpk Guntur Witjaksono, lebih menyoroti fakta TKI ilegal yang terus membanjir.
Kita memiliki angkatan kerja yang besar dimana 62 %-nya adalah lulusan SD tetapi lapangan kerja sempit. Karena itu mereka ke luar negeri tetapi sayangnya mereka pergi secara ilegal. Karena itu dia meminta hal ini harus dibahas secara serius dalam RUU. “Dalam RUU harus dibicarakan bagaimana menangani para pemasok TKI non prosedural karena masuk dalam kategori Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Pemerintah harus hadir dengan memberi sosialisasi,”pintanya.
Menanggapi pertanyaan apa yang perlu diperbarui dan masuk dalam RUU pengganti UU no 39 tahun 2014, Muhamad Iqbal, Direktur PWNI dan BHI, Kementrian Luar Negeri menekankan pentingnya mengubah mindset. “Semua pihak harus mengubah mindsetnya. TKI jangan asal ke luar negeri, seolah-olah di luar negeri selalu menjanjikan. Mirisnya, para tenaga kerja itu juga lebih sering berasal dari daerah subur. Selain itu, semua pihak yang terlibat sejak keberangkatan hingga pemulangan TKI, jangan jadikan TKI sebagai sasaran eksploitasi. Dari pihak pemerintah, hendaknya lebih mengutamakan tanggungjawab bukan birokrasi”.
Dari prespektif Kamar Dagang Indonesia, Ibu Marlinda meminta agar dalam RUU dimasukan point-point yang memungkinkan para TKI kita bersaing, karena itu harus diperhatikan pengetahuannya. Selain itu, biaya untuk mengurus kelengkapan TKI itu sangat mahal, padahal mereka itu pemasuk devisa bagi negara. Beliau bahkan meminta bila perlu, urusan TKI itu zero cost.
Bapak Haryanto selaku Ketua Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) mendorong perbaikan UU No. 39 tahun 2014, sekaligus juga pesimis melihat perkembangan pembahasan RUU pengganti UU No. 39. Secara substantif tim DPR belum maksimal untuk perlindungan buruh migran masih banyak berbicara tentang swasta. Bahkan beliau menilai RUU yang sekarang lebih buruk dari UU No. 39 tahun 2014. Menanggapi pernyataan ini, Hermono menegaskan bahwa pemerintah dan DPR sedang berupaya agar fokus utama dalam RUU adalah perlindungan. “Semua pelayanan berbasis perlindungan”.
Akhirnya Dr. Antonius PS Wibowo, Akademisi UNIKA Atmajaya menekankan tiga hal penting dalam membaca semua persoalan yang telah diungkapkan. Pertama, penting merevisi undang-undang, tetapi lebih penting lagi good relationship. “Percuma kita menghasilkan undang-undang yang bagus jika kita tidak memiliki good relationship dengan pemerintah diman tenaga kerja kita bekerja. Bukankah undang-undang kita hanya berlaku di negara kita, sedangkan di negara lain sama sekali tidak berlaku?” ungkapnya dengan nada retoris.
Kedua, untuk menjawab hal yang kedua, dibutuhkan Mutual Legal Agreement (Kesepakatan Hukum Bersama). Dan yang terakhir, perlu membuat sinkron antara sistema hukum luar negeri soal tenaga kerja, hukum pidana, dan hukum internasional.
Talk Show berakhir dengan pemberian kenang-kenangan kepada para pembicara. Acara dilanjutkan dengan pemotongan tumpeng ulang tahun Serikat Buruh Migran Indonesia ke-13. Dirgahayu Serikat Buruh Migran Indonesia! Semoga menjadi wadah yang tetap lantang, kritis dan penuh komitmen memperjuangkan hak-hak pekerja migran.)***
Charlest OFM, Staf JPIC-OFM Indonesia