“Semoga tidak ada dusta di antara kita dalam ruangan ini,” demikian kritik keras dan tajam yang disampaikan oleh Pastor. Mikael Peruhe, OFM salah seorang utusan dari JPIC OFM Indonesia yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat NTT Tolak Tambang ketika beraudiensi dengan DPRD TTS di So’e, kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) Jumat (26/2/2016) kemarin.
Dalam pertemuan bersama yang dihadiri oleh para utusan fraksi dan komisi III DPRD serta Kadis Distamben Kabupaten TTS, dan peserta Aliansi Masyarakat NTT “Tolak Tambang” membeberkan sejumlah fakta ironis akibat aktivitas pertambangan di desa Supul, kecamatan Kautnana, kabupaten TTS. LexiTamonob koordinator lapangan, aliansi mengungkapkan bahwa dalam seluruh proses pertambangan, PT. Soe Makmur Resources (SMR) telah menimbulkan banyak persoalan bagi pemilik lahan dan warga lingkar tambang, serta mengangkangi banyak kewajiban yang terindikasi merugikan Negara.
Kehadiran PT. SMR justru menyulut sejumlah persoalan dan kegaduhan di tengah masyarakat lingkar tambang. Sejumlah kewajiban sebagaimana diisyaratkan dalaam peraturan undang-undang diabaikan. Konflik horisontal, kerusakan lingkungan hidup, pencaplokan tanah masyarakat, pembangkangan perusahaan terhadap pemerintah adalah sejumlah soal yang muncul disekitar kehadiran PT SMR.
Pastor. Kristo Tara, OFM, dalam audiensi tersebut juga membeberkan beberapa fakta di lapangan, bahwa PT. SMR diduga telah melakukan tindakan pidana kehutanan. Karena sejak tahun 2010 – 2014, PT SMR telah melakukan penambangan di kawasan hutan produksi seluas 117.94ha, dengan rincian 42.22 ha dalam kawasan yang masuk dalam area IPPKH dan 76.41 ha kawasan hutan di luar area IPPKH, tanpa ijin pinjam pakai kawasan dari menteri kehutanan. Karena Izin Pinjam Pakai Kawasan dari Menteri Kehutanan baru didapat oleh PT. SMR pada 18 September 2014. “Melihat semua fakta – fakta yang ada maka dengan tegas Aliansi Masyarakat NTT Tolak tambang meminta DPRD TTS segera memberikan rekomendasi kepada Bupati TTS agar Bupati segera mengeluarkan rekomendasi kepada Gubenur untuk Mencabut IUP PT SMR” tegasnya.
Menanggapi tuntutan Aliansi, ketua komisi III DPRD TTS David Imanuel Boimau mengungkapkan beberapa kesimpulan berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Tim kabupaten TTS. Kesimpulan tersebut yakni kepemilikan dan peralihan manajemen PT. SMR merupakan kewenangan gubernur NTT dan telah dilakukan sesuai dengan prosedur undang – undang. Soal reklamasi, PT. SMR telah melakukan reklamasi melalui kegiatan revegetasi berupa pohon gamal, jarak dan sengon dengan presentasi hidup + 30 % dari total tanaman yang ditanam. Selain itu PT. SMR telah melak ukan kegiatan CSR berupa pemberian air bersih dan beras, sarana bus untuk anak sekolah dll.Tanggapan komisi III DPRD yang merupakan kesimpulan yang dibuat oleh Tim kabupaten TTS, dibantah dan ditantang keras oleh peserta Aliansi Masyarakat NTT tolak Tambang. Yunus Benu, salah seorang peserta yang hadir mengungkapkan bahwa berdasarkan fakta lapangan tidak ada tanaman yang ditanam oleh PT. SMR di lokasi tambang, mungkin yang dimaksudkan oleh perusahaan adalah benih – benih yang masih di penangkaran yang entah saat ini berada tidak tahu di mana. “Selain itu soal CSR, bus yang dimaksudkan oleh perusahaan untuk sarana transportasi anak sekolah, hanya diperuntukan untuk anak – anak dari orang tua yang pro terhadap kehadiran pertambangan, disertai dengan tanda persetujuan kegiatan tambang di Supul”, ungkap aktivis muda ini.
Fakta ini diamini oleh Petrus Tahaob salah seorang peserta aliansi. Dengan tegas dan keras, mengecam tindakan deskruktif dan aktratif aktivitas pertambangan PT. SMR. CSR yang seharusnya berasaskan pemberdayaan dan keberlanjutan bagi masyarakat dibuat seperti gula – gula, yang manisnya hanya sesaat dan meninabobokan masyarakat. “Sebagai warga TTS, ini merupakan tindakan yang memalukan dan merendahkan harkat dan martabatnya. Tanah dan kekayaan dirampok dan dirampas habis, sedangkan bagi masyarakat sang pemilik tanah hanya dihargai dengan duit Rp. 100.000/hektar/bulan”, kritik sekertaris GEMA SABA NTT.
Ketika diberi kesempatan untuk berbicara, sebagai koordinator advokasi JPIC OFM Indonesia, P. Mikael Peruhe, OFM, mengungkap tiga hal yakni efek investasi dibidang sumber daya alam, soal kajian tim dari Tim kabupaten TTS dan fungsi pengawasan DPRD. Soal efek investasi sumber daya alam, berdasarkan pengalaman empiris yang pernah dilakukannya, Pastor berdarah Lembata, Flores Tmur ini mengatakan bahwa fakta di lapangan yang tidak terbantahkan adalah investasi pertambangan di NTT menciptakan ATM baru untuk eksekutif, legislatif dan aparat keamanan. Mengapa demikian karena keberadaan tambang dipelihara, mau masyarakat rusak, masyarakat sejahtera atau tidak, itu tidak penting, yang penting oknum – oknum ini mendapat suplai keuntungan terus – menerus untuk kepentingan pribadinya, tegas alumnus victory university Malborn Australia ini.
Soal kajian tim, lanjut Pstor Mikhael, patut diduga bahwa ini copy paste dari AMDAL yang dibuat sebelum IUP dikeluarkan, dan selalu dibuat bersama perusahaan tambang. Karena kajian ini sangat normatif dan out of contex dan ini adalah pembohongan dan dusta. Semoga tidak ada dusta di antara kita dalam ruangan ini, karena kami kerja lurus dan tidak punya kepentingan, ungkap pastor Fransiskan ini.
Untuk fungsi kontrol DPRD, harapannya adalah supaya teman – teman di DPRD TTS bukan kumpulan orang – orang bisu. Karena fakta di banyak kabupaten lain di NTT, banyak anggota DPRD yang tidak peduli dengan penderitaan rakyatnya atau yang oleh ibu Sherly salah seorang peserta aliansi yang ketika diminta bicara menyatakan bahwa anggota dewan harus turun lihat penderitaan masyarakat.Karena untuk itu bapak – bapak dipilih, bukan untuk duduk tenganga – tenanga, ungkap sang aktivisi perempuan anti tambang itu.
Setelah mendengar beberapa tanggapan peserta Aliansi, beberapa anggota komisi III juga menyatakan apresiasi dan dukungan atas perjuangan aliansi. Pak Beni Banam Tuan dari fraksi Demokrat, menyatakan bahwa jika anggota dewan tidak turun, maka anggota fraksi Demokrat akan turun dan melihat sendiri fakta lapangan, agar dewan segera memberikan rekomendasi kepada pemerintah daerah TTS. Sedangkan pak Ruba Banunaek dari fraksi Golkar, menyatakan bahwa sebagai sebuah lembaga politis DPRD perlu menyatakan sikap politis dengan melobi anggota DPRD NTT melalui fraksinya masing – masing untuk segera mendesak gubernur NTT agar segera mencabut Ijin Usaha Pertambangan (IUP) PT. SMR. Audensi ditutup dengan kesimpulan dari ketua komisi III yang menyatakan bahwa hasil dari analisis dan tuntutan dari Aliansis akan ditindaklanjuti oleh DPRD yakni melalui komisi III yang akan turun ke lapangan. Selain itu DPRD akan berkoordinasi dengan Distamben provinsi NTT untuk mengadakan pertemuan. Setelah dua kegiatan ini dilakukan maka DPRD akan mengundang Aliansi untuk menyatakan sikapnya.
Sumber : Pastor. Alsis Goa, OFM, JPIC OFM Indonesia.
(Diambil Dari SumberNews.com)