Pater Mike Peruhe OFM menggarisbawahi pentingnya totalitas dalam keterlibatan membela kepentingan rakyat berhadapan dengan korporasi tambang di Supul, Soe, Kabupaten Timur Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur.
Baca: Semoga Tidak Ada Dusta di Antara Kita di Ruangan Ini
Dengan rumusan bernada puitik dan pesan yang tegas ia menyampaikan harapan itu Dalam pertemuan bersama, Jumat (26/2), yang dihadiri para utusan fraksi dan komisi III DPRD serta Kadis Distamben Kabupaten TTS, dan peserta Aliansi Masyarakat NTT ‘Tolak Tambang’.“Semoga tidak ada dusta di antara kita di dalam ruangan ini!”
Mudah diterka maksud di balik kata-kata indah itu. Dalam kelompok duabelas para murid Yesus, ada satu yang menjadi pengkianat. Dalam perjuangan bersama, untuk membela rakyat, seringkali ada yang bermain di dua arena. Di satu sisi tampil prorakyat; di sisi lain, ternyata enak juga dekat dengan yang entah apa kita menyebutnya, cukong tambang, birokrat korup, dan sebagainya.
Pesan itu disampaikan kepada DPR yang di satu sisi bisa berwajah Dewan Perwakilan Rakyat, di sisi lain bisa tampak dengan wajah Dewan Pengkianat Rakyat. Para aktivis, peserta aliansi Masyarakat NTT Tolak Tambang dan siapa saja yang potensial memerankan wajah ganda dalam membela kepentingan rakyat; pada mereka jugalah pesan itu dituju.
Hemat saya, seruan itu penting disampaikan dalam konteks gerak bersama membela kepentingan rakyat. Sebab kerap kali yang kita sebut kawan seperjuangan, sahabat satu spirit dalam gerak bersama, adalah kaki tangan lawan dan antek-antek kuasa modal dan birokrat korup.
Yah, pejuang yang berpijak di dua wilayah dan berjalan kangkang. Betapa susahnya, dan seringkali memang tidak sampai pada tujuan kolektif! Kecuali bahwa ada penistaan terhadap konsistensi, komitmen bersama, dan kesetian pada gerak langkah bersama melawan korporasi yang sulit untuk berpikir selain untuk keuntungannya sendiri.
Seringkali memang manusia berhasrat selangit; mau dianggap pahlawan dan ditodong rasa bersalah jika tidak melakukan apa yang baik, benar, dan mesti dikerjakan. Karena itu, ia masuk dalam gerakan yang kiranya memperjuangkan apa yang baik, benar, dan menunjang perwujudan bonum commune. Di TTS gerakan itu dibaptis dengan nama Aliansi Masyarakat NTT Tolak Tambang. Adanya dusta menjadi tantangan dan siapa saja potensial menjadi pelakunya alias pendusta.
Yah, bukankah lebih mudah taat pada uang/ pejabat korup beruang/ atau cukong-cukong berduit? Bukanlah lebih mudah taat pada itu semua daripada taat pada rakyat yang diwakili dan juga nilai-nilai luhur yang kita namai keadilan, perdamaian, keutuhan ciptaan dan sebagainya yang kerap kali kita cintai dengan separuh hati?
Bukankah lebih mudah tunduk pada penguasa dan pemodal yang mengagendakan privatiasai, air minum misalnya, daripada taat pada nilai, hak asasi manusia akan akses air sebagaimana dideklarasikan oleh PBB? Bukankah ini yang dilakukan pejabat publik di republik ini seiring maraknya privatiasasi air? Bukankah mereka juga lebih tunduk pada cukong tambang daripada rakyat yang memberi mandat?
Manusia kerap kali mengetahui apa yang baik yang harus dikerjakan. Para birokrat dan DPRD tahu hal itu. Namun seringkali yang dikerjakannya bukan yang diketahui sebagai baik dan benar. Pejuang kemanusiaan, aktivis, pegiat HAM, aliansi masyarakat peduli…, atau apapun namanya mengetahui nilai-nilai yang baik dan benar yang harus diperjuangkan.
Namun selalu ada batu ujian untuk konsistensi, komintmen, dan kesetiaan pada nilai-nilai luhur yang melandasi dan menggerakkan perjuangan bersama. Satu di antara banyak batu ujian adalah uang. Berapa banyak dari kita yang tersandung karena batu ujian ini?
Sampai di sini saya tiba-tiba teringat Nota Pastoral Konferensi Wali Gereja Indonesia pada 2012 lalu. Gereja Indonesia menyatakan komitmen untuk peduli terhadap persoalan lingkungan hidup. Saat itu Gereja menyerukannya perlunya pastoral ekologi (ekopastoral). Gereja menyadari bahwa perjuangan memulihkan keutuhan ciptaan adalah bagian integral hidup beriman Kristiani.
Sejauh mana pastoral ekologi dikembangkan di setiap keuskupan? Yang seperi ini seringkali lupa atau dianggap tak penting untuk ditanyakan! Yang penting kita telah merumuskan sikap. Tetapi cukupkah itu? Tidak! Kita tentu perlu melampaui rumusan. Kesadaran tentu saja belum berarti apa-apa jika tidak disertai keterlibatan konkret. Lantas, bagaimana kita terlibat?
Saat itu, dalam salah satu tatap muka kuliah Moral di STF Driyarkara, Direktur JPIC-OFM Indonesia, Sdr. Peter C. Aman OFM mengusulkan dua model keterlibatan.
Pertama, pada level praktis. Orang Katolik mesti ikut dalam usaha menentang setiap bentuk tindakan eksploitatif terhadap alam. Di saat yang sama kita juga bisa melakukan tindakan pemulihan berupa reboisasi misalnya. Pokok ini mengena pada perjuangan masyarakat di Soe, TTS bersama lembaga-lembaga yang bergabung dalam aliansi Masyarakat NTT Tolak Tambang.
Kedua, pada level teologis yakni dengan menggalakkan katekese. Umat kita perlu diberi katekese untuk menyadari tanggung jawab menjaga Saudari Bumi, Ibu kita tercinta.
Namun demikian, tambah Saudara Peter, kita perlu mewaspadai yang namanya keterlibatan berwajah dua. Di satu sisi mendukung aksi propenyelamatan lingkungan hidup. Di sisi lain tangan kelihatan gesit menerima keuntungan dari perusahaan tambang, misalanya. Atas kenyataan inilah Saudara Peter mewanti-wanti. Orang Katolik perlu mengakhiri kerja sama dengan perusahaan-perusaan penghancur lingkungan.
Semoga tidak ada dusta di antara kita kiranya juga mengena pada keterlibatan kita masing-masing dalam upaya menjaga, merawat, dan memulihkan lingkungan hidup serta mewujudkan keadilan sosial di mana pun itu kita lakukan. Di sana ada harapan akan konsistensi, dan kesetianan pada komitmen bersama. Agenda pribadi yang menghancurkan spirit perjuangan bersama perlu ditinjau ulang dan bila perlu ditinggalkan.
Sebab agak lucu jadinya ketika yang menamai diri DPR terpeleset sunggu-sungguh menjadi Dewan Pengkianat Rakyat. Atau pembela kepentingan rakyat dalam aliansi yang dirumuskan secara wow bertengkar satu sama lain.
Pembela dalam KBBI online berarti menjaga baik-baik, memelihara, merawat, melepaskan dari bahaya, dan menolong. Asal ada -h di akhir kata bentukan itu maknanya sudah beda. Pembelah berarti: alat untuk membelah, orang yang (pekerjaannya) membelah kayu dan sebagainya, dan alat untuk membelah inti secara memanjang dalam dua atau empat bagian yang sama untuk dianalisis secara kimia.
Dalam konteks gerakan membela kepentingan rakyat pembelah adalah pemecah-belah soliditas gerakan, penghancur gerakan dari dalam, dan figur oportunis kelas berat. Semakin banyak pembelah semakin bertambah berat beban rakyat yang dibela.
Di satu sisi, mereka mendapat pekerjaan tambahan karena harus melerai para pembela mereka! Di sisi lain, mereka akhirnya harus membedakan mana pembela dan mana pembelah! Yang seperti ini sulit dilakukan di zaman ketika keseolah-olahan makin canggih dikemas!)***
Johnny Dohut OFM