Prihatin dengan meningkatnya jumlah orang yang terkucil dan terpinggirkan dari sistem ekonomi global saat ini, Paus Fransiskus mendesak Gereja untuk memberikan perhatian khusus kepada masyarakat yang rentan dan miskin.
Mereka adalah kaum yang sering tak punya pekerjaan, tanpa kemungkinan-kemungkinan, tanpa sarana untuk keluar dari keterpurukannya.
Dalam Pembukaan Tahun Yubelium Luar Biasa Kerahiman Ilahi, 8 Desember 2015, Paus Fransiskus mendorong umat Katolik di seluruh dunia agar membuka lebar-lebar pintu hati mereka “untuk memaafkan orang lain dan bekerja melawan pengucilan sosial. “Rahmat dan pengampunan tidak boleh tinggal tetap sebagai kata-kata indah,” ungkap Paus “tetapi harus diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari.”
Selaras keprihatinan Paus, pada 17/12/2015, Fransiskan International, bersama dengan ATD Dunia Keempat dan Caritas International, mempublikasikan buku pedoman penegakan HAM dalam sebuah Konferensi Pers yang diadakan di Kantor Berita Tahta Suci (Sala Stampa) di Roma.
Buku pedoman itu berjudul “Making Human Rights Work for People Living in Extreme Poverty: A Handbook for Implementing the UN Guiding Principles on Extreme Poverty and Human Rights” (Menegakkan HAM untuk Orang yang Hidup dalam Kemiskinan Absolut: Buku Pedoman Pengimplementasian Prinsip-prinsip Panduan PBB tentang Kemiskinan dan Hak Asasi Manusia).
Buku pedoman ini akan menjadi alat bantu dalam upaya memerangi kemiskinan. Alat bantu yang sungguh menggemakan apa yang menjadi keprihatinan Paus Fransiskus terkait tata ekonomi yang pincang saat ini dimana kepentingan ekonomi cenderungmengalahkan kesejahteraan umum (bdk. LS. 54). Tata ekonomi yang memperlebar jurang kaya-miskin.
Mendefinisikan kemiskinan terutama sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia, buku pegangan ini menyingkap sejumlah elemen kunci untuk memobilisasi dan memberdayakan masyarakat dan komunitas demi mengadvokasi kebijakan yang lebih baik dan adil.
Pendekatan dasar hak asasi manusia dalam buku pegangan ini mengakui semua orang sebagai pemegang hak dan hendak memastikan bahwa negara harus bertanggung jawab untuk menegakkan hak-hak tersebut.
Penghapusan kemiskinan bukan hanya kewajiban moral, tetapi juga kewajiban hukum, berdasarkan ketentuan hukum internasional tentang Hak Asasi Manusia sebagaimana tercatat dalam Prinsip-prinsip Penuntun PBB terkait pengentasan Kemiskinan dan penegakan Hak Asasi Manusia.
Kemiskinan absolut memang sulit diatasi. Kesulitan ini sering kali disebabkan dan diabadikan oleh kebijakan serta kelalaian Negara dan pelaku ekonomi lainnya. Namun “alat untuk mengakhiri itu berada dalam jangkauan kita‘” kata Fransiska Restifo, Direktur Advokasi Fransiskan Internasional dengan nada optimis.
“Titik awal kami dalam upaya itu” lanjut Fransiska “adalah meningkatkan keahlian, pengetahuan dan pengalaman dari mitra kami di tingkat lokal. Buku panduan ini adalah buah keprihatinan mereka dan kontribusi mereka perubahan ke arah yang lebih baik.”
Mgr. Bernardo Johannes Bahlmann OFM, Uskup Keuskupan Óbidos di Timur Laut Brasil menyeringkan dampak potensial dari buku pegangan ini pada masyarakat di keuskupannya, terutama masyarakat adat yang hak-haknya sering dilanggar oleh korporasi yang menggerakkan deforestasi.
“Fransiskan tinggal dalam hubungan yang dekat dengan masyarakat yang terkena dampak kemiskinan di seluruh dunia,” tambah Pater Michael Perry OFM, Minister Genderal Ordo Saudara Dina yang hadir dalam konferensi pers itu. Menurutnya, pendekatan berbasis hak untuk kemiskinan adalah sejalan dengan spiritualitas Fransiskan yang menempatkan martabat manusia di tengah upaya penanggulangan kemiskinan.
“Para Fransiskan berusaha untuk membangun ikatan yang kuat antara perlindungan hak asasi manusia dan perlindungan lingkungan.”
Fransiskan Internasional menjadikan peluncuran dan promosi buku pegangan ini untuk mendorong dan memberikan contoh pendekatan berbasis hak asasi dalam menangani kemiskinan di PBB, di antara para pemimpin Katolik, dan dengan mitra kerja di lapangan.
Johnny Dohut OFM (Diolah dari www.franciscaninternational.org)