Alberth Dino OFM

Keadaan masyarakat semakin kompleks. Persaingan bebas semakin mewarnai dinamika hidup bersama, baik dalam lingkup global maupun regional dan lokal. Dalam arus seperti itu, seringkali keadilan dan kebenaran diabaikan. Martabat manusia dikorbankan demi suatu tujuan yang egoistik dan pragmatis.

Melihat situasi demikian, sejak beberapa tahun lalu, Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) melalui Komisi Komunikasi Sosial (Komsos), berkerja sama dengan komisi-komisi yang lain dan didukung oleh panitia khusus, memulai suatu katekese yang berwajah baru yakni Drama Musikal. Metode ini dipakai untuk tujuan pewartaan dan secara kontekstual menaburkan benih-benih nilai kemanusiaan dan Kristiani di tengah kehidupan masyarakat plural.

Tahun ini, KAJ kembali memprsembahkan Drama Musikal berjudul OPERA DOLOROSA: Kemanusiaan Di Titik Nadir, yang dipentaskan di Ciputra Artpreneur Ciputra World 1 Jakarta, Retail Podium LV. 11, Karet Kuningan, Jakarta, Minggu, (06/03). Drama Musikal bertema keadilan sosial ini berkisah tentang 3 sahabat 4 cinta di tengah perbedaan dan perjuangan mewujudkan keadilan.

Fakta menunjukkan bahwa manusia seringkali menghancurkan manusia lain. Kehadiran orang lain menjadi ancaman terhadap keberadaannya. Lantas ia menjadi serigala bagi sesama seperti yang dikatakan Plautus homo homini lupus. Kisah tiga sahabat berjuang di titik itu. Mereka berupaya untuk tidak jadi serigala untuk yang lain. Sebaliknya mereka hendak mewujudkan visi kemanusiaan yang diungkapkan Driyarkara, homo homini socius. Manusia adalah teman/sahabat bagi sesamanya.

Tiga sahabat yang lebih dari 20 tahun terpisah, bertemu kembali dalam misi kemanusiaan. Dolores, Siti Dumilah, dan Baidullah yang ketika kecil hidup dalam derita kemiskinan berjuang bersama melawan kekuasaan yang korup dan tidak memiliki kepedulian terhadap nasib rakyat. Dolores telah menjadi imam, Siti Dumilah seorang dokter, dan Baidullah seorang guru. Ketiganya kembali bersatu di kampung masa kecil mereka untuk melakukan advokasi demi mengubah keadaan penduduk desa yang semakin dimiskinkan. Mereka memberi nama untuk wadah gerakan bersama yakni Komunitas Pekerti Kasih

Perjumpaan itu mengembalikan semua kenangan lama yang sempat terlupakan. Cinta yang pernah ada pun bersemi kembali dalam kematangan.  Baidullah menjadi sangat bahagia dan merasa hidupnya menjadi sempurna karena bisa bertemu lagi dengan Siti Dumilah teman lamanya.  Tetapi Siti Dumilah justru merindukan kehadiran Dolores sebab menurutnya hidup akan menjadi sempurna apabila Dolores bisa berkumpul dan bersatu lagi.

Kerinduan Siti pun menjadi kenyataan. Dolores kembali ke kampung masa kecilnya sebagai pastor yang bertugas di daerah itu. Mereka bertiga bertemu ketika membantu para korban banjir di pengungsian. Ketiganya kini bersatu kembali dalam Komunitas Pekerti Kasih untuk melawan ketidakadilan dan mengentas kemiskinan. Namun perjumpaan itu tidak mengobati kerinduan Siti Dumilah pada Dolores. Sebaliknya kerinduan hanya tinggal kerinduan sebab Dolores sudah memilih selibat.

Keteguhan dan perjuangan membawa mereka pada via dolorosa, jalan penderitaan. Di tengah badai serangan penguasa yang tak berhenti untuk menyingkirkan mereka, benih cinta di antara ketiga sahabat ini malah membuyarkan solidaritas komunitas. Bahkan kedatangan Suster Rosa, teman lama Dolores saat di Panti Asuhan, menambah runyam keadaan karena ternyata Suster Rosa sejak dulu memang menaruh rasa cinta pada Dolores.

Akhirnya semuanya menjadi sirna karena setiap tokoh memiliki perasaan dan suara nurani masing-masing yang mengungkapkan apa yang terdapat dalam lubuk hati mereka. Dolores tertembak mati. Kepergin Dolores menyisakan penyesalan mendalam pada Baidullah yang dalam perjalanan bersekongkol dengan penguasa. Ia turut bermain dalam tragedi penembakan Dolores.

Di tengah hingar-bingar aksi kelompok yang menggerus dan melunturkan pengakuan akan adanya keberagaman, drama Musikal ini menunjukkan bahwa perbedaan bisa menghasilkan keindahan hidup yang sangat menakjubkan. Opera Dolorosa hendak menunjukkan bahwa perbedaan suku, agama, etnis, dan golongan tak menyurutkan semangat untuk bersatu, berkerja sama mengusahakan keadilan sosial bagi seluruh rayat Indonesia.

Di samping itu juga drama musikal ini berusaha menyadarkan para penguasa durjana yang tak pernah merasa kenyang memperkaya diri, menggali potensi alam dengan membangun tambang-tambang yang justru semakin menyengsarakan rakyat dan merusak lingkungan.

Bersamaan dengan itu, dolorosa yang berarti sengsara terus menerus menjadi beban warga. Hal itu juga menjadi pengalaman mereka yang mengikut Kristus untuk mengembangkan kepedulian kepada yang miskin dan tersingkir. Perjuangan mewujudkan keadilan sosial ibarat menapai jalan kesengsaraan. Akankah selalu ada optimisme dalam perjuangan penuh azab derita?

Opera Dolorosa menyajikan ending yang muram dan menggantung. Dolores mati dibunuh. Baidulah bermain cantik di balik kematian Pastor Dolores. Serba muram, keadilan sosial yang hendak diupayakan, yang sekaligus menjadi latar belakang kisah, belum terwujud. Kisah cinta tiga sahabat tak berujung pada kesatuan dengan kekasih yang diharapkan.

Nasib gerakan Komunitas Pekerti Kasih untuk mewujudkan keadilan pun tidak begitu jelas terkatakan. Barangkali sebuah isyarat, mewujudkan keadilan sosial bukanlah tugas mudah. Yang seringkali jelas adalah kita akan bertemu ketidakadilan yang tiada habisnya. Orang perlu merumuskan  happy ending-nya sendiri dalam setiap perjuangan personal mewujudkan keadilan sosial di manapun ia diutus!

Penulis tinggal di Jakarta, sedang Studi di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara

 

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here