Oleh: Albertus Dhino OFM
Di era yang padat dengan perkembangan dan kemajuan teknologi, orang dituntut berusaha memerangi kemiskinan. Setiap orang berlomba-lomba mengumpulkan harta benda untuk menunjang kehidupan material. Sebuah upaya bertahan hidup di pusaran teknologi yang menggiurkan dengan segala kenikmatannya.
Namun tidak bisa diingkari teknologi juga membuat orang bersikap minimalis, bergantung secara penuh pada teknologi, dan tidak lagi peduli kepada kehidupan sesama dan lingkungan sekitar. Ini merupakan sisi gelap teknologi yang berwajah ganda ketika berhadapan dengan kebebasan penuh manusia yang menggunakannya.
Hal ini mau menunjukan bahwa di satu sisi teknologi mempunyai pengaruh yang sangat besar bagi kehidupan manusia di era ini. Di sisi lain, tanpa ada kesadaran (keugaharian) dalam memanfaatkan teknologi itu maka kita akan jatuh ke dalam jurang kehancuran.
Perkembangan teknologi, misalnya, menimbulkan “efek“ yang menggetarkan persaingan dan perhambaan pada teknologi. Ia menghantar orang pada keegoisan dan kurang peka terhadap sesamanya. Situasi kehidupan teknologi itu membuat orang tak mau ketinggalan dan terus berusaha agar sejalan dengan kemajuan. Kebiasaan ini membentuk pribadi seseorang bergantung pada teknologi.
Bagi mereka, sangat mustahil mempertahankan corak hidup miskin di zaman yang serba menggunakan teknologi. Hal itu sama dengan hidup menuju keterasingan dan berujung pada pintu kematian. Karena cara kerjanya yang efektif dan dengan cepat teknologi mengubah dan membentuk pola pikir setiap orang yang menggunakan. Ini merupakan tantangan berat yang mempengaruhi manusia modern pada umumnya dan hirarki Gereja pada khususnya yang memberi tempat pada kemiskinan dan kesederhanan dalam penghayatan hidupnya.
Kemiskinan dan teknologi merupakan dua hal yang paradoks. Ada pertentangan di sana-sini yang tak dapat dihindari. Di satu sisi, kemiskinan mengedepankan kesederhanaan, usaha sendiri dan keugaharian; di lain pihak, teknologi menawarkan penunjangan segala kebutuhan yang mudah dan instan.
Paradoks itu menjadi tegangan bagi orang pada zaman ini karena membuat distingsi yang terlalu ekstrim pada kedua hal tersebut. Orang meradikalkan kemiskinan dan menempatkannya di luar konteks kehidupan masyarakat modern, sehingga ketika orang menggunakan produk teknologi, langsung diasumsikan dengan gaya hidup mewah.
Dalam tulisan ini, saya ingin menunjukkan bagaimana memahami dan menghayati kemsikinan (spiritual) di zaman modern ini? Pertanyaan ini muncul dari fakta kehidupan sosial bahwa banyak orang terobsesi dengan barang-barang teknologi dan bergantung sepenuhnya pada teknologi sehingga menutup diri pada kehidupan sosial.
Bersama dengan perkembangan itu, Gereja bertumbuh dan berkembang mewartakan kerajaan Allah kepada umat manusia yang sudah menyentuh wajah teknologi dan menggunakannya. Lalu bagaimana Gereja menanggapi kehadiran teknologi itu dan menempatkan dirinya sebagai prototipe, saat merasul umat yang bergelut dengan modernisasi.
Berkotbah dengan Bertindak
Pertanyaan di atas menyentuh kehidupan Gereja yang dasar perjuangannya adalah merealisasikan nilai-nilai injili dan “berkotbah“ dengan bertindak kepada umat manusia yang semakin kritis dan selektif menilai para gembalanya. Untuk menyentuh pertanyaan di atas kita mesti kembali pada hakikatnya bahwa bagi Gereja, kemiskinan merupakan “tubuh“ dan spirit hidup yang menjadi akar sukacita iman dalam menghayati dan mengembangkan nilai-nilai itu dalam hidup. Gereja (umat Allah) menyadari bahwa nilai sukacita yang sejati adalah terdapat dalam kemiskinan yang tidak terikat pada teknologi dan memandang itu hanya sebagai sarana penunjang kebutuhan pelayanan. Kemiskinan sudah menjadi corak hidup Gereja dalam mewartakan cinta kasih Tuhan.
Gereja yang melepaskan kemiskinan (tidak terikat) berarti mati meninggalkan identitasnya. Hal ini ditekankan oleh Kristus sendiri dalam rangka pelayanan bahwa “serigala mempunyai liang dan burung mempunyai sarang, tetapi Anak Manusia tidak mempunya tempat untuk meletakkan kepala-Nya“ (Mat 8:20). Itu berarti Kristus sendiri mengajak kita supaya melihat barang-barang duniawi itu dari aspek iman bahwa semuanya itu adalah barang titipan Tuhan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan membantu kita dalam menjalankan tugas yang diberikan Tuhan kepada setiap orang. Penghayatan itu mengarahkan keyakinan orang pada kemiskinan demi kerajaan Allah sehingga menyerahkan diri dan hingga sampai pada sikap syukur kepada-Nya atas segala pengalaman hidup baik suka maupun duka.
Kristus sendiri menggunakan pola keteladanan, yaitu Ia sendiri mulai memerankan corak hidup kemiskinan kemudian memanggil dan mengajak murid-murid-Nya untuk meninggalkan segala sesuatu, keegoisan, menyangkal diri dan memikul salib (Mat; 16: 24). Ini merupakan kemiskinan sejati yang membuat orang semakin mendekatkan diri dan mengandalkan Tuhan dalam mewujudkan cinta kasih-Nya.
Hal ini juga kita dapat temukan dalam pribadi bapa Paus Fransiskus. Ia mengabdi pada Tuhan dan menjalankan hidup atas dasar kehendak Allah, dengan peduli kepada orang kecil dan terpinggirkan. Namun lebih dari itu, paus Fransiskus menimba inspirasi dari St. Fransiskus Asisi yang secara radikal, merealisasikan kesederhanaan itu dalam hidupnya setelah bertobat. Ketika St. Fransiskus Assisi bertobat dan mencari apa yang sebenarnya Tuhan inginkan dari padanya. Fransiskus mengikuti perayaan Ekaristi di gereja St. Perawan Bunda Allah di Portiuncula, ia tertohok dengan sabda Tuhan yang mengisahkan murid-murid Kristus yang tidak membawa apa-apa dalam perjalanan tetapi harus mewartakan kerajaan Allah dan berrtobat (1 cel 22).
Setelah mendengar firman itu, St. Fransiskus menyadari bahwa nilai itu yang sebenarnya dapat membahagiakan hidupnya, kemudian bapa serafik menanggalkan jubahnya dan menjalankan dengan penuh bakti apa yang telah didengarnya. Mulai saat itu ia bersukacita menjalankan hidupnya yang penuh makna dan arti. Oleh karena kesetiaannya pada komitmen untuk utuh dalam menghayati hidup miskin, Fransiskus disematkan sebagai “ bukan pendengar injil yang tuli” melainkan segala sesuatu yang didengarnya disimpan dan berusaha menepatinya dengan cermat secara harafiah (1 cel 22).
Spiritual St.Fransiskus Asisi, yang kemudian digunakan oleh Paus Fransiskus dalam tugas pengenbalaannya, menunjukkan bahwa kemiskinan itu dihayati sebagai sikap solidaritas terhadap orang miskin, dengan saling membagi apa yang kita milik kepada orang yang membutuhkan.
Bersikap Kritis
Nilai-nilai Injili merupakan fondasi hidup kristiani yang selalu kontekstual dalam setiap zaman. Tetapi keegoisan manusia seringkali menjadi tantangan untuk merealisasikan nilai-nilai injil itu di tengah pusaran teknologi. Hal tersebut tercermin pada orang yang mendewakan teknologi. Mereka bergantung secara penuh pada teknologi sehingga tidak peduli lagi dengan segala sesuatu yang terjadi di sekitarnya.
Realitas kehidupan seperti itu menunjukkan bahwa orang tidak kritis lagi dalam menggunakan barang teknolgi. Orang menceburkan dirinya secara utuh dalam arus perkemabngan itu tanpa disposisi batin tepat sehingga terjadi kemerosotan nilai-nilai moral, seperti kehilangan jati diri dan ketidakpedulian terhadap sesama.
Tak dapat dipungkiri lagi, realitas ini sudah menyentuh kehidupan Gereja (hirarki gereja) yang menuntut gereja untuk tetap mengutamakan cara hidup sederhana dan keberpihakan pada orang miskin (Option of the poor). Melihat kemajuan itu, apakah Gereja tetap membawa semangat awal itu di era sekarang?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu membedakan antara kemiskinan roh/spiritual dan kemiskinan sosial. Kemiskinan roh berkaitan dengan aspek spititual yang lahir dari keterbukaan manusia yang menyadari sepenuhnya penyelenggaraan Allah. Orang bisa mengambil jarak terhadap segala hal yang relatif sifatnya, seperti harta benda dans egala kecanggihan penemuan teknologi, demi keterarahan mutlak kepada Allah. Sedangkan kemiskinan sosial berkaitan dengan kehidupan sosial masyarakat yang diciptakan oleh suatu sistem yang tidak adil sehingga ada kesenjangan sosial yang sangat besar. Kemiskinan sosial lahir dari keserakahan manusia yang antara lain memahami barang-barang (teknologi) itu sebagai tujuan yang harus diperoleh bahkan dengan menghalalkans emua cara.
Oleh karena itu, kita seharusnya menyadari bahwa barang-barang (teknologi) itu hanya sebagai sarana untuk suatu tujuan pemaknaan bagi kehidupan bersama yang bercorak solidaritas. Dalam Gaudium Et Spes, Konsili Vatikan II, menegaskan pentingnya kepedulian kepada sesama dan alam sebagai pesaudaraan universal, aktivitas manusia; hubungan timbal balik antara Gereja dan dunia dalam konteks masyarakat modern.
Sejalan dengan pandangan itu, Gereja tetap berjalan bersama perkembangan itu tetapi dengan memberikan makna pada barang-barang teknologi itu sebagai sarana untuk suatu tujuan yang teologis. Artinya bahwa Gereja tidak melawan perkembangan teknologi tetapi bagaimana menggunakan teknologi itu untuk semakin efektif dalam pelayanan.
Karena tugas utama Geraja (umat Allah) adalah sebagai Nabi, Imam dan Raja. Oleh karena itu, Gereja harus tetap berusaha menghayati kemiskinan dengan membawa serta sukacita dan kebahagiaan hidup yang bersumber dari hati yang merasakan kemiskinan sebagai kegembiraan hidup. Kegembiraan itu menyatuh dalam persuadaraan yang menyegarkan setiap pribadi dengan pelayanan yang tulus dan meneguhkan kerendahan hati untuk terbuka, dengan menggunakan barang duniawi sebagai sarana untuk menyalurkan kepedulian Tuhan bagi orang-orang yang berjumpa dengan kita.
Oleh karena itu, dapat dikonkretkan bahwa Gereja (baik hirarki gereja maupun umat Allah) tetap mengikuti perkembangan teknologi yang sehat yang dapat menunjang tugas perutusan. Gereja tetap mempertahankan kesederhanaan yang tidak melekat pada harta benda dan tidak menjadikan itu sebagai milik pribadi semata-mata tetapi penggunaannya terbuka kepada bonum commune, menyelami hidup orang miskin dan lemah, orang sakit dan orang kusta serta pengemis di pinggir jalan. Mereka itu merupakan gambaran teladan hidup yang harus dihayati dengan sukacita kepada semua orang dan tetap hidup dari jerih payah dan bersahaja. Karena setiap jalan hidup merupakan anugerah Allah yang mencintai dan memberikan semua itu untuk menyadarkan kita pada kebaikan-Nya.***
Penulis tinggal di Jakarta, sedang Studi di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara