Dalam paham eko-teologi, manusia, alam semesta dan ciptaan lain berada dalam satu lingkaran persekutuan dialektis. Dalam persekutuan dialektis ini keberagaman merupakan realitas yang menentukan eksistensi setiap elemen di dalamnya. Dengan demikian eksistensi manusia tidak hanya ditentukan oleh manusia yang lain tetapi juga oleh ciptaan lain termasuk alam di sekitar sebagai implikasi logis dari cara beradanya (bdk. Amatus Woi, dalam Adrianus Sunarko, Menyembah Bumi Menyembah Hyang Ilahi, Yogyakarta, Kanisius, 2008). Sehingga sotereologi keselamatan bukan eksklusif milik manusia semata tetapi seluruh ciptaan. Seluruh ciptaan sama-sama memiliki kerinduan, harapan dan dambaan akan keselamatan.

Ekopastoral Fransiskan: Karya Bagi Persaudaraan Semesta
Ekopastoral Fransiskan adalah sebuah karya kategorial Persaudaraan Fransiskan Indonesia bagi pelayanan terhadap lingkungan hidup dan pertanian. Cikal bakal lahirnya karya ini adalah keprihatinan para Fransiskan terhadap nasib petani di Manggarai – NTT dan didukung oleh panggilan profetis sebagai orang Kristiani dan Fransiskan.

Dua visi dasar yang mewarnai gerakan Ekopastoral adalah pertama, pemulihan dan pembangunan kembali mutu hidup manusia yang mandiri. Kesadaran ini dilandaskan pada paradigma bahwa manusia dalam keberadaan asalinya memiliki mutu hidup tinggi yang mampu membangun relasi dan dekat dengan alam dan segenap ciptaan. Menemukan kembali mutu hidup asali itu hampir paralel dengan merajut benang dari kumpulannya yang terputus.

Dengan menelisik jejak budaya lokal, bahasa dan adat istiadat setempat, ekopastoral menemukan nilai-nilai luhur dan kebajikan yang tersimpan rapi dalam ritual adat. Kearifan lokal ini, oleh ekopastoral dipakai sebagai pintu masuk pastoral pertanian. Masyarakat didorong untuk tidak meninggalkan ritus adat, bukan demi ritus itu tetapi demi nilai luhur yang terkandung di dalamnya. Secara perlahan tapi pasti mulai dibangun habitus baru dalam hubungan dengan segenap ciptaan dengan cara me-revitalisasi ritus adat lokal ke dalam suatu tindakan produktif dan konstruktif.

Dalam akar kearifan lokal, para petani diajak untuk back to our origins, menjadikan pertanian organik sebagai habitus bertani sebagaimana dilakoni para leluhur dahulu kala. Dengan metode dan sistem organik, para petani diajari cara membuat pupuk dan pestisida organik serta budidaya tanaman dari pembenihan hingga panen. Semua ini dimaksukan untuk melepaskan masyarakat petani dari kebergantungan kepada produk kimia dan peralatan teknologi yang dikuasai para kapitalis (baca pemodal) dan para tengkulak di pasar. Sekaligus kesadaran kritis para petani diasah, bahwa bumi ini memiliki batas toleransinya atau kurang mampu menyediakan lebih dari cukup segala kebutuhan manusia. Sehingga dengan memilih pertanian organik, para petani meningkatkan kesejahteraannya secara mandiri sekaligus ramah terhadap lingkungan.

Kedua, harmoni dengan segenap ciptaan sebagai dasar bagi persaudaraan semesta. Terpatri sebuah kesadaran dasar dan paradigma berpikir tentang keterhubungan segala sesuatu di jagad raya ini. Segala sesuatu di alam ini berada dalam satu jaringan relasi yang terhubung satu dengan yang lain. Tidak ada satu pun yang hidup dari dan untuk dirinya semata. Burung di udara, ikan di Laut, binatang di hutan dan hewan melata di bumi serta manusia berada dalam satu jaringan. Petani hidup dari pertaniannya, tetapi lahan pertanian tidak dapat memberikan hasil tanpa ada air, tetapi air tidak akan ada tanpa hujan, tetapi hujan tidak akan ada tanpa hutan; hutan membutuhkan mata hari untuk proses fotosintesis dan penguapan, uap membutuhkan langit dan atmosfer bumi untuk mengubah kabut menjadi hujan.

Maka, untuk menciptakan harmoni dengan segenap ciptaan, ekopastoral melakukan konservasi hutan dan air; reboisasi bukit gundul, konservasi lahan kritis menjadi lahan produktif. Konservasi hutan dan air ini bermakna ganda, selain demi kelestarian hutan, juga merawat persaudaraan dalam ekosistem hutan. Dalam konservasi ini, terlihat perbedaan jelas antara pertanian organik dan pertanian konvensional. Pertanian organik memberikan kehidupan bagi mikro organisme dan senyawa-senyawa yang terkandung dalam sebuah ekosistem sehingga keberadaan semuanya tetap bertahan. Sementara pertanian konvensional mengedepankan produk-produk kimia serta teknologi modern yang justru mengabaikan persaudaraan dalam ekosistem semesta.

Olehnya, prinsip dasar pertanian organik yang dikembangkan ekopastoral adalah belajar pada alam. Alam menjadi soko guru utama tempat kita belajar dan mendekatkan diri. Maka dalam pertanian organik, kita belajar dari cara kerja alam dalam menghidupi dirinya. Karena ketika kelestarian alam punah tanpa pemulihan, persaudaraan semesta hanyalah sebuah utopia.

Sesuai Teladan Hidup St. Fransiskus Assisi
Santo Fransiskus melihat semesta dan seluruh isinya sebagai saudara dan saudari yang dengan kekhasannya masing-masing memberikan sumbangan bagi kehidupan manusia sekaligus menyatakan sebagian kepada kita tentang Allah (bdk. Gita Sang Surya). “Segala sesuatu menyatakan kepada kita tentang Allah dan menghantar kita pada Allah. Dengan demikian semesta dalam kesatuan sebagaimana juga dalam keberagamannya adalah sakramen Allah; sebagai suatu tanda yang membimbing kita kepada sang Pencipta. Dengan rumusan lain, St. Bonaventura dalam tulisannya mengatakan bahwa seluruh dunia adalah bayangan, jalan dan tangga yang menghantar jiwa kepada Allah.” (Bonaventura, Itinerarium Mentis in Deum, dalam uraian Ambrose Van Sie, Environmental Justice).

Bagi Fransiskus, sotereologi keselamatan mencakup seluruh ciptaan dan manusia merupakan salah satu bagian di dalamnya. Segenap ciptaan ini pada mulanya berada dalam satu relasi yang harmonis dan bersifat mutualis, (Kej. 1:1-31: “Allah melihat segala yang dijadikan-Nya itu baik”). Tetapi ketimpangan dan kepincangan dalam jaringan kehidupan terjadi karena dominasi manusia. Maka ketika kita berusaha memulihkan dan menyembuhkan keutuhan alam ini, kita tidak bisa tidak harus menyembuhkan kepongahan, ketamakan dan kerakusan manusia. Kesecitraan manusia dengan Allah tidak bisa menjadi dasar kecongkakan terhadap ciptaan lain, karena semua itu kemurahan Allah semata. Oleh sebab itu kesecitraannya dengan Allah selain sebagai anugerah, juga sebagai tugas untuk menjaga kelestarian dan keutuhan alam ciptaan ini seperti keberadaannya yang sebenarnya.

Dalam konteks ini, persaudaraan Fransiskan menuntut para saudaranya untuk memiliki dan memperlihatkan tanda nyata dari sebuah kepedulian terhadap ciptaan demi terciptanya persaudaraan semesta di atas bumi dan langit yang baru. “…Dengan mengikuti jejak St. Fransiskus Assisi, hendaknya Saudara-Saudara menunjukkan rasa hormat terhadap alam yang dewasa ini terancam di mana-mana; sedemikian rupa sehingga alam itu seluruhnya dibuat menjadi bagaikan saudara dan bermanfaat bagi semua manusia untuk kemuliaan Allah Pencipta….”(KonsUm 71). Dengan demikian, usaha membangun persekutuan dengan segenap ciptaan bagi para Fransiskan merupakan suatu keniscayaan sebagai konsekwensi logis eksistensinya sebagai pengikut Yesus dalam cara hidup Fransiskus Assisi. Artinya, cara berada Fransiskan tidak lain adalah hidup bersekutu dan membangun persaudaraan dengan segenap ciptaan. (Sdr. Thobi, OFM Pernah menjabat sebagai Koordinator Ekopastoral Fransiskan)

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here