
Evolusi Alam Semesta dan Antroposentrisme
Gagasan dalam kosmologi baru bahwa alam semesta tidak statis tetapi dinamis menjadi pisau bedah bagi kita dalam permenungan kita tentang Tuhan sebagai Sang Pencipta semesta alam. Semesta alam bukan sesuatu yang bersifat kekal, melainkan berawal dan berkembang secara evolusioner yang berawal dari ‘Big Bang’ yang terjadi 15 milyar tahun lalu dan terus menerus mengalami perubahan. Peristiwa tersebut sekaligus mengawali adanya ruang dan waktu serta kemudian memungkinkan terjadinya proses perubahan dalam ruang dan waktu.
Kenyataan ini menyadarkan manusia akan eksistensinya dalam kosmos bahwa manusia merupakan bagian kecil dalam kosmos yang begitu luas. Maka paham antroposentrisme yang beranggapan bahwa manusia merupakan puncak dan pusat segala ciptaan merupakan anggapan yang dalam kenyataan telah ikut menyebabkan ketidakseimbangan dan kerusakan dalam alam semesta. Sejarah umat manusia hanyalah bagian kecil dari panggung evolusi alam semesta.
Dalam kisah evolusi alam sejak ‘Big Bang’ yang terjadi 15 milyar tahun lalu manusia baru masuk panggung sejarah kurang dari 5 juta tahun lalu. Kesadaran akan kenyataan ini dapat menghindarkan diri kita dari sikap sombong atau takabur.
Di lain pihak, kenyataan bahwa alam semesta nampaknya seperti disiapkan sedemikian rupa sehingga manusia dapat masuk panggung sejarah dan membuat sejarah, sungguh suatu kenyataan yang mengagumkan.
Manusia sungguh makhluk yang bermartabat. Di antara segala makhluk ciptaan, manusialah salah-satunya makhluk yang mampu menyadari diri dan menyadari keagungan sejarah alam semesta yang menjadi panggung bagi sejarah hidupnya. Dari bukti saintifik ini kita mencapai pada permenungan bahwa asal-usul alam semesta itu bukan suatu kejadian teknis alam yang melulu bersifat kebetulan dan tanpa tujuan apa pun. Sebab kita dapat menyaksikan gejala-gejala yang dapat merupakan bukti atau sekurang-kurangnya indikasi untuk menyakini kita bahwa proses alam ini sungguh menakjubkan, sungguh misteri dan bukan tanpa tujuan apapun.
Dialog Sains dan Agama
Pandangan kosmologi baru ini mengantar kita pada permenungan bahwa semua itu telah terjadi dan terjadi demikian, bukan karena harus terjadi demikian tetapi kerena tindakan bebas Tuhan terdorong oleh cinta. Semua terjadi kerena kehendak Tuhan yang “bekerja” secara imanen dalam proses alam semesta.
Aspek imanensi Tuhan adalah kehadiran dan karyaNya terus-menerus dalam alam semesta. Dalam arti, Allah tidak menciptakan alam semesta sekali untuk selama-lamanya kemudian dibiarkan begitu saja seakan-akan manusia dilemparkan kedalam dunia tanpa tujuan apa pun.Tetapi karya penciptaan alam semesta berlangsung terus-menerus sepanjang sejarah, baik sejarah kosmik maupun sejarah umat manusia. Karya penciptaan tak terlepas dari karya pemeliharaan Tuhan terus-menerus.
Akhirnya kosmologi baru memungkinkan dilaog antara agama dan sains dan pandangan tentang posisi dan peran manusia dalam kosmos bahwa manusia juga tidak dilihat sebagai puncak segenap ciptaan yang diciptakan langsung oleh Tuhan tetapi buah perkembangan evolusi alam.
Manusia memang dapat disebut sebagai anak Tuhan, tetapi juga anak bintang. Kendati mengatasi alam, manusia juga bagian dari alam, sehingga sikap hormat terhadap alam dan kewajiban menjaga kelestariannya merupakan sikap moral yang layak diambil.
Karena itu, manusia sebagai gambar dan rupa Allah diharapakan menjadi rekan kerja Allah dalam menjaga dan melestarikan alam bukan menjadikannya sebagai objek yang harus dieksploitasi secara massal tetapi menjadikan alam sebagai “aku yang lain” dalam hubungan ketergantungan.
Sebab, panggilan dasar manusia sebagai mahkota ciptaan bukan menjadi penguasa atas alam semesta tetapi dipanggil untuk menjadi administrator Allah dalam mengatur dan mengelolah alam semesta untuk menjadikanya tempat yang layak dihuni. (Mathias Jebaru Adon, SMM, Mahasiswa STF Widya Sasana Malang)