Apokalip adalah suatu visi yang kurang lebih dapat dirumuskan begini, “bumi akan berlalu, semuanya akan sirna dan berakhir, lantas akan muncul suatu dunia baru, langit baru dan bumi baru, Yerusalem surgawi turun dari surga” (Bdk. Wahyu 20-21).
Visi ini melahirkan harapan, lantas manusia menatap ke depan. Apa yang telah dan sekarang terjadi, semuanya akan berlalu. Derita dan duka, semuanya akan sirna, kehilangan kekuatan dan kuasa, karena semuanya akan dijadikan baru.
Visi ini lahir dari tradisi religius Yahudi-Kristen, bahkan termasuk hal pokok. Menelusuri analisa Chatarine Keller (teolog Ecofeminisme) kita akan dikejutkan oleh analisanya yang mengatakan bahwa gagasan apokalip serupa ini erat hubungannya dengan perilaku destruktif terhadap alam ciptaan.
Dia melihat bahwa telah terjadi pengkondisian, dalam peradaban barat-kristen yang melihat alam sebagai sesuatu yang layak untuk dimanfaatkan atau digunakan sampai sehabis-habisnya.
Perilaku desktruktif ini, demikian Keller, berakar dalam keyakinan bahwa akhir sejarah akan datang segera. Asumsi apokaliptik serupa ini menjadi arus dasar dari kecenderungan untuk mempertahankan gaya hidup kelas menengah ke atas dengan mengeksploitasi alam.
Dengan lain perkataan, gaya hidup kelas menengah ke atas, berdampak langsung pada kerusakan alam secara tak terpulihkan. Bukan hanya kerusakan alam, kata Keller, tetapi pemiskinan dunia ketiga yang alamnya dieksploitasi habisan-habisan. Keller mensinyalir bahwa gaya hidup itu menemukan legitimasi teologisnya dalam gagasan apokalitik. Keller menyebutnya sebagai “mitos apokaliptik”.
Mitos apokaliptik, demikian Keller, melahirkan keyakinan palsu yang membenarkan perilaku destruktif dan eksploitatif terhadap alam ciptaan. Inti mitos apokaliptik adalah harapan yang menggelora pada munculnya “awal yang serba baru”. Yang sekarang ada, akan hancur lebur dan segera dilupakan. Semuanya akan berlalu. Yang BARU akan segera muncul. Allah akan menjadikan segala-galanya baru.
Mitos apokaliptik yang berkembang menjadi keyakinan yang terungkap dalam perilaku destruktif ini, adalah buah dari pemahaman dan penerapan teks-teks apokalip di luar konteks, dan secara tak disadari membentuk pemahaman akan waktu dan sejarah manusia zaman ini, demikian Keller.
Pemahaman yang demikian telah menjadi jiwa dari kapitalisme yang destruktif serta eksploitatif, sehingga mencegah berkembangnya gagasan dan aksi yang berspirit keberlanjutan (sustainable).
Elaborasi yang kritis dari Keller terhadap teks-teks apokaliptik menyadarkan bahwa kecenderungan untuk memanipulasi, demi pembenaran perilaku jahat dan destruktif selalu terjadi secara sistematis. Ketika teks-teks itu dilepaskan dari konteksnya, maka yang ditemukan adalah hilangnya pesan kebenaran dari teks itu.
Ketika kebenaran hilang, yang muncul adalah pembenaran dari sesuatu yang tak benar dan negatif, tetapi dengan argumentasi yang seolah-olah sahih dan benar. Gagasan langit dan bumi baru tak mungkin dipahami sedemikian rupa, sehingga memunculkan keyakinan bahwa yang pada awal diciptakan sebagai baik adanya, kehilangan makna dan tak berarti, sehingga akan dihancur-leburkan.
Gagasan langit dan bumi baru adalah gagasan tentang keabadian. Dan karena itu praksis kepedulian dan aksi menjaga keutuhan ciptaan dapat merupakan implementasi dari keyakinan akan keabadian itu.
Yang kita kerjakan untuk melestarikan alam memiliki nilai abadi dan menegaskan immortalitas, karena segala yang sementara ini akan terintegrasi dalam Allah yang “mengingat segala yang dijadikan-Nya” dan di sanalah proses dan hidup alam ciptaan mencapai keabadiannya, dan itulah hidup baru, langit dan bumi baru.***