“Kepedulian terhadap lingkungan merupakan bagian hakiki kemanusiaan kita. Paus Fransiskus dalam ensiklik Laudato Si’ No. 217 mengatakan bahwa kepedulian terhadap lingkungan bukan lagi sebagai sebuah opsi atau aspek sekunder dalam pengalaman kristiani melainkan pilihan hidup yang merupakan bagian penting dari kehidupan yang saleh”
Hal itu disampaikan Romo Frumensius Gions, Lic. Lh, wakil Rektor STF Driyarkara (STFD), dalam sambutannya pada seminar bertajuk ‘Hubungan Manusia Dengan Alam: Tinjauan Filosofis dan Praksis Pengolahan Sampah’ di Ruangan IV STFD, Cempaka Putih, Jakarta Pusat, Senin (25/04). Hadir dalam seminar ini Prof. Alex Lanur, Prof. Dr. J Sudarminta, beberapa anggota LSM yang bergerak di bidang lingkungan, dan civitas akademika STFD.
Lebih lanjut pengajar Moral Dasar ini menandaskan, “ini merupakan seminar yang kedua dalam rangka Dies Natalis STFD ke-47. Tema seminar pertama pada bulan Febuari berkaitan dengan kepedulian terhadap lingkungan. Pada seminar kali ini, kita akan berbicara mengenai pengolaan sampah. Dengan tema ini, kita diharapkan untuk benar-benar menjadi ekologis dan hati nurani kita tercerahkan. Sebab kita adalah makhluk ekologis.”
Dalam seminar ini, hadir sebagai pembicara, Dr. A. Sony Keraf, Dosen Universitas Katolik Indonesia Atmajaya-Jakarta, dan Ir. Sri Bebbasari, Ketua Umum Solid Waste Association. Lilian Budianto MA, dosen Bahasa Inggris STFD, memoderatori seminar yang berlangsung dua jam itu, 11.00-13.00.
Dalam uraiannya, Sony Keraf mengatakan bahwa sampah menjadi masalah sekurang-kurangnya karena dua cara pandang berikut. Pertama, cara pandang antroposentris yang melihat alam semesta tidak punya nilai intrinsik pada dirinya sendiri. Dalam konteks ini, sampah dianggap tidak bernilai secara ekonomi. Sampah dapat dibuang begitu saja ke alam yang dianggap tidak bernilai pada dirinya sendiri. Alam dilihat sebagai keranjang sampah besar.
“Hal ini diperparah lagi oleh pola pikir yang reduksionis, menganggap kebutuhan ekonomi manusia menjadi paling penting dan segala sesuatu yang tidak bernilai ekonomi bagi manusia menjadi tidak penting.”
Kedua, cara pandang mekanistik-linear yang memandang alam semesta sebagai sebuah mesin raksasa dan bekerja menurut hukum mekanistik. Semuanya dapat dijelaskan dan dapat diprediksi sesuai dengan rancangan dan gerak bagian-bagiannya dalam relasi sebab-akibat linear. Dalam konteks ini, sampah dianggap sebagai sisa yang tidak berguna dalam keseluruhan mekanisme alam yang tidak ada gunanya lagi bagi sistem mekanistik itu.
Menurut Mantan Menteri Lingkungan hidup Indonesia dan Kepada Badan Pengendali dampak Lingkungan Hidup periode 1999-2001 ini, untuk bisa mengatasi persoalan sampah, kita perlu mengganti kedua cara pandang tadi.
Cara pandang antroposentris diganti dengan biosentrisme dan ekosentrisme. Sementara cara pandang mekanistis-linear digantikan dengan cara pandang sistemis, organistis, dan holistis.
“Dengan cara pandang biosentrisme dan ekosentrisme,” urai Bapak Sony Keraf, “Alam semesta dianggap bernilai karena ada kehidupan di dalamnya. Bahkan karena alam semesta adalah sebuah sistem kehidupan maka seluruh bagiannya merupakan sebuah sistem yang saling rergantung, saling mempengaruhi, dan saling mendukung satu sama lain untuk keberlanjutan kehidupan alam semesta itu sendiri.”
Selanjutnya, Ir. Sri Bebbasari mengulas persoalan sampah dari paradigma pengolahan sampah di Indonsia. Ia menegaskan bahwa sampah telah menjadi salah satu masalah yang sangat krusial di Indonesia.
Modernisasi menyediakan banyak kemudahan bagi umat manusia. Pembangunan membawa banyak sekali manfaat bagi masyarakat. Namun kemajuan itu diserta persoalan krusial yakni makin bertambahnya jumlah sampah.
“Sampah-sampah ini bervariasi, mulai dari sampah-sampah rumah tangga hingga sampah-sampah industri. Jumlahnya pun cukup fantastik. Bayangkan saja kurang lebih 0,5 kilogram sampah yang dihasilkan oleh setiap penduduk Jakatra atau total 6 ribu ton sampah setiap harinya. Dalam satu tahun jumlah produksi sampah di seluruh provinsi di Indonesia bisa lebih dari 86 juta meter kubik atau lebih dari 86 miliar liter dengan berat lebih dari 77 juta ton atau 22 kali lebih berat keseluruhan Candi Borobudur” ungkap Ibu Sri.
Penerima Kalpataru 2016 kategori Pembina lingkungan Hidup ini juga menunjukkan hasil riset studi yang dilakukan Inswa (organisasi profesi yang bergerak di bidang manajemen dan teknologi pengelolaan sampah) mengenai sistem pengolaan sampah yang efektif dan efisien dengan memperhatikan lima aspek. Kelima aspek itu adalah hukum, kelembagaan, pembiayaan, teknologi, dan sosial-budaya.
Kalau mau bicara masalah sampah, kata Ibu Sri, berbicaralah tentang lima aspek itu! Ia melanjutkan, “Untuk mewujudkan kelima aspek tersebut, kita membutuhkan komunikasi yang baik dan berkesinambungan.Di samping itu, pengolaan sampah yang efektif dan efisien tidak akan berhasil tanpa ada perubahan cara perpikir dan perilaku masyarakat yang sadar akan kebersihan” tandas Ibu Sri.
Sayangnya, penanganan masalah sampah di Indonesia, kata Ibu Sri, masih berkutat pada aspek teknologi. Pembangunan manusia agar memiliki habitus cinta lingkungan belum mendapat perhatian yang serius. Jepang membutuhkan waktu seratus tahun untuk membentuk habitus itu. Indonesia, tanya Ibu Sri, butuh berapa tahun? Sekaligus ia mengakui “pembangunan manusia jauh lebih sulit dari pembangunan mesin!”
Albertus Dino, OFM