Kepada semua yang berkehendak baik, ensiklik Laudato Si’ ditulis Paus Fransiskus satu tahun lalu. Diterbitkan tepat pada Hari Raya Pentakosta, 24 Mei 2015, di tahun ketiga masa kepausannya, Laudato Si’ mengundang semua orang untuk menyadari keadaan Saudari Bumi, Ibu yang disakiti oleh anak-anaknya.
Selasa, 24 Mei 2016, Ensiklik yang menyoroti persoalan lingkungan hidup ini genap satu tahun. Para Fransiskan di JPIC-OFM-Indonesia merayakan momen penting ini dalam ibadat ekologis dan perayaan Ekaristi, Selasa sore (24/5), di Kapel Biara St. Yosef Kupertino, Tanah Tinggi, Jakarta Pusat.
Hadir di kesempatan itu beberapa saudara Fransiskan dan nonFransiskan. Saudara Egi dan Jimi dari Komunitas Pastoran Paskalis; Saudara Frumens, Damas, Hendra, dan Philips Komunitas Padua; Sudara Epa dan John Tukan dari Komunitas Duns Scotus.
Suster Klarisa PBHK, yang saat ini sedang menjalankan live in di Rumah Singgah St. Antonius Padua, Jakarta Pusat, dan Saudara Valens Dulmin serta Saudara Ryan Dagur turut ambil bagian dalam perayaan kecil ini.
“Kita adalah kelompok kecil dari banyak kelompok lainnya di dunia yang pada hari ini merayakan satu tahun terbitnya Ensiklik Paus Fransiskus, Laudato Si’ ” kata Sdr. Peter C. Aman, membuka perayaan sore itu.
“Laudato Si’ ” lanjutnya “memiliki arti penting bagi kita, khususnya para Fransiskan. Sebab Santo Fransiskus Assisi, pendiri ordo ini (OFM) mendapat tempat sentral dalam Ensiklik Paus. Melalui Ensiklik ini Paus mengingatkan kita akan kekayaan spiritualitas fransiskan yang begitu kaya namun seringkali kita kurang mendalaminya.”
Dalam Laudato Si’, Santo Fransiskus ditampilkan sebagai contoh unggul dalam melindungi yang rentan dan dalam suatu ekologi yang integral, yang dihayati dengan gembira dan otentik. Ia adalah model bagi sebuah penghayatan ekologi integral.
Dalam diri Fransiskus, kata Sdr. Peter melalui khotbahnya, holiness dan wholeness mendapat tempat yang seimbang. Kekudusan diperjuangkannya dengan memperhatikan keutuhan atau keseluruhan. Pada Fransiskus kekudusan tidak hanya dipahami sebagai ritual. Kekudusan dipahami dalam kaitan dengan relasi yang utuh dan menyeluruh dengan Allah, sesama, dan alam ciptaan.
Hidup yang dihayati Fransiskus, tambah Sdr. Peter, sungguh menekankan korelasionalitas dan familiaritas. “Fransiskus bukanlah bagian dari mereka yang meyakini ‘saya berpikir maka saya ada’. Fransiskus menekankan relasi, dan baginya ‘saya berelasi maka saya ada’.”
Aktualitas Laudato Si’
Laudato Si’ digemakan saat Saudari Bumi menjerit karena segala kerusakan yang telah ditimpakan manusia padanya. Sebab tanpa tanggung jawab, kata Paus Fransiskus, kita menggunakan dan menyalahgunakan kekayaan yang telah diletakkan Allah di dalamnya (bdk LS art.2).
“Kita bahkan berpikir bahwa kitalah pemilik dan penguasanya yang berhak untuk menjarahnya. Kekerasan yang ada dalam hati kita yang terluka oleh dosa, tercermin dalam gejala-gejala penyakit yang kita lihat pada tanah, air, udara dan pada semua bentuk kehidupan. Oleh karena itu bumi, terbebani dan hancur, termasuk kaum miskin yang paling ditinggalkan dan dilecehkan oleh kita” (LS art.2)
Aktualitas Laudato Si’ dalam konteks kerusakan ekologi saat ini tak bisa diragukan. Karena itu, berbagai upaya mesti tetap diupayakan untuk mendalami, mempromosikan, dan mewujudkan seruan-seruan Paus melalui Ensiklik ini.
JPIC-OFM Indonesia terlibat dalam usaha ini melalui media cetak, seminar, rekoleksi, diskusi, dan sebagainya.
Terakhir, bertepatan dengan peringatan Hari Bumi, 22 April, kerja sama JPIC-OFM Indonesia dan Pemda Manggarai, berhasil membawa Laudato Si’ ke forum diskusi yang dihadiri pejabat SKPD, MUSPIDA serta wakil dari DPRD Manggarai.
Pemda Manggarai mencoba menemukan inspirasi Laudato Si’ untuk pembangunan daerah. Langkah penting yang patut diapresiasi di tengah geliat pembangunan yang seringkali meminggirkan warga miskin di satu sisi dan menghancurkan lingkungan di sisi lain.
Adakah yang berubah pasca Laudato Si‘? Sejauh mana seruan Paus melalui Ensiklik ini mendorong perubahan ke arah yang lebih baik? Tidak mudah menjawab pertanyaan ini.
Tanpa mengabaikan pertanyaan tersebut, satu hal ini jelas bagi kita: Melalui Laudato Si’ Paus Fransiskus juga mengundang dengan mendesak agar diadakan dialog baru tentang bagaimana kita membentuk masa depan bumi.
Kepada semua orang yang berkehendak baik, mandat dialog itu ditujukan. Adakah saya dan anda menjadi bagian dari proses dialogis itu?
Johnny Dohut OFM