Merupakan panggilan dan sekaligus bagian yang tak terpisahkan dari perjuangan para pemerhati masalah sosial untuk terlibat di dalam persoalan sosial layaknya yang dialami oleh kaum buruh. Kaum buruh adalah salah satu pokok persoalan yang mesti diperhatikan oleh kita” ungkap Romo Eddy Kristiyanto dalam sebuah studi bersama para fransiskan se-gardianat Portiuncula-Jakarta, Rabu (4/5), tentang persoalan seputar kaum buruh.

Terinspirasi oleh  uskup Mainz, Wilhelm Emmannuel Von Ketteler (1811-1877), imam dari kongregasi OFM yang mengaku berminat pada penelitian tentang masalah-masalah sosial ini mencoba menggali dan mendalami fakta dan realita yang dialami oleh kaum buruh. Bangsa yang besar menurutnya adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya. Dan kaum buruh atau pekerja ini merupakan pahlawan industri sebab mereka berjasa dalam kemajuan dan perkembangan bangsa, tetapi lantas segala jerih payah mereka diabaikan.

Sepintas Kilas: saha eta Para Pekerja?

Ada beragam macam buruh dengan kompleksitas permasalahan yang melilitnya seperti upah yang murah, pekerja anak (kurang terisi masa kanak-kanaknya), kuli pelabuhan yang mengandalkan tenaga manusia, masalah kekerasan yang tidak mendapat jaminan perlindungan Undang-undang yang memadai dan buruh bangunan perempuan yang kian meningkat.

Hampir pasti kaum buruh mengalami persoalan ketidakterpenuhan hak-hak asasi mulai dari buruh anak, buruh harian, buruh kasar, buruh lepas, buruh marginal, buruh musiman, buruh pabrik, buruh tambang, buruh tani, buruh terampil dan lain sebagainya. Mata kita tidak tertutup dari kenyataan hidup kaum buruh yang cukup memprihatinkan.

Hal yang cukup memprihatinkan bagi beliau ialah semakin meningkatnya pekerja anak yang berusia 10-12 tahun tanpa melihat jam kerjanya secara proporsional. Karena itu, beliau menggariskan pentingnya pendidikan sebagai dasar utama dalam mengentaskan persoalan yang menggerogoti anak-anak bangsa ini.

Pendidikan yang masih minim dan kualitas tenaga kerja yang rendah sangat mempengaruhi tingkat mutu pekerjaan yang diperoleh. Dari analisis data, beliau sampai pada konklusi seperti ini “semakin baik pendidikan yang ditempuh, pilihan dan peluang terhadap pekerjaan yang baik pun semakin besar.”

Tantangan ini semakin memuncak dengan adanya kompetisi MEA (Masyarakat Ekonomi Asean). Hal ini memacu para pekerja indonesia untuk memiliki kualitas yang unggul, terlatih, kompeten, kreatif mencari peluang dan juga terus berinovasi. Akan tetapi, mental para pekerja indonesia memiliki daya tawar yang sangat tinggi seperti para pembantu rumah tangga yang tidak ingin diupahi dengan gaji yang rendah.

Hal tersebut menjadi sangat paradoks dengan kenyataan daya tawar pasar tenaga kerja dari dunia ketiga termasuk Indonesia yang sangat rendah. Upah para pekerja murah karena daya tawar atau penawaran rendah dalam dunia global. Karena itu perlu terciptanya situasi yang kondusif bagi perkembangan mutu tenaga kerja. Dan hal tersebut dimungkinkan jika adanya perbaikan ekonomi, kestabilan politik, dan pendidikan.

Situasi Pekerja 

Sekarang ini daftar UMR terhitung tahun 2016 menjadi 3,1 juta dari  sebelumnya 2,7 juta. Angka ini dipandang cukup stabil dengan memperhatikan harga BBM, harga kebutuhan pokok (sembako), dan kebutuhan hidup layak (KHL). Angka ini sudah dilewati oleh daerah Jawa Timur dan Jawa Barat. Pada umumnya upah minimum regional ini berbeda-beda setiap daerahnya seturut indeks penghasilan masing-masing daerah.

Namun hal tersebut tertantang oleh adanya PHK secara sepihak. Begitu mudah para pekerja di-PHK jika tidak lagi memberi keuntungan bagi pemodal atau perusahaan tanpa konsultasi atau melalui kesepakatan bersama. Belum lagi perlakuan yang tidak adil oleh perusahaan terhadap kaum buruh. Masih saja buruh diperlakukan budak. Lambat laun terjadi perubahan seiring dengan pergantian pemimpin negara.

Kebijakan masing-masing pemangku jabatan negara mulai dari SBY terasa semakin membaik. Adanya penetapan hari buruh (1 Mei) pada masa pemerintahan SBY dan juga program pembanguan perumahan di masa kepemimpinan presiden pilihan kita, Jokowi. Hal ini mengindikasikan perhatian kepada buruh semakin meningkat.

Sebaliknya, patut diberikan intensitas perhatian yang cukup pada aksi atau tindakan kekerasan terhadap para buruh di pabrik seperti yang dialami Marsinah, aktivis yang diculik pada kasus 1773 dan ditemukan tewas akibat penganiayaan tiga hari setelahnya. Relasi kaum buruh dan pengusaha juga terkesan kurang begitu intensif dan kondusif. Dan hal ini dinilai sebagai bentuk kekerasan secara halus.

Karena itu, sentuhan “kepekerjaan”, sentuhan kemanusian atau sentuhan “keburuhan” sangat diperlukan menurut beliau. Dari sebab itu, sangat dianjurkan adanya sikap saling menyapa, memberikan animasi, dan peneguhan. Dengan demikian, aksi pemogokan para pekerja tidak perlu dilakukan karena sama sekali tidak memcahkan persoalan, malah memperburuk keadaan.

Tantangan bagi Para Pekerja

Berangkat dari kondisi yang memprihatinkan ini, beliau melihat suatu tantangan besar dalam dunia buruh itu sendiri antara lain MEA  dan HAM. Ada beberapa contoh pelanggaran HAM yang turut mendapat perhatian dan mengundang intervensi pemerintah di antaranya kasus Tanjung Priok (1984), Aceh (1990), Marsinah (1994), terbunuhnya wartawan dari koran BERNAS(1996), peristiwa 1998, Trisakti/Semanggi, Timor Timur (1999), kasus Ambon (1999), kasus Poso (1999-2000), TKI di Malaysia (2002) dan kasus lainnya yang belum dituntaskan.

Disamping itu, tuntutan kaum buruh semakin kompleks. Dua hal yang selalu diperjuangkan terus menerus adalah tentang kelayakan upah dan kepastian pekerjaan. Mereka terus mengusahakan dan memperjuangkan agar adaya perbaikan kesejahteraan (upah). Demikian pun halnya dengan persoalan kepastian pekerjaan.

Salah satu contoh yang sangat diperhatikan adalah PHK karena persis di situlah ada pihak-pihak yang tidak siap menghadapi MEA. Ada beberapa tuntutan kaum buruh antara lain menolak PP 281 2015 tentang upah, menaikan upah minimum 2011 sebesar 30 %, menaikkan upah KHL menjadi 84 item, menolak iuran BPJS kesehatan, menolak kriminalisasi aktivis pekerja dan menolak pemberlakuan MEA.

Hal terakhir yang diperjuangkan adalah siap membentuk Ormas dan terjun dalam dunia politik sebagaimana yang dicita-citakan oleh Wilhelm Emmannuel Von Ketteler sebagai upaya memperbaiki kualitas hidup dan kesejahteran para pekrja  itu sendiri.

Prospek untuk Masa Depan

Potensi perikanan, kelautan dan pendidikan pada dasarnya sangat tinggi. Karena itu, spirit yang harus diberi perhatian adalah dengan terus memperjuangkan kompetisi, efisiensi faktor-faktor yang sangat penting seperti edukasi, research dan tenaga kerja. Fakta yang tak terbantahkan hingga saat ini adalah Indonesia hanya menjadi market atau pasar.

Aneka poduk asing dapat dilihat dengan cepat. Bahkan beberapa produk unggulan asing menjadikan Indonesia sebagai pasar utama. Padahal dengan dengan jumlah SDM yang cukup besar, Indonesia dapat menjadi produsen dan pelaku aktif MEA sehingga dapat melakukan perombakan secara masif dalam bidang ekonomi.

Untuk memperkokoh dan mewujudkan impian tersebut perlu ditopang oleh formasi atau pendidikan yang maksimal. Pendidikan tinggi sekarang sedang diujung tombak. Kebanyakan lebih berminat pada program-program sosial dan kurang memilih bidang teknik. Untuk itulah, semua pihak termasuk perusahan dan PT harus berusaha memacu pembangunan manusia menjadi lebih berkualitas agar sesuai dengan tuntutan masyarakat.

Pendidikan sekarang harus menjadi ajang untuk pembentukan mental, keterampilan, keahlian dan menghasilkan integritas SDM berkualitas. Ada beberapa kelemahan kita dalam pasar global yakni rendahnya kemampuan inovasi, kesiapan teknologi, riset, pendidikan tinggi, serta pekerja yang masih didominasi oleh standar pendidikan rendah (SD, SMP dan SMA).

Harapannya sekarang ialah membentuk mental yang mampu dan berani bersaing dengan membentuk karakter dan etos kerja sehingga dapat memanfaatkan sektor kelautan, pertanian dan potensi lainnya menjadi lebih baik di masa yang akan datang.

Sdr. Roland Lantur OFM

 

 

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

17 − 12 =