Gereja katolik sangat yakin bahwa termasuk dalam tugas perutusannya adalah melayani dan memelihara alam semesta. Kita mencoba melihat dalam ajaran tiga Paus, yakni Yohanes Paulus II, Benediktus XVI dan Paus Fransiskus.
Paus Yohanes Pauls II dalam pesan pada hari perdamaian sedunia tahun 1990, berjudul “Peace with God the Creator, Peace with all of Creation” menilai bahwa kita sekarang telah kehilangan rasa hormat terhadap alam dan pemakaina yang tidak bertanggungjawab terhadap tanah, air dan udara telah melapangkan jalan menuju rusaknya dan hancurnya lingkungan hidup.
Karena itu Paus Yohanes Paulus II meminta untuk melaksanakan pendidikan ekologis, yaitu repek dan tanggung jawab terhadap tiga hal: terhadap diri sendiri, sesama dan alam ciptaan. Dan hal ini bersatu di bawah kerangka pertobatan. Tidak ada damai, respek dan tanggung jawab yang khas Kristiani kecuali kedeiaan iman untuk memandang dan memperlakukan alam sebagai pemberian Allah untuk manusia dan untuk ciptaan lain.
Paus Benediktus XVI menekankan bahwa iman Kristiani selalu mempertahankan bahwa alam semesta adalah ciptaan dan pemberian Tuhan untuk manusia. keyakinan pokok ini memiliki konsekuensi moral, yakni kita secara bersama-sama perlu menjaga, merawat, dan memanfaatkan sumber alam ini secara bertanggungjawab dan menyiapkannya untuk generasi yang akan datang. Kita perlu membangun solidaritas ekologis terhadap alam, terhdap sesama dan untuk generasi yang akand atang.
Paus Frasniskus lebih gencar lagi. Secara khusus dia menerbitkan Ensiklik berjudul Laudato Si – Tentang Perawatan Rumah Kita Bersama. Dalam ensikliknya, ia menyadari akan situasi dunia, relasi manusia dan alam sekitar yang semakin lama semakin memprihatinkan.
Beliau mengingatkan kita akan situasi ini: Saudari ini sekarang menjerit karena segala kerusakan yang telah kita timpakan padanya, karena tanpa tanggung jawab kita menggunakan dan menyalahgunakan kekayaan yang telah diletakkan Allah di dalamnya. Kita bahkan berpikir bahwa kitalah pemilik dan penguasanya yang berhak untuk menjarahnya.
Kekerasan yang ada dalam hati kita yang terluka oleh dosa, tercermin dalam gejala-gejala penyakit yang kita lihat pada tanah, air, udara dan pada semua bentuk kehidupan. Oleh karena itu bumi, terbebani dan hancur, termasuk kaum miskin yang paling ditinggalkan dan dilecehkan oleh kita. Ia “mengeluh dalam rasa sakit bersalin” (Roma8:22).Kita lupa bahwa kita sendiri dibentuk dari debu tanah (Kejadian 2:7); tubuh kita tersusun dari partikel-partikel bumi, kita menghirup udaranya dan dihidupkan serta disegarkan oleh airnya.
Mengutip Patriak Bartolomeus, beliau meminta perlunya kita masing-masing bertobat dari cara kita memperlakukan planet ini, “Sekecil apa pun kerusakan ekologis yang kita timbulkan”, kita dipanggil untuk mengakui “kontribusi kita, kecil atau besar, terhadap luka-luka dan kerusakan alam ciptaan”.
Kita ditantang untuk mengakui dosa-dosa kita terhadap dunia ciptaan: “Bila manusia menghancurkan keanekaragaman hayati ciptaan Tuhan; bila manusia mengurangi keutuhan bumi ketika menyebabkan perubahan iklim, menggunduli bumi dari hutan alamnya atau menghancurkan lahan-lahan basahnya; bila manusia mencemari air, tanah, udara, dan lingkungan hidupnya—semua ini adalah dosa”.
Sebab “kejahatan terhadap alam adalah dosa terhadap diri kita sendiri dan dosa terhadap Allah”. Yang perlu kita lakukan adalah kalau tidak, kita akan menangani gejala-gejalanya saja. Ia minta kita untuk mengganti konsumsi dengan pengorbanan, keserakahan dengan kemurahan hati, pemborosan dengan semangat berbagi, sebuah asketisme yang “berarti belajar untuk memberi, dan tidak hanya berpantang.
Inilah cara mencintai, bergerak secara bertahap dari apa yang saya inginkan menuju apa yang dibutuhkan dunia Allah. Inilah pembebasan dari rasa takut, keserakahan dan ketagihan”. Sebagai orang Kristen, kita juga dipanggil “untuk menerima dunia sebagai sakramen persekutuan, sebagai cara berbagi dengan Allah dan sesama kita pada skala global. Dengan rendah hati kita yakin bahwa yang ilahi dan yang manusiawi bertemu dalam detil terkecil tenunan halus ciptaan Allah, dalam setitik debu di planet kita”. (Disarikan dari tulisan Sdr. Frumen Gions, OFM – Membela Lingkungan Hidup)