Tadinya kita tergoda untuk berpikir tanah Manggarai hanya cemar dan rusak karena tambang, yang saat ini lagi sepi. Gerakan Tolak Tambang menunjukkan taringnya di seantero tanah ini. Namun belakangan kita kembali diingatkan, Manggarai (Barat khususnya) juga cemar oleh sampah.
‘Kembali diingatkan’ sebab ini sebetulnya bukan persoalan baru. Hemat saya ini persoalan lama tapi penyelesaiannya belum mendapat perhatian serius atau memang serius untuk tidak memperhatikannya. Liputan Metro TV, pada Mei lalu, terkait persoalan Air bersih dan Sampah di Labuan Bajo, mengembalikan ingatan kita akan hal itu. Saya menyimak video berjudul ‘Dilema Keajaiban Dunia di Gerbang Menuju Komodo’ itu di laman Youtube dan terhenyak mendengar tudingan Bupati Agustinus Ch. Dula terhadap warga yang datang dari mana-mana dan meninggalkan sampah di Labuan Bajo. Terasa ada yang memburu keindahan alam Manggarai Barat sambil di saat bersamaan mencemari kota, laut, dan pantainya dengan sampah. Apakah betul demikian?
Lepas dari siapa yang membuang sampah, tampaknya ada yang merosot dari perilaku kita dalam relasi dengan alam dan tentu juga dengan sesama. Barangkali masyarakat kita sedang tumbuh menjadi masyarakat yang membuaya. Masyarakat yang tidak makin berbudaya betapapun di sekolahan kita diperkenalkan dengan ‘budaya bersih’. ‘Buang sampah pada tempatnya’ diajarkan guru-guru sekolahan.
Di tempat lain, bahkan dikatakan dengan rumusan indah: Taruh sampah jadikan berkah. Namun yang kita hidupi malah budaya nyampah. Kini kita sedang menjadikan laut dan seluruh planet ini sebagai tempat sampah ukuran jumbo. Untuk hal ini, konon Indonesia menjadi juara kedua setelah Tiongkok. Kita membuang sampah di mana saja asal bukan di halaman sendiri alias NIMBY (Not in my back yard).
Manggarai di masa lalu, membuka lebar pintu bagi pertambangan. Alam hancur. Masyarakat pecah belah karena pro dan kontra tambang. Derita Bumi masih jauh dari akhir. Saat ini, derita Ibu Bumi makin berat karena setiap kali kita menjejalinya dengan sampah. Ekosistem laut terganggu. Popoluasi ikan terancam, terdesak jejalan sampah di sela-sela karang.
Di Labuan Bajo, soal jadi makin rumit saat melihat derita warga yang makin berat dari hari ke hari. Tiap hari ada warga yang harus merogoh kocek untuk membeli air minum. Sebuah ironi tentunya. Mata air banyak, demikian seorang warga Labuan Bajo, Robert Kenedy Dias, mengungkap kegusarannya, tetapi pengaturannya kacau. Proyek air bersih terkatung bertahun-tahun. Silang sengkarut pipa berebut menyalurkan air untuk warga Labuan Bajo lewat berbagai nama proyek. Namun itu ternyata bukan jawaban untuk persoalan warga. Hingga saat ini krisis air tetap saja betah bertahan di kota yang makin mempromosikan pariwisatanya itu.
Di tengah keruwetan ini, tidak sulit bagi kita untuk sepaham dengan Leonardo Boff bahwasannya tangisan bumi (cry of the earth) adalah tangisan orang miskin (cry of the poor). Liputan Metro TV menyayat nurani kita akan hal ini. Sampah digemakan sebagai tangisan bumi, jeritan laut yang tak hendak dicemar. Dan krisis air yang dialami warga mengundang tangisan orang miskin yang terpinggirkan dalam hiruk pikuk pembangunan dan geliat pertumbuhan pariwisata yang timpang.
Cukup menohok komentar warga, Robert K. Dias, yang intinya suplai air ke rumah-rumah pejabat lancar. Namun hal itu tetap menjadi cita-cita bagi warga yang tiap kali harus membeli air kepada bos-bos air yang memperdagangkan air di kota itu.
Juga ketika laut yang cemar, cepat atau lambat, menurunkan populasi ikan dan mahluk yang hidup di sekitar terumbu karang, yang paling dirugikan adalah para nelayan, yang nafkah keluarganya sangat tergantung pada laut.
Budaya Membuang
Soal sampah terkait erat dengan budaya membuang dan berkait kelindan dengan pola konsumsi yang condong ke konsumerisme ekstrem akhir-akhir ini. Paus Fransiskus, melalui ensiklik Laudato Si’ telah mengingatkan kita akan hal itu. Konsumerisme ekstrem mencapai titik yang paling mencemaskan di bumi ini. Banyak orang terjebak dalam lingkaran pembelian dan pembelanjaan yang tidak perlu. Bersamaan dengan budaya konsumsi itu, lahir budaya baru yakni budaya membuang. Orang mengkonsumsi apa saja bagi pemuasan kebutuhannya dan dengan itu pula ada banyak sampah sisa konsumsi yang menjejali platet ini.
Bumi, rumah kita bersama, lantas makin menyerupai tong sampah besar. Kemana saja orang pergi, konsumsi dilakukan dan sisa-sisa konsumsi pun dibuang ke alam sebagai sampah yang mencemar. Kita menjumpai pantai yang kotor dan penuh sampah. Rute pendakian yang ditaburi plastik-plastik para pendaki dangkal yang menamai diri pencinta alam.
Saat ini, keprihatinan akan sampah sedang menjejali batin warga Manggarai Barat di ujung Barat Pulau Flores. Lautnya yang permai sedang dijadikan tong sampah. Kalau boleh jujur, budaya membuang diam-diam menjadi bagian dari prilaku keseharian kita.
Namun ada yang lebih menyeramkan dari budaya membuang. Sebab di sana tidak hanya barang-barang atau makanan yang dibuang tetapi juga orang. Paus Fransiskus dalam Ensiklik Laudato Si’ mengatakan bahwa mereka yang terbuang adalah kaum marginal yang terdepak dalam pusaran kemajuan selama dua ratus tahun terakhir. Orang yang dibuang adalah masyarakat adat yang terusik di tenah mereka sendiri oleh karena hadirnya perkebunan sawit.
Mereka adalah masyarakat kecil yang terbatas aksesnya ke tempat-tempat indah karena adanya privatiasi ruang-ruang publik untuk kepentingan segelintir orang. Mereka adalah para nelayan yang tak mendapat tangkapan ketika kapal-kapal asing beropresi dengan bebas di perariran kita. Mereka yang terbuang adalah komunitas yang diabaikan hak-hak dasarnya dan tersingkir dari kebijakan publik yang menjamin keadilan sosial.
Sulit untuk menolak Manggarai Barat sebagai contoh yang bagus untuk pembuangan barang dan orang. Sampah mengotori laut dan pantai. Warga disingkirkan karena kebijakan privatasi ruang-ruang publik untuk segelintir orang. Hak warga untuk akses air bersih diabaikan bertahun-tahun, sejak Manggarai barat menjadi daerah otonomi baru yang sungguh luhur tujuannya:mendekatkan pelayanan kepada rakyat.
Terasa ada disorientasi dan kita perlu bertanya Quo Vadis Manggarai Barat? Semoga saja tidak sedang menuju masyarakat komodoensis. Masyarakat yang membiarkan ’keliaran’ menjadi kebijakan yang menghancurkan sendi-sendi kehidupan bersama atas dasar diktum ‘siapa paling berbisa dan kuat dialah yang menang.’
Kiliaran mewujud dalam sejumlah gerak liar tanpa regulasi dan aturan yang tegas. Keliaran mewujud dalam kebijakan yang mengabaikan kepentingan warga. keliaran mewujud dalam pengembangan pariwisata yang timpang. Keliaran mewujud dalam nafsu memiliki tanah-tanah warga yang lalu penggunaannya sangat tertutup bagi kepentingan publik.
Kini yang perlu diberesakan tentu saja bukan hanya sampah-sampah yang mengapung mengotori laut tetapi juga sampah-sampah kebijakan yang timpang yang tidak berpihak pada keadilan sosial dan ekologis. Aturan yang tegas perlu dibuat. Penegakannya pun tak boleh setengah-setengah. Dengan jalan ini kita masih boleh berharap untuk tidak sedang menuju masyarakat komodoensis, yang membiarkan keliaran meraja lela. Liar membuang sampah, ganas membuang orang.)***
Johnny Dohut OFM