Masalah pengungsi merupakan masalah kemanusiaan. Sebagai masalah kemanusiaan urusan pengungsi merupakan urusan bersama entah pemerintah, lembaga masyarakat, maupun agama. Gereja sendiri terpanggil untuk terlibat dalam masalah pengungsian, membuka hati, memberi harapan kepada mereka.

Pastoral Pengungsi merupa­kan sebuah upaya yang bisa dilakukan oleh Gereja dalam usaha hadir dan melibatkan diri dalam masalah pengungsian. Bagaimana Gereja terlibat dalam masalah pengungsi­an tersebut, beberapa waktu lalu GSS berhasil mewawancarai Direktur Komisi Keadilan Perdamai­an dan Pastoral Migran Perantau (KKP-PMP) KWI, Romo Paulus C. Siswantoko, akrab disapa Romo Koko. Berikut petikan wawancara dengan beliau.

Bagaimana Romo memandang realitas pengungsi di Indonesia?
Pengungsi di Indonesia banyak tersebar di wilayah Jakarta dan kebanyakan ada di Bogor. Mereka kebanyakan berasal dari daerah Timor Tengah yang nota bene adalah daerah krisis konflik. Secara khusus komisi ini memang tidak terlibat langsung dalam urusan pengungsi. Kita berjejaring dengan lembaga yang khusus mengurusi pengungsi seperti JRS (Jesuit Refugee Service) dan Komisioner Tinggi PBB untuk Peng­ungsi (UNHCR).

Kalau ada orang yang datang ke sini minta suaka atau perlindung­an, kita mengarahkan mereka ke UNHCR sebagai lembaga resmi PBB. Pengungsi juga banyak berada di daerah pantai seperti Ambon dan Manado. Kebanyakan dari mereka adalah para nelayan yang mungkin sandar di sana atau diperdagangkan di kapal. Bersama KKP Ambon kita pernah menyelamatkan pengungsi dari Viet­nam.

Apakah KKP-PMP KWI juga terlibat dalam penanganan pengungsi?
KKP terlibat dalam masalah pengungsi, walaupun bukan fokus utama. Intinya adalah kita se­bagai Gereja diminta untuk terlibat, memberikan hospitalitas, memberikan keramahtamahan kepada para pengungsi. Mereka itu kan orang yang pergi bukan karena tanpa sebab, misalnya konflik, masalah kesejahteraan yang tidak terjamin, sehingga mereka mencari tempat yang memungkinkan mereka hidup lebih baik, walaupun itu juga tidak menjamin. Namun kita mau tidak mau harus mau menerima mereka sebagai saudara kita.

Seperti Paus Fransiskus dalam pesannya pada hari Peng­ungsi 2016 ini mengatakan bahwa migran adalah tantangan kita. Jawabannya adalah Injil belaskasih. Paus menambahkan konsep bahwa migran adalah saudara kita, jadi dimanapun kita temui, darimanapun dia berasal kita harus membuka hati dan membuka pelayanan untuk mereka. Dan rasanya pesan paus ini cukup kontekstual dan berharap banyak negara yang me­nerima mereka termasuk Indo­nesia.

foto: www.desiringgod.org
foto: www.desiringgod.org

Bagaimana kerjasama dengan agama lain?
Pengungsi di Ambon sebagian besar Muslim. Tetapi para tokoh agama bekerja bersama-sama untuk menangani pengungsi. Mereka datang ke tempat pengungsian bersama-sama. Kalau yang Islam ya nanganin yang Islam, yang Kristen, sebagian kecil yanga nanganin Kristen. Mereka masing-masing memberikan pelayanan rohani. Romo melayani yang Katolik.

Kendatipun demikian, pe­layan­an pengungsi tidak memandang agama, ini soal kemanusiaan. Menarik bagi kita ketika Paus membawa 12 Pengungsi yang muslim dari Yunani ke Vatikan. Bagi saya ini sungguh luar biasa. Paus tidak hanya menyerukan te­tapi melakukan. Ia memberi contoh, ini loh gereja. Gereja harus ter­buka terhadap mereka yang memang sungguh termarginalisasi. Ia harus berjuang keluar dari negaranya dan berjuang lagi di negara baru tanpa mengenal saudara, tidak kenal siapa pun, harus bertemu dengan aturan dan budaya tertentu.

Kalau tidak semua wellcome ya pasti mereka tambah tersiksa. Belum lagi trauma yang mereka alami akibat menyeberang dengan perahu kecil, misalnya. Gereja memang harus membuka hati untuk mereka.

Masalah utama para Pengungsi di tempat pengungsian?
Yang jelas adalah surat izin tinggal yang jangka waktunya sang­at terbatas. Kemudian masalah tempat penampungan (detensi). Mereka masih kurang mendapatkan pelayanan yang baik, masih merasakan ketidakbebasan, masih ada oknum yang mungkin memperdayai mereka.

Bagaimana dengan keterlibatan Negara?
Negara kita sendiri belum meratifikasi konvensi tentang mig­ran sehingga Negara tidak punya kewajiban untuk menerima mereka. Kita belum punya dasar hukum. Tetapi itu tidak menjadi alasan untuk tidak menerima dan memberi pelayanan kepada mereka dan tidak memperlakukan mereka secara manusiawi.

Sebagai negara yang ber­adap seharusnya mereka difasilitasi, misalnya untuk sementara mereka mendapatkan izin sementara yang bisa dipakai untuk beberapa bulan, kemudian difasilitasi juga kebutuh­an hidup mereka. Intinya mereka harus dimanusiakan. Negara seharusnya meratifikasi konvensi tentang pengungsi supaya negara kita menjadi negara yang sungguh-sungguh membela mereka yang menderita. Selama tidak ada payung hukum, negara bisa lepas tang­an terhadap keberadaan peng­ungsi. Kalau kita mau menjadi bagian dari negara dunia, mau dong kita membantu para pengungsi yang datang ke Indonesia.

Lalu siapa yang mengurusi pengungsi?
Selama ini referensi tentang pengungsi di Indonesia adalah UNHCR. Siapa pun yang mendapat surat dari UCHCR akan di­lindungi. Sedangkan mereka yang tidak mendapat surat tersebut akan terkatung-katung. Sementara untuk mendapatkan surat itu kan butuh proses dan lama sekali. Ini persoalannya. Maka kalau negara punya keberpihakan, rasa kemanusia­an seperti sila kedua Pancasila, harusnya negara bisa memfasilitasi mereka yang tidak dapat diakomodasi oleh UNHCR. Okelah yang diurus UNHCR biarlah UNHCR yang urus, tetapi ketika ada warga lain yang tidak dapat diurus Negara kita seharusnya membuka tangan.

Jangan sampai karena tidak sesuai dengan UNHCR, saya juga tidak bisa ngapa-ngapain kamu. Jangan seperti itu. Negara harusnya bisa hadir untuk melengkapi me­reka yang tidak dapat dilindungi oleh UNHCR karena syaratnya tidak terpenuhi. Terhadap mereka ini, siapa yang bertanggung jawab ketika tidak diterima oleh UNHCR?

Negara kan punya kementerian sosial, negara seharusnya meng­alokasikan dana untuk mereka. Kita juga kan membawa wajah negara kita. Kalau negara kita diam-diam saja apalagi cuek terhadap mereka yang terkatung katung ini, ya wajah negara kita akan menjadi buram untuk masalah pengungsi.

Apa yang seharusnya dilakukan oleh Negara?
Pemerintah seharusnya membuka tangan untuk pengungsi, entah membuat shelter, memberi training, memberi tempat sementara untuk mereka tanpa melihat mereka legal atau illegal. Yang ke­dua negara kita harus memandang mereka bukan dari sisi legal atau illegal, tetapi sisi manusiawinya. Mereka adalah manusia yang sedang menderita, manusia yang sedang mencari kehidupan yang lebih baik. Masa kita yang punya rumah di sini, punya saudara tidak mau membuka hati untuk mereka.

Maka perspektifnya harus dibangun baru. Negara kan menggunakan perspektif legal, ada surat atau tidak. Mungkin mereka tidak sempat mengurus surat karena masalah perang, dokumen hilang, perjalanan yang mengalami inti­midasi. Masalah ini sangat kompleks, bukan hanya soal dokumen, tetapi masalah manusia yang hadir, bermasalah dan sakit.

Keterlibatan seperti apa yang dilakukan oleh Gereja?
Gereja harus hadir memberikan hospitalitas, kerahmahtamahan. Gereja harus membuka diri dan memberi harapan dari sisi kenyamanan. Mewujudkan Gereja yang memberi keramahtamahan dan harapan dengan cara memberi bantuan yang sifatnya emergensi, misalnya membuat shelter. Atau kalau tidak mampu membangun shelter ya membangun jaringan, memfasilitasi dengan jaringan lain yang mempunyai fasilitas.

Gereja tidak bisa bergerak sendiri, tapi justru berjejaring deng­an pemerintah dan agama lain untuk membantu persoalan peng­ungsi yang sangat kompleks dan berbiaya mahal.
Syukur-syukur Gereja bisa memberi perhatian yang lebih komprehensif: ada tempat untuk mereka hidup, tapi ini kan belum ada di Indonesia. Sebenarnya ini tanggung jawab Negara. Rasanya sangat indah kalau negara punya nomenklatur atau kebijakan untuk para pengungsi yang berada di Indonesia.

Keterlibatan seperti apa yang harus dilakukan oleh Gereja Indonesia?
Negara kita kan negara kepulau­an dan biasanya peng­ungsi datang dengan kapal atau perahu dan terdampar di wilayah-wilayah pelabuhan. Menurut saya Gereja yang berada di daerah pantai atau yang ada pelabuhannya harus tanggap dan memberi ruang untuk mereka. Gereja kiranya mem­bangun umatnya untuk tidak menolak atau curiga terhadap peng­ungsi. Justru umatnya membuka hati membuka diri membantu dan membangun dialog dengan para pengungsi ini.

Artinya Gereja mengajak umat untuk terlibat, kalau hanya mengandalkan struktur Gereja pasti tidak jalan juga. Yang ke­dua, seharusnya ada pastoral peng­ungsi. Artinya di wilayah wilayah keuskupan ada romo yang ditugas­kan khusus untuk memberikan pelayan­an untuk para pengungsi sehingga ada koordinasi yang lebih baik. Sehingga kalau ada umat yang bingung menghadapi pengungsi, umat tersebut bisa menghubungi romo yang bersangkutan.

Dengan demikian mereka tidak terkatung-katung dan berkaitan dengan bantuan emergensi kan bisa langsung akses ke keuskupan dan kemana-mana untuk minta bantuan. Jadi Gereja perlu membangun shelter sederhana, ada fasilitas sederhana sementara di mana ada romo yang secara khusus melayani di sana. Mungkin kita tidak seperti Paus, tetapi setidak­nya kita hadir dengan memberi tumpang­an sementara, kita temani mereka sebagai sahabat.

Apakah KKP-PMP KWI perlu mendorong Gereja untuk bicara tentang Pengungsi, seperti Paus?
Memang itu juga menjadi impian dari kami agar para Uskup di Indonesia juga punya perhati­an terhadap pengungsi. Ada kesepakatan­lah diantara para uskup bahwa harus ada pastoral untuk para peng­ungsi. Soal bentuknya seperti apa, itu soal lain. Bahwa ada satu frame yang sama bahwa Gereja Indo­nesia peduli pada pengungsi itu yang penting dan perlu dinyatakan.

Menurut saya tindakan Paus yang membawa 12 pengungsi ke Vatikan merupakan tindak simbolik dan tindakan nyata untuk meng­ajak seluruh Gereja bersikap yang sama. Dengan adanya pernyataan resmi Gereja maka gerakannya akan lebih besar, mengajak sema­kin banyak orang untuk terlibat.***

Valens Dulmin, Sekretaris Eksekutif JPIC-OFM Indonesia

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

one × 4 =