Ini dongeng, berasal dari suatu entah, tentang kucing dan tikus. Kisah dua makluk yang tak pernah akur di suatu entah itu, diceritakan tidak untuk pengantar tidur. Di suatu entah itu, kebuasan kucing bertahun-tahun mencekik dan menggasak tikus rupanya membekukan ketakutan pada tikus turun-temurun. Mendengar suara kucing mereka lekas bersembunyi. Mereka cukup terlatih bagaimana bersembunyi di lobang-lobang tanah, celah batu, rongga pohon, timbunan sampah, atau di rimbunan semak-semak.

Sambil gemetaran dan merinding, tanpa cecitan, mereka seringkali menyimak erang tikus yang disergap malam-malam di suatu jarak. Dan itu suara yang mengerikan. Menyebarkan aroma kematian. Suara yang menjelma jemari maut yang menyurutkan niat menjelajah malam barang untuk sebulir padi buat mengganjal perut.

Usai mendengar erangan maut seperti itu kesimpulan mereka tak pernah meleset. Ada tikus yang menemukan ajalnya pada cakar-cakar runcing dan gerigi yang lancip serdadu kucing paling ganas sejagad. Ini bukan kucing bengkok dalam film The Conjuring 2 yang mungkin hanya ada dalam nyanyian. Kucing kita historis, eh maaf, maksud saya, punya segala kecanggihan insting mengendus kehadiran tikus.

Kucing kita bisa mengendap-endap dari suatu jarak dan tiba-tiba menerkam, merobek, lalu melumatkan mangsanya. Penglihatannya pun tajam pada intisitas cahaya yang rendah. Dan dengan itu bisa cekatan membekuk mangsanya yang memang gemar beraksi pada tempat-tempat gelap, di bawah meja misalnya, atau di laci meja yang bolong, di lemari-lemari yang lupa dikunci dan sebagainya pada ruangan tanpa lampu menyala.

Jangan lupa, kucing kita begitu terdidik, eh maaf, maksud saya cukup berbakat. Berbekal bakat alam dan tempaan praksis, terutama belajar dari senior-senior pada sekolah kehidupan, mereka memiliki kompetensi yang mumpuni untuk memburu tikus.

Lantas di Suatu entah itu tak ada tikus yang berkeliaran di bawah matahari. Keadaan makin menyedihkan ketika malam hari pun para tikus berpikir keras untuk memastikan kucing tidak sedang ronda di ladang-ladang, di rumah-rumah warga, di gedung-gedung yang ditinggalkan pada malam hari, di pasar-pasar, di toko-toko kelontong, di pos-pos jaga, dan tempat-tempat lainnya.

Sebab bahkan di semak-semak, yang tak seharusnya dijaga, ada kucing berkeliaran karena besarnya tanggung jawab memburu tikus. Ada semacam kepuasan batin pada kucing-kucing kita apabila sukses membekuk tikus dengan segala kecanggihan insting dan kecekatan praksis yang ditempa bertahun-tahun.

Tiba saatnya keadaan berubah. Tangan-tangan kehidupan sepertinya berjuang keras mengocok ulang takdir dan membagikannya secara baru. Segalanya pun berubah. Setiap penghuni suatu entah itu menerima takdirnya yang baru. Demikian halnya dua makluk yang bertahun-tahun mewarisi permusuhan itu. Mereka kembali dengan sebuah kenyataan baru. Untuk pertama kalinya di suatu entah itu kucing tak lagi menggasak tikus. Sebuah harmoni di pihak mereka namun cielakanya, justru menjadi petaka untuk penduduk suatu entah itu.

Kelaparan menggemakan tangis di pelosok-pelosok suatu entah itu. Sulit dibayangkan, ladang-ladang digasak tikus bersama kucing. Gedung-gedung yang tua diberaki setelah segala perabot yang bagus dilobangi. Buku-buku pun disobek malam-malam hingga seluruh koleksi gedung tua itu ludes. Syukur, penghuninya tidak kehilangan bacaan. Sebab mereka masih punya bacaan favorit satu-satunya saat ini yakni short message service, alias sms.

Keadaan makin keruh. Sampah berhamburan di setiap sudut rumah, di halaman, jalan-jalan kota, dermaga, di pantai, dan gedung-gedung. Tikus dan kucing berkolaborasi dan begitu bersemangat memburu. Apa saja yang dijumpai disobek dan dibongkar isinya lalu meninggalkan tumpukan sisa-sisa konsumsi yang menjejali lorong-lorong suatu entah itu.

Keadaan juga makin kritis sampai akhirnya penguasa suatu entah itu mengumumkan keadaan darurat dan mengirimkan perintah untuk menangkap kucing-kucing di pelosok suatu entah itu dan menyiapkan tenaga ahli untuk melatih kembali kucing-kucing itu agar bisa menangkap tikus.

Namun tiada yang lebih memilukan dari ini, yakni ketika tak ada satu pun yang mampu membalikkan takdir di suatu entah itu. Keadaan darurat tak juga berakhir. Hingga kini, yang ditemukan dimana-mana, di suatu entah itu,  adalah kucing bersama tikus membina harmoni. Tak ada erangan maut di semak-semak. Tak ada lagi cecit yang tertahan di bawah timbunan sampah. Tak ada kejar-kejaran di ladang-ladang petani. Tak ada huru-hara di sela-sela alur padi sawah.

Kondisi darurat yang menyedihkan. Sementara petani menahan isak di pematang sawah, di suatu pojokan seekor tikus mencecit dengan kegirangan penuh kemenangan!

“Oh tangan-tangan kehidupan! Betapa adil pembagian ulang takdir ini. Melihat kucing bisa bercengkrama dengan kami. Di pasar-pasar, di ladang-ladang, di gedung-gedung tua orang-orang berjas. Di toko-toko kelontong, di lorong-lorong gelap, di pantai-pantai indah, di jalan lumpur dan berlubang, di gedung-gedung yang riuh rendah siang hari….Oh, betapa mengagumkan! Seperti mimpi saja kolaborasi di suatu entah ini!”

NN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here