Sdr. Alex Lanur, OFM

Pengantar
Dalam Kej 3: 9-13 diceriterakan bahwa Adam telah melanggar perintah Tuhan, dia telah berbuat dosa. Dia diminta oleh Tuhan untuk mempertanggungjawabkan apa yang telah dilakukannya. Dia mempersalahkan Hawa, isterinya. Dan Hawa, pada gilirannya, mempersalahkan ular yang telah membujuknya untuk melanggar perintah Tuhan itu.

Baik Adam mau pun Hawa menjadi contoh dari apa yang biasanya disebut mekanisme bela diri itu. Dan mekanisme tersebut terdapat dalam diri setiap orang. Bagaimana seharusnya orang bersikap terhadap pelanggaran yang dilakukannya?

Cenderung Mempersalahkan Orang Lain
Dalam Petuah X St. Fransiskus mengatakan sesuatu yang lain. ”Banyak orang cenderung untuk mempersalahkan setan atau sesama kalau mereka jatuh dalam dosa atau mengalami kelaliman. Padahal tidak demikian; sebab setiap orang mempunyai musuh dalam wilayah kekuasaannya sendiri, yaitu badan yang menyebabkan dia jatuh dalam dosa” (Pth X: 1-2).

Kutipan ini mau menyatakan bahwa biasanya orang mempersalahkan orang lain kalau dia atau mereka jatuh dalam dosa. Dan yang dimaksudkan dengan orang lain kiranya adalah sesama. Sedangkan yang dimaksudkan dengan musuh itu barangkali adalah setan. Padahal, menurut St. Fransiskus, musuh itu bukanlah orang lain, yang barangkali memusuhi seseorang.

Musuh itu juga bukanlah setan, yang adalah musuh seluruh umat manusia. Musuh itu juga tidaklah banyak. Hanya satu saja. Dan terhadap musuh tersebut orang harus selalu waspada. Musuh tersebut ditemukan dalam diri orang, bukan di luar dirinya.

Musuh yang Terus-menerus Harus Dikuasai
Dalam lanjutan Petuah X tadi dikatakan “sebab setiap orang mempunyai musuh dalam wilayah kekuasaannya sendiri, yaitu badan yang menyebabkan dia jatuh dalam dosa” (Pth X: 2). Jadi, musuh itu adalah badan. Dan yang dimaksudkan dengan badan, menurut Kitab suci dan St. Fransiskus, sama saja dengan daging.

Daging adalah diri manusia sendiri, yang terarah kepada dirinya sendiri, yang berpusatkan dirinya sendiri, yang melepaskan dirinya dari Allah dan yang tidak mau mengakui kedudukannya yang sebenarnya. Dengan jalan dan cara apa pun dia mengejar hanya kepentingannya sendiri saja.

Tanpa peduli akan Allah dia mau menjadi kaya entah akan harta milik, entah akan kesenangan, entah akan jaminan apa pun. Singkatnya, badan atau daging itu adalah si Aku,yang mau dan pada kenyataannya merebut hak dan kedudukan Allah bagi dirinya sendiri.

“… Karena hidup menurut daging, iblis mau merampas dari kita kasih Yesus Kristus dan kehidupan abadi, lalu membinasakan dirinya sendiri di dalam neraka bersama semua yang menjadi kepunyaannya. Sebab oleh kesalahan kita, kita menjadi busuk dan berbau, orang yang malang, yang menentang yang baik tetapi siap sedia dan gemar untuk berbuat jahat; sebab, sebagimana firman Tuhan dalam Injil: Dari hatilah timbul dan keluar pikiran-pikiran jahat, perzinahan, percabulan, pembunuhan, pencurian, keserakahan, kejahatan, kelicikan, kemesuman, pandangan busuk, kesaksian palsu, penghojatan, kebebalan….”(AngTBul XXII: 5-8).

Di samping itu masih ada dunia. Dan yang dimaksudkan dengan dunia itu adalah suasana , lingkungan di mana daging, si Aku meraja dan merajalela. Dunia itu bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri dan berada di luar diri manusia. Dengan menjadi raja yang berdaulat si Aku itu menciptakan dunia bagi dirinya sendiri.

Dunia itu bukanlah jagat raya, bukan alam jasmani, bukan masyarakat insani. Dunia itu, sebaliknya, adalah dunia yang bersifat susila. Dalam dunia itu si Aku berada dan meraja terlepas dari Allah. Segala sesuatu dapat menjadi dunia itu. Hal itu terjadi bila badan atau daging merebutnya bagi dirinya sendiri.

Berhadapan dengan itu adalah orang atau orang-orang yang sungguh bebas, yang tidak terkurung di dalam dirinya, yang terbuka untuk Roh Allah. Mereka yang terbuka untuk Roh Allah itu adalah orang-orang yang selalu berdoa kepada Allah dengan hati yang murni, yang setia melakukan kehendak-Nya, yang rendah hati, sabar dalam penganiayaan dan sakit. Mereka itu ingin mencintai mereka yang menganiayanya, mencelanya dan beperkara dengannya, yang mencintai musuh-musuhnya dan sebagainya.

Teladan St. Fransiskus
Dalam Wasiatnya St. Fransiskus membedakan hidupnya atas dua rentang waktu. Yang satu adalah “ketika aku dalam dosa” (Was 1) dan yang lain adalah “ketika Tuhan menganugerahkan kepadaku untuk mulai melakukan pertobatan” (Was 1). “Ketika aku dalam dosa” adalah suatu hidup yang berpusatkan diri sendiri, yang mengejar kemasyhuran dan kekayaan serta tidak segan-segan membunuh demi mengejar kemuliaan serta keagungan pribadi.

Sedangkan “ketika Tuhan menganugerahkan kepadaku untuk mulai melakukan pertobatan” adalah karunia kebebasan dan pembebasan dari berhala-berhala yang memusatkan dirinya pada dirinya sendiri. Karunia tersebut merupakan karunia yang paling mengagumkan dari semua penemuan. Karunia penemuan itu adalah penemuan bahwa satu-satunya pusat hidup manusia adalah Allah dan landasan yang lain daripada Allah adalah landasan yang palsu.
Selain itu dalam Wasiat yang sama dia juga mengatakan bahwa “ia meninggalkan dunia” (Was 3; AngTBul XXII: 9).

Yang dimaksudkannya adalah menjalani suatu hidup dalam pertobatan. Dia memang meninggalkan dunia yang sangat disukainya sebelum dia bertobat. Dunia itu adalah dunia dimana keberadaannya berpusatkan dirinya sendiri, dunia feodal. Dalam dunia itu terdapat pembedaan dan bahkan pemisahan antara kelompok maiores dan minores.

Ia meninggalkan semua itu dengan maksud untuk memulai suatu hidup yang samasekali baru. Dan hidup itu adalah Injil Tuhan kita Yesus Kristus. Hidup tersebut diwujudkan dalam suatu persaudaraan yang terdiri atas orang-orang kecil (minores) yang setara satu sama lain, yang saling menyapa dengan “semoga Tuhan memberi engkau damai” (Was 23).

Bahkan tatkala akhir hidupnya mendekat, St. Fransikus masih tetap mendorong serta mengingatkan mereka yang hidup bersama dengannya “untuk mulai lagi mengabdi kepada Tuhan Allah, sebab hingga kini kita hampir tidak atau sedikit saja atau samasekali tidak mencapai kemajuan” (1 Cel 103).

Baginya pertobatan merupakan suatu proses, bukan sesuatu yang sudah dicapai. Karena itu dia mencirikan seluruh sisa hidupnya juga sebagai suatu hidup yang dianugerahkan Allah untuk mulai melakukan pertobatan (bdk. Was 1). Hanya kematianlah yang menyelesaikan dan mengakhiri hidupnya dalam pertobatan itu. Dengan kata lain, hidupnya dalam pertobatan yang dibuka dengan memeluk seorang kusta (2 Cel 9), diselesaikan dan diakhirinya dengan pelukan Saudara Maut (bdk. 1 Cel 110-111).

Penutup
Badan atau daging dan dunia manusia yang tidak atau tidak seluruhnya dikuasai oleh Roh Allah, seperti sudah dijelaskan, selalu cenderung membuat dirinya menjadi pusat segala sesuatu termasuk Allah sendiri. Baik badan atau daging dan dunia adalah musuh yang seharusnya selalu dikuasai dan dikendalikan.

Dan hal itu dapat dilakukan dengan terus-menerus melakukan pertobatan. Namun pertobatan itu merupakan karunia Tuhan yang mengagumkan. Dan sebagai karunia Tuhan yang mengagumkan perlu dimohonkan dengan tidak jemu-jemu. St. Fransiskus dapat menjadi contoh dan penolong untuk itu. (Sdr. Alex Lanur, OFM seorang saudara Fransiskan Imam dan Dosen di STF Driyarkara Jakarta)

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

16 − 9 =