Ada yang menarik dikisahkan dari Gajeboh, salah satu dari 62 kampung Baduy Luar, di Desa Adat Baduy (Kanekes), Kabupaten lebak, Provinsi Banten. Kata kang Sardi, guide yang mengantar kami ke Cibeo, salah satu dari tiga kampung Baduy Dalam, pada Sabtu (2/7), Gajeboh adalah batas akhir wilayah yang bisa dikunjungi turis asing yang mengunjungi Baduy dari arah Terminal Ciboleger. Baduy Dalam dan Baduy Luar seluruhnya 65 kampung.
Di Gajeboh, kami bertemu dengan empat pengunjung asing. Tak sempat berkenalan, mereka berkeliling dengan kamera di tangan hendak memotret segala hal yang menarik. Kami beristirahat sejenak di salah satu rumah warga. Siang sedang panas-panasnya.
Gajeboh, kampung di pinggiran sungai Ciujung, cukup lengang siang itu. Sesekali terdengar kokok ayam menyela di antara bunyi tek-tek perkakas yang bersahut-sahutan dari gadis dan ibu-ibu yang sedang menenun. Sudah lama tidak mendengar bunyi seperti ini. Saya jadi ingat Pau, kampung saya di Manggarai, Flores.
Tetapi ada yang lebih menarik dari sahut-sahutan perkakas tenun. Juga kesibukan wisatawan asing yang asyik dengan kamera mereka tak begitu menggoda perhatian. Di sini, Saudara Charlest, rekan seperjalanan saya dan pemandu perjalanan rebah sebentar karena lelah dipanggang terik pukul satu siang. Saya tidak bisa rebah. Kantuk belum saatnya datang mesti semalaman saya susah tidur. Kesempatan itu saya gunakan untuk melihat foto-foto di kamera DLSR bermerk Sony yang kami andalkan untuk mengabadikan perjalanan ini.
Lembar-demi lembar bergeser pada layar kamera yang sudah uzur dan lecet itu. Mata saya bertahan agak lama pada foto yang cukup mengesankan. Foto itu berisi ucapan selamat datang sekaligus pesan untuk tidak meninggalkan sampah di wilayah Desa Adat Baduy (Kanekes).
Ucapan dan ajakan itu terpampang di depan salah satu rumah di Gajeboh. Saya menjepretnya karena di wilayah ini kami masih bisa memotret. Lewat tiga kampung (Cakal, Cipe’e, dan Lebak Bungur) setelah Gajeboh, kami memasuki No Camera Zone. Di zona inilah ‘kekerasan blitz’ tak boleh dilakukan atas nama selfie dan dokumentasi sekalipun.
Ada sedikit canggung dan ragu. Entah kenapa, siang itu saya sepertinya enggan melakukan ‘kekerasan blitz’ atas nama dokumentasi. Saya sebut kekerasan karena seringkali kita tak membutuhkan persetujuan objek atau (terutama) subjek yang difoto. Wajah ‘kekerasan blitz’ seringkali ditampakkan ketika orang menutup wajahnya untuk tidak difoto. Terasa ada yang ‘kejam’ pada kamera dan orang mengelaknya. saya sebut saja fenomen ini penolakan terhadap kekerasan blitz dan sikap totaliter juru kamera. Yah, lupakan soal ini.
Siang itu, untung saja tidak ada warga yang mengamati, saya bisa menepis rasa canggung untuk mengabadikan tulisan itu. Tulisan yang mengembalikan ingatan saya pada permulaan perjalanan, sekitar 200 meter dari Ciboleger. Sampah plastik berserakan di pinggir jalan. Saudara Charlest melontar keresahan “Pengunjung yang yang meninggalkan sampah-sampah ini.”
Saya belum berkomentar ketika guide kami menimpali “Susah kang! Yang sadar dan peduli seratus orang. Sementara empat ratus lainnya tidak sadar! Kita cape sendiri membersihkannya.”
Bertiga, kami lantas berikrar untuk tidak meninggalkan sampah sepanjang perjalanan itu. Demikian halnya usai menghabiskan isi bungkusan Malkist Abon, bekal perjalanan menuju Baduy Dalam, Saudara Charlest mengamankan kemasannya di kantong tas punggungnya.
Tempat Sampah
Menarik, dalam perjalanan ini, kami juga menemukan tong sampah, hampir di setiap rumah. Warga Baduy membikin tong sampah dari anyaman bambu. Saya tertarik menjepret beberapa tempat sampah yang dibuat dari bahan alami itu. Mengagumkan, warga kampung Adat Baduy rupanya sudah membiasakan diri untuk menjaga kebersihan. Halaman rumah mereka pun tampak bersih.
Kami tidak sempat memungut sampah plastik yang sesekali ditemukan sepanjang perjalanan. Itu pasti melelahkan. Tapi kami mencoba untuk taat pada anjuran untuk tidak meninggalkan sampah.
Perjalanan ke Baduy Dalam (Cibeo) sekaligus mengingatkan kami untuk membangun budaya bersih dan bukan ‘budaya membuang’ sebagaimana disesalkan Paus Fransiskus dalam Laudato Si’ yang kiranya disesalkan juga oleh warga Baduy.
Minggu, puluk 07.00, kami beranjak dari Cibeo usai melewati malam yang teduh, sunyi, dan menenteramkan di rumah kang Sarip. Kesunyian yang menenteramkan ini sepertinya memiliki jemari nan lembut untuk memijat betis-betis yang lelah dan otot yang letih dihajar perjalanan sepanjang 12 kilo meter selama 5 jam. Paginya, alhamdulilah, kami masih segar mengayun langkah pulang dengan rute lain yang lebih ringkas. Rute yang bisa di tempuh kurang lebih dua sampai tiga jam.
Kami tiba di terminal Ciboleger pukul 10.00. Beristirahat di balai Desa, kami menunggu bis menuju rangkas yang akan tiba pukul 14.00. Saat itulah saya kembali tergoda untuk mengabadikan tong sampah anyaman bambu di depan balai Desa Kanekes. Saya jadi ingat keresahan Jaro Saija, kepala Desa Kanekes, dalam wawancara dengan kami sebelum beranjak menuju Baduy Dalam, Cibeo, Sabtu (2/7).
“Saya, terus terang saja, menyesal dengan pengunjung darimana-mana (yang) bawa bahan plastik dan sebagainya itu. Yang mengunjungi itu kadang-kadang (rombongan besar) lima ratus orang. Di Cibeo dan di mana-mana itu pengotorannya, terus terang, banyak sih! (Orang) buang sampah sembarangan dimana-mana.”
Ia begitu khawatir. Biasanya habis lebaran banyak orang datang mengunjungi Baduy. Kalau rombongan membawa beras sendiri, dan masak di Baduy, Jaro Saija mengaku senang. “Tapi biasanya rombongan besar membawa catering” kesalnya. Lantas usai kunjungan, sampah plastik dan kertas melimpah, berserakan dimana-mana.
Jaro Saija berharap pengunjung memiliki kesadaran untuk tidak membawa sampah ke Baduy, desa adat yang juga hendak menghidupkan budaya bersih di kampung-kampungnya; bukan ‘budaya membuang’ atau ‘budaya nyampah’ khas pengunjung dari kampung modern yang masih perlu rendah hati belajar budaya bersih di kampung Adat Baduy.
Johnny Dohut OFM