
“Betapa kayanya Indonesia, “ ujar Bapak Alexander Marwata, Wakil Ketua Komisi Pemberantsan Korupsi (KPK) dengan penuh kekaguman. Ia ingat lagu besutan grup musik Koes Plus dan menambahkan “kolamnya saja susu. Tongkat kayu dan batu jadi tanaman. Kita Negara ke-6 terkaya di dunia berdasarkan hasil tambang. Negeri ini penghasil batu bara, emas, tembaga, timah, dan nikel yang seluruhnya berada pada level 10 besar dunia.”
Di hadapan peserta INFO-JPIC Indonesia, Selasa 23/3, ia bertanya untuk sebuah jawaban yang ia sendiri paham betul. “Apakah kekayaan sumber daya alam itu berdampak pada kesejahteraan rakyat?”
Tidak, kekayaan sumber daya alam kita tidak membawa kesejahteraan bagi rakyat. Merujuk data Biro Pusat Statistik per September 2015, ia memaparkan “Ada 28,51 Juta (11,47%) penduduk Indonesia hidup dalam kemiskinan. Delapan ratus ribu di antaranya menderita gizi buruk. Tiga belas juta orang tidak memiliki tempat tinggal. Angka pengangguran pun tinggi. Sebanyak 7,45 juta (5,81%) penduduk Indonesia, usia 15 tahun keatas, tidak bekerja atau menganggur (BPS Februari 2015).”
Di republik yang memiliki cita-cita kemerdekaan, mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera, kemiskinan masif, pengangguran, utang luar negeri, kerusakan alam antara lain disebabkan korupsi. Per Januari sampai April 2016, KPK menerima 2.332 pengaduan masyarakat terkait dugaan tindak pidana korupsi yang melibatkan pengusaha, pejabat eksekutif, legisatif, yudikatif, dan sebagainya.
Demikian banalnya sehingga “korupsi terjadi sejak manusia lahir, sekolah, kuliah, bekerja, menikah, saat sakit, hingga meninggal dunia,” tegas Alexander. Korupsi menjadi persoalan raksasa yang begitu sulit diberantas di republik ini.
Ketika Presiden Jokowi, dalam kunjungannya ke Korea Selatan, 15-17 Mei 2016, ditanya “Apa hal yang paling berat yang dihadapi Bapak setelah dua tahun memimpin Indonesia?” Jokowi, turut Alexander, menjawab, “Pemberantasan korupsi.”
Permisif
Sebagai persoalan bangsa, pemberantasan korupsi mesti melibatkan semua elemen bangsa. Namun masyarakat, kata Alexander, cenderung permisif. Contoh, ketika membuat KTP warga seringkali merasa harus memberi sesuatu kepada petugas yang memperlancar segala urusan. Ketika ditanya, “Mengapa memberi uang kepada petugas? Bukankah itu tugas mereka?” Dengan mudah orang bisa menjawab, “Walah, cuma Rp 10.000 juga, sementara KTP berlaku lima tahun. Biar sajalah! Itu uang rokok dia atau uang bensin!”
“Kalau ada ketentuan resmi,” jelas Alexander, “pemberian seperti itu tidak menjadi masalah. Tetapi sejauh itu tidak ada, sebaiknya jangan diberikan. Sebab memberi sesuatu kepada pejabat negara termasuk tindak pidana korupsi. Baik pemberi maupun penerima akan menjadi terdakwa korupsi. Yang kita tangkap juga nantinya adalah pemberi dan penerima.”
Masyarakat, terutama di daerah, juga cenderung permisif dalam arti ‘membela mati-matian kepala daerah yang didukungnya’ meskipun bupati atau gubernur yang didukungnya korup. Karena ketakutan menghadapi amukan massa yang militan ini, “Banyak persidangan kasus korupsi bupati dilaksanakan di Jakarta. Karena kalau dilakukan di daerah, takut amukan pendukung. Dan pendukungnya adalah masyarakat.”
Juga ketika “Kita melihat tetangga kita yang hidup mewah padahal cuma pegawai negari. Rumahnya bagus, punya mobil mewah, tapi kita diam saja. Orang tidak mau peduli dari mana orang itu memperoleh hartanya walaupun dia tahu tetangganya itu hanya PNS.”
Pencegahan dan Partisipasi Warga
Korupsi menyebabkan terhambatnya pembangunan. Kesejahteraan rakyat pun jauh panggang dari api. Kemiskinan dan pengangguran membelenggu warga negeri yang kaya sumber daya alam ini. Cita-cita kemerdekaan , mewujudkan masyarakat yang adil yang adil, makmur, dan sejahtera, juga ikut terhambat.
Demi terwujudnya cita-cita kemerdekaan, kita perlu “Membangun peradaban anti korupsi! KPK pun tidak akan pernah berhenti untuk terus menyuarakan perlawanan terhadap korupsi.”
Hakim Tipikor yang kerap menyatakan dissenting opinion ini menenggarai pentingnya upaya pencegahan dan pembenahan sistem dalam memberantas korupsi. Transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan perlu diupayakan. Penegakan hukum juga turut menjadi kunci.
Selain itu, tidak kalah pentingnya, partisipasi semua warga sangat dibutuhkan. “KPK mengharapkan agar warga tidak permisif terhadap korupsi. Warga harus kritis dalam mencerna persoalan dan melakukan pengawasan. Kita harus mulai cerewet dan membangun sikap yang kritis.”
Proyek-proyek di daerah adalah ruang yang paling lazim untuk praktek korupsi. Jalan, jembatan, bendungan dan sebagainya seringkali dibangun dengan biaya besar tetapi kualitas buruk. Pengeluaran dibuat sekecil mungkin untuk memaksimalkan keuntungan pengembang. Dalam konteks seperti ini, warga, demikian Alexander, bisa melakukan pengawasan.
“Korupsi, paling efektif, diberantas melalui pencegahan, daripada penindakan. Pencegahan lebih hemat dan berbiaya murah.” Seluruh elemen masyarakat dapat mengambil bagian dalam upaya ini. Kita bisa menghindari setiap bentuk pemberian yang dianggap lazim entah ‘uang rokok’, ‘uang bensin’ , ‘administrasi’ dan sebagainya. “Prinsipnya, jika itu tidak ditetapkan dalam aturan, jangan diberikan! Karena akan kena pasal gratifikasi nantinya.”
Kami, kata Alexander, sangat mengharapkan peran Romo dan Suster dalam membangun sistem dan meningkatkan pendidikan anti korupsi. “Romo dan Suster perlu sangat dibutuhkan dalam membangun budaya anti korupsi dan menyadarkan masyarakat setempat, di mana mereka berkarya.”
Asep Cahyono OFM & Johnny Dohut OFM