Krisis ekologi telah membangkitkan kesadaran dan memperluas cakrawala berpikir manusia, bahwa lingkungan hidup atau ekologi merupakan bagian tak terpisahkan dalam diskusi teologis dan penghayatan kerohanian umat manusia. Perhatian pada lingkungan hidup menjadi pilar pembentuk kebenaran yang semakin sempurna dalam pemahaman teologis dan spiritual agama-agama dan para penganutnya. Kesadaran ini tidak terlepas dari keadaan lingkungan hidup yang sudah menjadi sedemikian merisaukan hati dengan barbagai dampak bagi kehidupan manusia.
Munculnya Kesadaran
Perhatian akan persoalan lingkungan hidup hendaknya berangkat dari iman akan Allah. Allah yang kita rayakan dalam perayaan-perayaan liturgi adalah Allah Pencipta lingkungan hidup dan yang menugaskan manusia untuk memelihara bumi sehingga tercipta kehidupan ciptaan yang harmonis. Iman akan Allah pencipta ini terungkap dalam Kitab Suci (Kej 1:1). Allah menciptakan bumi dan segala isinya, Allah menyatakan kasih setianya kepada manusia dan juga terhadap seluruh alam semesta (Kej 9:12), dan ia melihat segala sesuatu adalah baik (Kej 1:13. 18. 21. 26), sehingga dunia materi bukanlah hal yang jahat yang dihindari tetapi menjadi tempat untuk mengalami kebaikan dan memuji serta meluhurkan Allah (bdk. Mzm 19).
Allah yang Mencipta juga menugaskan manusia untuk memelihara bumi. Ia menciptakan manusia sebagai laki-laki dan perempuan dengan tugas: “Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi” (Kej 1:28). Di sini terungkaplah hubungan erat antara manusia dan bumi. Sayangnya, ayat ini sering ditafsirkan sebagai sumber acuan untuk bertindak semena-mena terhadap ciptaan-ciptaan lain. Padahal, dalam Kej 2:8-25, bumi dimaksudkan oleh Allah sebagai lingkungan hidup bagi manusia, yang harus mengusahakan dan memeliharanya (ay. 15). Penyerahan “pengurusan”, “pemeliharaan”, “pengelolaan”, “penanganan” oleh Allah kepada manusia mengandung rasa tanggung jawab atasnya.
Alam adalah hasil tindakan kreatif Allah dan merupakan rumah di mana kita hidup dan bergerak. Tuhan menciptakan dunia dengan cara dimana ia terikat sangat erat dengan kehidupan manusia. Allah telah membuat manusia bertanggungjawab terhadap seluruh dunia, memberikan manusia pria dan wanita tugas untuk mempromosikan keharmonisan dan mengembangkan ciptaan dengan penuh cinta dan perhatian (Bdk. Kej, 1:26-30; 2, 15). Karena itu kehidupan manusia mempunyai hubungan yang tak terpisahakan dengan lingkunganya.
Di dalamnya juga terdapat larangan untuk menggunakan kewenangannya melulu menurut kehendak atau kesukaannya sendiri. Manusia mesti menyadari dirinya sebagai ciptaan Allah, yang diciptakan setara dengan Allah, dan di dunia menjadi wazir Allah. Manusia menyatu secara harmonis dengan alam dan di dalamnya melaksanakan tugas sebagai wazir Allah. Karena itu dalam melaksanakan tugasnya ia bertanggung jawab terhadap Allah. Tanggung jawab manusia bukanlah tugas sampingan, tetapi merupakan anugerah khusus atau hak istimewa.
Dalam lingkungan hidup yang harmoni akan tampak sebuah dinamika yang menunjukkan bahwa manusia telah melaksanakan tanggung jawabnya sebagai yang diciptakan menurut citra Allah. Akan tetapi, dosa telah membuat manusia tidak menanggapi wahyu Allah kepada dirinya, sebagai wakil-Nya di dunia ini. Dosa membuat manusia menjadikan dirinya sebagai Allah, menyamai dirinya dengan Allah, dan seolah-olah mempunyai kekuasaan yang mutlak atas makhluk ciptaan lain.
Iman kristiani juga mengakui Allah yang menebus manusia melalui penginkarnasian Putera-Nya. Dalam diri Kristus dosa-dosa manusia ditebus dan segala ciptaan dipersatukan kembali dalam kemuliaan bersama Allah. Peristiwa Yesus yang mencakup hidup, karya, wafat dan kebangkitan-Nya telah melahirkan perubahan total, di mana hubungan Allah dengan manusia dan seluruh ciptaannya dipulihkan kembali (bdk. Ef 1:7-10). Penebusan oleh Kristus membawa dampak bagi semua ciptaan, baik yang hidup maupun tak hidup, sesuai dengan kondisinya masing-masing (bdk. Kol 1:20).
Kesadaran Liturgis
Iman akan Allah yang mencipta dan menebus inilah yang kita rayakan dalam perayaan liturgi. Kita mesti menyadari bahwa menjaga ciptaan bukanlah komitmen sekunder dalam hidup dan misi gereja. Hal ini merupakan bagian integral dari kerja bersama Allah untuk memastikan bahwa semua manusia dan segala ciptaan mempunyai hidup dalam kelimpahan. Seluruh ciptaan, bukan hanya manusia, dipanggil untuk selamat dalam dalam Yesus Kristus (bdk. Yoh, 1:1-3); Kol 1:15-20; Ibr. 1:3 dan 2 Ptr. 3:3-13).
Kita semua mengetahui bahwa liturgi adalah pusat dari kehidupan komuitas Kristiani. Melaluinya kita membenamkan diri dan menjalin relasi yang tepat dengan Allah, sesama dan lingkungan. Melaluinya kita mengungakpakan keyakinan kita akan Allah dan karya-Nya. Karena itu, keyakinan pada Allah Pencipta, kasih kita kepada ciptaan Allah dan komitmen kita untuk menjaga ciptaan Allah sudah seharusnya menjadi bagian integral dari pengalaman liturgi dan pengalaman hidup. Dalam bait pertama Credo, kita sering ungkapkan iman kepada Allah ini: “Aku Percaya akan Allah , Pencipta langit dan bumi”.
Alam dibaca secara simbolik dalam Gereja dan benda-benda di alam memiliki arti khusus dalam mengkomunikasikan keselamatan seperti terungkap dalam lambang-lambang sakramen (air, cahaya, kegelapan, roti, anggur, minyak). Dalam kitab Mazmur, perumpamaan-perumpamaan Yesus, nyanyian Gereja dan doa-doa Perayaan Ekaristi terdapat banyak referensi. Meski demikian ungkapan iman akan Allah sebagai Pencipta dan sumber hidup seringkali hanya implisit dan tersembunyi dalam perayaan-perayaan liturgi Gereja.
Berliturgi Dalam Kehidupan Sehari-hari
Setelah menyadari apa yang kita rayakan dalam perayaan-perayaan liturgis, saatnya kita diajak untuk berliturgi dalam kehidupan seahri-hari. Secara etimologis Liturgi (Leitourgia) berarti kerja bakti, dengan demikian, dalam konteks ini, dapat kita katakan dengan berliturgi berdasarkan iman Kristiani yang kita yakini, kita akan melakukan “Kerja Bakti” untuk mewujudkan kehidupan yang harmonis dengan sesama dan alam semesta.
Di mana saja kita di utus dan apapun status kita, jika kita telah benar-benar mengikuti perayaan liturgi dengan baik dan menghayatinya, pasti kita akan melakukannya dalam kehidupan sehari-hari. Selamat berliturgi, bekerja untuk Tuhan dengan merawat Ibu BUmi Rumah Kita Bersama.***
(Sdr. Charlest, OFM Staf JPIC OFM Insonesia)