Peter C Aman OFM, Diskriminasi tidak bermuasal pada keragaman, tetapi dari persepsi dan definisi diri kelompok, yang karena satu dan lain sebab yang berciri subyektif, dianggap lebih unggul, lebih tinggi dan lebih terhormat dari kelompok-kelompok lainnya.

Diskriminasi lahir dari kesadaran dan pengakuan diri suatu kelompok yang bercirikan penolakan dan penyingkiran terhadap kelompok lain. Kelompok terbentuk oleh macam-macam hal seperti suku, budaya, agama, kelas sosial, jenis kelamin, bahasa, warna kulit, dll. Bahwa ada begitu banyak kelompok masyarakat yang membingkai komunitas besar keluarga umat manusia, hal itu mempertegas keragaman dan perbedaan-perbedaan yang tidak mesti ditafsirkan dan dimaknai secara negatif dan eksklusif.

Diskriminasi tidak bermuasal pada keragaman, tetapi dari persepsi dan definisi diri kelompok, yang karena satu dan lain sebab yang berciri subyektif,  dianggap lebih unggul, lebih tinggi dan lebih terhormat dari kelompok-kelompok lainnya.

Diskriminasi yang bernama apartheid di Afrika Selatan abad lalu, lahir dari persepsi dan definisi diri kelompok berkulit putih yang lebih unggul serta lebih terhormat dibandingkan kelompok masyarakat berkulit hitam.

Dari persepsi dan definisi diri seperti itu, lahirlah pertarungan merebut pengaruh dan kuasa untuk melanggengkan diskriminasi. Kelompok kulit putih untuk sekian lama menguasai politik di Afrika Selatan dan karena itu mendapatkan legitimasi untuk menerapkan politik diskriminatif (apartheid), di mana dalam pelbagai aspek dan sisi kehidupan, kelompok masyarakat kulit hitam, disingkirkan, dipisahkan dan tidak menikmati hak, status dan kedudukan yang setara dengan masyarakat kulit putih.

Diskriminasi adalah suatu kejahatan kemanusiaan, karena memperlakukan manusia secara tidak manusiawi. Pemiskinan, penindasan dan kekerasan akan lahir dari rahim diskriminasi, yang selanjutnya menumbuhkan perlawanan dan lingkaran kekerasan berantai.

Ketidakstabilan sosial politik yang terus menerus terjadi mulai dari lingkup kecil sampai pada lingkup global berawal dari perilaku, sikap dan kebijakan diskriminatif, yang sayangnya seringkali diberi pembenaran budaya dan agama.

Kiat melawan diskriminasi mesti juga mengikutsertakan kritik terhadap budaya dan agama. Budaya dan agama selalu merupakan adonan dari nilai-nilai abadi (perennial) dan unsur-unsur keduniawian yang lokal dan terbatas, yang tidak steril dari kepentingan-kepentingan serta keyakinan yang bertentangan dengan nilai-nilai abadi (etis-moral). Peran agama amat diandalkan dalam mengentaskan diskriminasi sebagai kejahatan kemanusiaan.

Agama mengena pada bangunan batin dan jiwa manusia dari mana pembaharuan mental, keyakinan dan cara berpikir selalu dapat berkembang. Namun agama bukanlah resep instan, karena agama pun perlu dimurnikan dari pernak-pernik kepentingan dan hal-hal negatif yang justru dapat menodai kesucian agama.

Pada masa kini semakin sering kita menemukan instrumentalisasi agama untuk hal-hal yang justru bertentangan dengan nilai-nilai yang diwartakan dan dijunjung tinggi agama. Karena itu dalam banyak komunitas agama persoalan-persoalan diskriminasi belum terselesaikan atau sulit untuk diselesaikan.

Agama yang merupakan berkat, tanda serta medium keselamatan mesti menjadi kekuatan perubahan dalam masyarakat dunia, agar nilai-nilai abadi yang diwartakannya tidak sekedar menjadi kebenaran yang diimani, tetapi juga kebenaran yang dialami.

Demikian juga nilai-nilai abadi lain seperti kasih, kejujuran dan keadilan, menjadi energi yang memotivasi dan menginspirasi perjuangan dan upaya serius untuk mewujudkannya.

Pembenahan dan penyempurnaan system serta nilai-nilai yang melandasinya menjadi prasyarat pokok dalam pembaharuan kehidupan bersama dalam rangka mewujudkan komunitas manusiawi, di mana praktek-praktek seperti diskriminasi tidak diberi ruang bertumbuh.

Komunitas manusiawi mesti berbasis nilai-nilai kemanusiaan yang oyektif dan universal, bebas rekayasa dan manipulasi yg justru bertentangan dengan nilai-nilai luhur itu. Diskriminasi mesti menjadi “musuh” bersama umat manusia, sebagaimana kesetaraan, kebebasan, keadilan, kasih dan kebenaran menjadi nilai-nilai yang harus diwujudkan bersama.

(Sdr. Peter C. Aman, OFM – Direktur JPIC OFM Indonesia)

 

 

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

three × 1 =