Mas Adi, Staf Eco Camp menjelaskan 7 kesadaran baru hidup ekologis

Pendidikan nilai berbasis lingkungan hidup mendesak diupayakan dalam konteks kerusakan lingkungan yang kian masif saat ini. Kesadaran ekologis mesti dibangun dan dihayati sekonsisten mungkin dalam kehidupan sehari-hari. Hal inilah yang diupayakan oleh Adi dan kawan-kawan yang  mempromosikan serta menghayati ‘Tujuh Kesadaran Baru Hidup Ekologis’ di Eco Learning Camp, Bandung, Jawa Barat. Adi adalah salah satu dari 25 staf Eco Learning Camp atau disingkat Eco Camp.

Eco Camp, yang bernaung di bawah Yayasan Sahabat  Lingkungan Hidup, didirikan dua tahun lalu untuk mengembangkan aktivitas edukasi, konservasi, riset, dan pengembangan komunitas serta berbagai aktivitas kreatif lainnya yang berbasis lingkungan. Sebagai lembaga edukasi, Eco Camp menjangkau semua kalangan; anak-anak, remaja, mahasiswa, dan orang tua.

Di kantor Eco-Camp, Jln. Pakar Barat no.3 Bandung, Sabtu pekan lalu (27/8), GSS berbincang-bincang dengan Adi tenteng tujuh kesadaran itu.  “Tujuh Kesadaran Baru Hidup Ekologis” jelasnya ”adalah dasar dari setiap hal yang kami lakukan di  sini, dan juga dalam kehidupan kami sehari-hari. Kami memperjuangkan tujuh kesadaran itu tidak dalam artian karena kami telah mewujudkannya. Kami pun masih berjuang!”

Dengan gaya bertutur yang lugas dan mudah dipahami, Adi menguraikan ketujuh Kesadaran Baru Hidup Ekologis yang dihayati secara personal dan komunal di Eko Camp.

  1. BERKUALITAS: Sejak dilahirakan, setiap orang itu berkualitas. Selanjutnya kualitas itu ditingkatkan melalui proses belajar. Berkualitas yang kami maksud bukan dalam arti cerdas atau pintar tapi lebih kepada kemampuan mengolah kelemahan. Dengan mengolah kelemahan kita bisa menjadi lebih bertanggung jawab dan tidak tergantung sepenuhnya pada orang lain. Karena itu, di sini kami mengajak para pengunjung untuk melakukan pekerjaan sendiri seperti cuci piring, pasang seprei dan sebagainya. Pribadi berkualitas juga adalah pribadi yang mau belajar. Yang mau mengolah dan menerima kelemahan.
  1. SEDERHANA: Kami belajar untuk sederhana dalam gaya hidup, misalnya tidak berlebihan dalam makan, belanja, dan kepemilikan. Selain itu, kesederhanaan kami terapkan juga dalam pola pikir. Umumnya ketika menghadapi masalah orang langsung memusatkan perhatian pada solusi. Kami melatih diri untuk melewati tahap-tahap sederhana sebelum berusaha menemukan solusi. Misalnya, ketika menghadapi persoalan, pertama-tama kami menenangkan diri dengan cara sederhana: tarik nafas dalam-dalam, tahan, lalu lepaskan. Ini kami lakukan untuk mendapat kelegaan. Pikiran perlu ditenangkan dulu sebelum mengambil solusi.
  1. HEMAT: Mengapa kita harus hemat? Jawabannya ialah demi keadilan sosial (social justice). Satu miliar penduduk di bumi menderita kelaparan, tapi 1/3 makanan di bumi dibuang percuma. (red. merujuk Laudato Si’) Kita semua pasti pernah mencuri! Karena kita pernah membuang makanan. Orang yang membuang makanan sama dengan merampok jatah orang miskin.                                                                                                                                                                                          Saat ini ada 270 juta jiwa di Indonesia. Kita analogikan 270 juta jiwa itu setiap hari bisa makan. Jika mereka membuang satu butir nasi setiap hari, maka ada 270 juta butir nasi yang terbuang. Dan jika dalam satu karung beras ada satu juta butir beras, itu artinya setiap hari kita membuang 270 karung. 270 karung itu bisa digunakan untuk konsumsi berapa ratus orang?  Kita juga menerapkan pola hidup hemat dalam penggunaan listrik. Di kota besar, malam itu dijadikan seperti siang, padahal banyak daerah yang belum mendapat suplai listrik. Untuk kebutuhan penerangan, di sini kita mengguakan listrik tenaga surya. Kita meminimalkan penggunaan listrik dari PLN. Kami juga hemat dalam menggunakan air. Setiap staf di sini minum dari botol masing-masing. Kami jarang menggunakan gelas. Dengan itu kami tidak perlu berkali-kali mencuci gelas dan Menghabiskanair.                                                                                                                                                                       Menarik, di sini kami juga menelaah pribahasa hemat pangkal kaya. Bagi kami, hemat pangkal kaya ini bersifat egosentris. Kalau kita hemat, yang kaya adalah diri kita sendiri. Dengan rumusan yang berbeda, di sini kami mengatakan hemat pangkal selamat. Apa alasannya? Karena ketika kita bisa menghemat air. Listri, dan sumber daya yang lainnya, bukan hanya kita yang selamat tetapi orang lain juga. Juga bukan hanya orang lain, generasi yang akan datang pun ikut merasakannya. Hemat yang ekosentris ini selanjutnya akan menumbuhkan kepedulian.
  1. PEDULI: Setelah hemat, kita menumbuhkan kepedulian. Kepedulian dibangun mulai dari kepedulian terhadap diri sendiri, orang lain, dan lingkungan sekitar. Banyak orang saat ini bahkan kepada dirinya sendiri juga tidak peduli. Salah satu contoh ketidakpedulian ialah dalam hal nyontek. Ketika seorang siswa nyontek, hati nuraninya berteriak. Ia relatif tidak peduli pada teriakan hati nuraninya. Ia tidak peduli pada dirinya sendiri. Ia mengabaikan teriakan hati nuraninya. Banyak orang melakukan hal-hal yang merugikan dirinya sendiri. Merokok adalah salah satu contoh tindakan merugikan diri sendiri dan juga orang lain. Ini juga bentuk ketidakpedulian terhadap diri sendiri.
  1. BERBAGI: Setelah menumbuhkan kepedulian, akan muncul keinginan dan semangat berbagi. Di sini kita belajar berbagi. Kita bisa berbagi dari keterbatasan kita. Apa yang kita bagikan bukan hanya materi melainkan juga kemampuan, ilmu dan sebagainya. Kami belajar berbagi dari keterbatasan kepada setiap pengunjung Eco Camp. Tidak perlu menunggu kaya raya baru bisa berbagi karena kita bisa berbagi dari keterbatasan.                                                                                                                                                                                                         Ketika lebaran kemarian, dua bulan lalu, kami menerima THR dari yayasan. Ketua Yayasan, Ibu Sherly, memberi kami tantangan. Apakah kalian mau membagikan 10%, 50 %  atau 100% dari THR anda? Alhamdulilah kami semua bisa berbagi dengan cara masing-masing. Salah satu teman kami hanya menyisakan 100 ribu dari THR-nya. Ia datang ke kampung halamannya di Garut. Ia bagikan THR-nya ke pengurus mesjid untuk pembangunan WC umum. Sisanya, seratus ribu, dia gunakan untuk zakat. Jadi, seratus persen dari THR-nya diberika untuk orang/pihak lain. Saya sendiri menyerahkan 90 % THR untuk kakak saya. Kebetulan kakak saya sakit dan harus dioperasi tiga kali karena ada pendarahan di otak. Saya menyerahkan uang THR saya untuk membantu dia. Ini merupakan bagian dari usaha kami di Eco-Camp untuk tidak hanya mengajarkan tapi juga menjalankan nilai-nilai itu.
  1. BERMAKNA: Setelah kita berbagi kita mendapat apa yang kami sebut kebermaknaan. Ketika kita ingin bahagia, tidak perlu hal-hal yang rumit tapi dengan hal yang sederhana yakni berbagi dengan orang lain. Ketika kita berbagi ita akan menemukan diri bermakna dan bahagia.
  1. Harapan: Setelah kita menjadi pribadi yang bermakna kita akan menjadi harapan. Yang paling penting di sini adalah partisipasi dan keamuan dari setiap pribadi untuk melakukan kebaikan. Dengan cara itulah kita menjadi pribadi yang membawa harapan di tengah masyarakat khususnya di lingkungan kita masing-masing.

 Tantangan: Konsistensi

Adi insaf, tidak mudah mewujudkan Tujuh Kesadaran Baru Hidup Ekologis. Tantangan terbesar, menurut Adi, ialah konsistensi. “Tanpa konsistensi dalam perwujudan, kita hanya menyebarkan omong kosong, tak punya isi.”

Hal itu diamini Romo Ferry Sutrisna Widjaya, salah satu pendiri Eco Camp, yang siang itu ikut meladeni GSS bersama Adi. “Bisa ngga apa yang diajarkan kita laksanakan masing-masing? Jangan hanya ngomong, jangan hanya ngajar, praktiknya gimana? Itu yang paling sulit” tukasnya.

Ia menuturkan bagaimana ketujuh nilai itu mendapat perwujudannya secara personal. “Sementara kami sudah bisa meninggalkan daging, staf kami di bagian edukasi, Bapak Aleks, masih makan daging. Tapi ketika di kantor dia tidak makan daging. Saat ini ia mulai mengurangi, hanya makan daging saat weekend. Hari biasa, ia tidak makan daging. Buat dia itu perjuangan besar. Sementara buat saya, makan daging, sudah bukan masalah lagi. Tapi saya punya perjuangan lain lagi mencoba meninggalkan konsumsi susu”

Minum susu, kata imam diosesan Keuskupan Bandung itu, sebetulnya dilakukan di atas penderitaan anak sapi. “Sapi-sapi kecil, begitu lahir langsung dipisahkan dari induknya, dibasmi atau dibunuh. Karena kalau ada anak sapinya, produksi susu berkurang. Ibu sapi dipaksa untuk hamil, melahirkan, dan begitu melahirkan dia diperas. Ini hanya berlangsung dalam lima siklus. Sesudah lima enem tahun, produksi akan menurun dan kualitasna juga menurun. Dan akhirnya induk sapi itu dibunuh. Jadi, meningkankan konsumsi susu  sama dengan meningkatkan jumlah binatang yang harus dibunuh. Terkait upaya ini pun saya terus berjuang. Tadi pagi saya mampir ke rumah orang tua saya. Saya ditawarkan susu. Saya langsung ingat film”  tuturnya merujuk sebuah film yang melukiskan kekejaman terhadap sapi demi produksi susu.

Diteguhkan Laudato Si’

Tujuh Kesadaran Baru Hidup Ekologis, tutur Romo Ferry, dirumuskan sebelum Ensiklik Laudato Si’ terbit. “Ketika Laudato Si’ terbit kami merasa diteguhkan. Kami menemukan bahwa apa yang kami lakukan di Eco-Camp adalah hal yang diharapkan Paus. Laudato Si’ menjadi salah satu sumber inspirasi bagi kami yang tidak habis-habisnya. Saya membacanya lagi dan lagi. Dan selalu saja ada yang menarik setiap kali membacanya!”

Imam Diosesan Keuskupan Bandung ini mengharapkan adanya upaya mewujudkan amanat Laudato Si’ di setiap tempat. Ia mendambakan adanya, katakanlah, Laudato Si’Laudato Si’ Center yang tersebar dimana-mana sebagai pusat belajar perwujudan iman yang ekologis. Di Laudato Si’ Paus juga menegaskan pentingnya pendidikan ekologis dan perubahan gaya hidup. Eco Camp, tegasnya dengan penuh komitmen, berupaya untuk mewujudkan hal itu.

Tujuh kesadaran itu disebut baru. Kebaruannya untuk kami, tutur Adi, terutama ialah bagaimana hal-hal itu dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan sehari-hari. “Sebetulnya juga tidak harus tujuh, karena kami pun berharap agar teman-teman yang pulang dari sini mengembangkan kesadaran-kesadaran yang lainnya di tempat mereka.”

Johnny Dohut OFM

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here