Pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Harkristuti Harkrisnowo, melihat kenikmatan yang bisa diperoleh dari korupsi tak jarang memikat permpuan untuk mendukung perilaku koruptif. Sementara itu, Fifi Aleyda Yahya, seorang presenter televisi memberi contoh nyata perilaku korup suami yang tak jarang didorong gaya hidup hedonis istri. “Pak, itu istrinya si Anu, tetangga kita, cincinya mbeling-mbeling mengilap bersinar kinclong. Aku sih pinginnya yang batu cincin sebesar es batu.” (Stefanus OSA, Perempuan dalam Pusaran Korupsi, Kompas, Senin 29 Agustus 2016, hal. 3).
Bagi kami, yang menjadi poin penting di sini adalah adanya hubungan kausalitas antara perilaku gaya hiudp hedonis dengan tindakan koruptif. Gaya hidup hedonis adalah saudara kandung dari gaya hidup konsumtif dan materialis yang menimbulkan ketidakadilan dalam bentuk tindakan koruptif. Orang-orang Kristiani punya kewajiban untuk menjauhkan diri dari gaya hidup ini, karena bertolak belakang dengan panggilan imannya.
Gaya Hidup Hedonis Melahirkan Ketidakadilan
Hedonisme adalah pandangan hidup yang menganggap bahwa kesenangan dan kenikmatan materi menjadi tujuan utama hidup. Bagi mereka yang sadar atau tidak sadar menganut atau terjerumus ke gaya hidup ini, bersenang-senang, pesta-pora, dan pelesiran merupakan tujuan utama hidup, entah itu menyenangkan bagi orang lain atau tidak. Asumsi dasarnya adalah hidup ini hanya sekali, sehingga mereka merasa ingin menikmati hidup senikmat-nikmatnya. Kalau bisa hidup nikmat mengapa harus susah?
Dalam konteks pembicaraan kita tentang korupsi, gaya hidup hedonis menyebabkan ketidakadilan. Di satu sisi, akibat dari gaya hidup ini berdasarkan pengertian di atas, menjadi tidak peduli dengan kehidupan orang lain. Orang lebih memilih kesenangan sendiri ketimbang peduli pada penderitaan yang dialami orang lain, wong mereka tidak ingin menderita. Di sisi lain, gaya hidup ini membutuhkan biaya yang tidak kecil. Mereka mesti merogoh kocek dalam-dalam dan paling kurang memiliki sumber uang yang tidak pernah berhenti untuk membiayainya.
Parahnya, jika untuk membiayai gaya hidup ini tidak punya sumber daya yang cukup, gaji atau penghasilan pas-pasan. Nah, jalan pintas yang dianggap pantas untuk memaksakan diri tidak lain adalah mengambil apa yang bukan menjadi haknya. Dimulailah lingkaran korupsi itu. Bagaimanapun caranya, entah melalui kebijakan-kebijakan (jika dia seorang pemimpin), memainkan anggaran, palak, pemerasan, pencucian uang, dan lain sebagainya. Ketidakadilan menjadi semakin berlipat ganda. Hak orang lain, bahkan jatah orang miskin juga disikat habis.
Orang Kristiani diajak untuk tidak terjerumus dalam gaya hidup ini. Gaya hidup ini jelas-jelas bertentangan dengan cara hidup jemaat perdana (Kis, 2:42-47). Mereka selalu hidup dalam kesatuan, dan semua milik mereka adalah milik bersama, dan selalu ada dari mereka yang menjual harta miliknya, lalu membagi-bagikannya kepada semua orang sesuai dengan keperluan masing-masing. Tidak ada tendensi untuk hidup dalam kesenangan sendiri melainkan lebih mengedepankan kepedulian terhadap sesama, bahkan dengan menjual harta milik untuk hidup bersama, bukan sebaliknya mengambil milik bersama untuk diri sendiri. Bahkan ketidakjujuran terhadap harta oleh Rasul Petrus dianggap sebagai tindakan mendustai Roh Kudus (Kis, 5:1-5). Dengan demikian tindakan korup pada dirinya adalah dosa mendustai Roh Kudus.
Belajar dari Peristiwa Inkarnasi
Peristiwa Allah menjadi manusia dalam diri Yesus Kristus menjadi cara Allah untuk mengajak manusia hidup dalam kesahajaan. Allah yang lahir di palungan, di sebuah kandang binatang adalah tanda kesederhanaan Allah dan tanda keberpihakannya terhadap orang yang miskin. Allah memilih menjadi orang miskin untuk solider dengan manusia yang lemah agar dengan cara itu kelemahannya diangkat.
Paus Fransiskus dalam pesan Natal tahun 2015 mengecam gaya hidup hedonis dengan menunjuk pada Pribadi Inkarnasi ini. “Dalam kehidupan masyarakat yang seringkali dimabukkan dengan konsumerisme dan hedonisme, kekayaan dan pemborosan, penampilan dan narsisme, Anak ini mengajak kita untuk bertindak dengan ketenangan hati, dengan kata lain, dengan cara yang sederhana, seimbang, konsisten, dapat melihat dan melakukan apa yang dianggap perlu.”
Gaya hidup hedonis dapat diatasi dengan memilih hidup sederhana. Hidup sederhana adalah hidup apa adanya sesuai dengan kemampuan. Hidup tidak berlebih-lebihan dan tahu batas “cukup”. Hidup sederhana juga adalah hidup yang seimbang. Seseorang tahu apa yang menjadi kebutuhannya dan apa yang menjadi keinginannya. Kebutuhan menjadi prioritas daripada keinginan atau kesenangan. Untuk hidup sederhana, juga butuh kesetiaan. Seseorang mesti setia dan konsisten dengan pilihan hidup dan terutama sesuai dengan apa yang seharusnya ia terima dan memperlakukan sesuatu sesuai dengan porsinya; melihat dan melakukan apa yang dianggap perlu.
Mengatasi gaya hidup hedonis menjadi salah satu cara yang dapat kita lakukan untuk melawan dosa korupsi yang oleh Rasul Petrus disebut sebagai dosa mendustai Roh Kudus. Langkah-langkah dari pribadi Inkarnasi menjadi hal praktis yang dapat kita lakukan untuk melawan gaya hedonis sekaligus memberantas hasrat koruptif yang pelan-pelan merajuk melalui gaya hidup tersebut.
Setiap orang Kristiani diajak berpartisipasi untuk memberantas korupsi yang akut di negeri ini. Kita tidak perlu melakukan hal-hal yang besar. Mulailah dari gaya hidup kita, di rumah, di sekolah, di biara-biara, di tempat kerja. Pilihlah gaya hidup sederhana agar godaan untuk bertindak koruptif tidak menggerogoti kita.**** (Sdr. Charlest, OFM – Staf JPIC OFM Indonesia – Tulisan ini sebelumnya telah diterbitkan di matakatolik.com)