
Jika berbicara tentang inkarnasi, pertama-tama yang muncul dalam pikiran kita adalah dosa. Dosa menjadi alasan mengapa peristiwa inkarnasi itu boleh terjadi. Hal itu tentu sangatlah wajar, karena teologi dan praksis liturgis Gereja sangat menekankan pentingnya inkarnasi bagi dosa manusia.
Akan tetapi, sadar atau tidak pandangan ini telah berabad-abad mengabaikan “manfaat” inkarnasi bagi keseluruhan kosmis, seluruh alam tercipta. Maka, sangatlah menarik jika kita sebentar melihat kembali dinamika yang sebenarnya terjadi dalam disput teologi inkarnasi abad pertengahan.
Diskusi Abad Pertengahan: Cur Deus Homo?
Pada abad pertengahan, dengan kerangka filsafat Aristoteles tentang kausalitas, para teolog umumnya melihat peristiwa inkarnasi dalam hubungannya dengan dosa manusia. Karena itu, pertanyaan filosofis yang menarik adalah, Cur Deus Homo?
Menurut Anselmus, Allah menjadi manusia (inkarnasi) sebagai silih atas dosa manusia. Manusia tidak bisa membayar utang dosanya yang telah melukai Allah yang Mahatinggi. Karena itu, yang dapat membayar adalah manusia yang sekaligus Allah.Karya penyelamatan dimengerti sebagai penebusan dari dosa manusia.
Demikian juga oleh Thomas Aquinas, inkarnasi dipahami sebagai jalan untuk memulihkan dan menebus apa yang telah dirusakkan oleh dosa manusia. Tata rahmat, yang ada di balik inkarnasi, dipahami dalam kaitan dengan jatuhnya manusia ke dalam dosa. Konsekuensinya, berbicara tentang inkarnasi berarti berbicara tentang manusia.
Akan tetapi, seandainya manusia tidak berdosa, apakah Allah tetap menjadi manusia? Tesis Anselmus dan Aquinas tidak cukup memadai untuk menjawab pertanyaan ini. Dan lagi, jika sesungguhnya inkarnasi itu adalah untuk penebusan dosa manusia dan karena dosa manusia, dimanakah posisi ciptaan lain dalam peristiwa inkarnasi?
Pandangan Anselmus dan Thomas sekali lagi tidak akan memadai untuk menjelaskannya. Dalam hubungan dengan itu, ada sebuah aliran tradisi yang menarik untuk diperhatikan, yang dipelopori oleh seorang teolog Fransiskan abad pertengahan, Yohanes Duns Scotus.
Scotus: Inkarnasi Merupakan Penyempurnaan Seluruh Kosmis
Dalam menjawab pertanyaan yang sama, Cur Deus Homo?, Scotus menempatkan peristiwa inkarnasi dalam hubungan dengan kebebasan dan kasih Allah. Allah, dalam kebebasan dan kasih-Nya, mengundang manusia dan segenap ciptaan untuk tinggal dengan-Nya, dalam suatu situasi persatuan dan kebersamaan dalam kemuliaan Allah.
Inilah yang menjadi dasar paham inkarnasi Scotus. Allah telah merencanakan inkarnasi Sang Sabda, sebagai puncak segenap ciptaan, untuk dibawa kembali dalam persatuan dengan Allah. Dosa de facto merupakan hambatan dari pihak manusia untuk mencapai hal ini, maka Allah dalam inkarnasi-Nya menyembuhkan manusia agar ia bisa mengarahkan kembali tujuan hidupnya pada Allah.
Scotus memisahkan dosa dari maksud Allah untuk menyempurnakan ciptaan. Tujuan utama inkarnasi menurut Scotus adalah penyempurnaan seluruh ciptaan, bukan untuk menebus dosa. Inkarnasi berarti tidak hanya bagi manusia, tetapi bagi seluruh ciptaan. Inkarnasi mempunyai makna universal, untuk seluruh kosmis dan menyempurnakan seluruh kosmis.
Puncak Kesempurnaan Kosmis
Dewasa ini di tengah keprihatinan universal terhadap keutuhan seluruh ciptaan (integrity of creation), pandangan Scotus mendapat tempat di hati. Pandangan Scotus terlihat lebih universal dan mencakup keseluruhan kosmis.
Scotus mengerti baik spirit kosmis St. Fransiskus yang melihat keseluruhan kosmis sebagai satu keluarga besar dalam Allah. Kita bersaudara dan menjadi satu keluarga justru karena kita diciptakan oleh Allah yang sama. Dan lagi, Putera Allah yang menjadi manusia itu juga menjadi saudara bagi kita dan bagi seluruh alam semesta dalam Allah.Dia yang membuat kita mampu menyebut Allah sebagai Bapa, Bapa seluruh alam semesta.
Ada dua hal yang dapat diambil dari pandangan inkarnasi Scotus: pertama, inkarnasi merupakan bentuk nyata kasih Allah kepada seluruh ciptaan-Nya. Ia berkenan mempersatukan segala sesuatu dalam kemuliaan-Nya. Yesus adalah alpha dan omega, yang pertama ada, pada awal, dan yang akhirnya mempersatukan segala sesuatu dengan Allah. Ia adalah puncak karya Allah, puncak keselamatan Allah, puncak kesempurnaan seluruh ciptaan. Dia adalah master piece Allah. Di dalam Dia segala sesuatu berada kembali bersama-sama dengan Allah dalam kemuliaan-Nya.
Kedua, Scotus tidak menafikan dosa dalam pembicaraan tentang inkarnasi. Bagi dia, dosa telah membuat manusia tidak memahami jati dirinya sebagai citra Allah. Melalui Kristus Allah kemudian mewahyukan penyelamatan agar manusia bersama seluruh ciptaan bersatu dalam kemuliaan dengan Allah. Dengan demikian, inkarnasi bukanlah koreksi Allah atas ciptaan-Nya karena manusia telah berdosa, melainkan karena Allah ingin mempersatukan segala sesuatu dalam diri-Nya.
De facto, manusia berdosa, maka Allah menebusnya juga. Ketiga, di atas semuanya itu, kasih Allah-lah yang memungkinkan peristiwa inkarnasi. Sejak awal mula Allah dengan penuh kasih menghendaki keselamatan seluruh ciptaan melalui karya penciptaan. Dengan indah para pengarang suci menarasikan dalam tujuh hari penciptaan. Karya kasih itu terus berlanjut dan memuncak pada Kristus.
Untuk Kita
Pandangan Scotus memperkaya iman kita. Dengan paham antroposentris abad pertengahan yang amat kuat, Scotus hadir untuk melengkapi paham teman sejawatnya agar tidak melulu memikirkan manusia bahkan dalam peristiwa inkarnasi.
Meski dalam tradisi liturgi kita hingga sekarang masih sangat kental arus antroposentrisnya, tetapi kita patut bersyukur bahwa perhatian universal sekarang ini justru mengajak kita untuk berpikir dan menghayati iman dengan cakrawala yang luas dan menyentuh seluruh alam semesta, seluruh kosmis sebagai satu keluarga besar yang sama-sama telah mendapat “akibat” peristiwa inkarnasi yang adalah puncak dari segala ada kita dan alam semesta.
(Sdr. Charles Talu, OFM, Staf JPIC OFM Indonesia)