Salah satu isu yang paling menonjol dalam kampanye calon presiden Amerika Serikat dari Partai Republik dan Demokrat yang saat ini sedang berlangsung adalah persoalan rasial. Amerika Serkat merupakan salah satu negara di dunia yang sangat heterogen dari segi ras. Warga Amerika Serikat berasal dari macam-macam suku bangsa.
Beberapa yang terbesar adalah suku asli Amerika, keturunan Afrika, keturunan Asia, keturunan Amerika Latin, dan keturunan Eropa. Sejak zaman perbudakan hingga beberapa dekade yang lalu, warga Amerika keturunan Eropa mendapat keistimewaan dalam banyak bidang seperti politik, pendidikan, ekonomi dan kepemilikan tanah.
Ekspresi diskriminasi rasial menjadi semakin kelihatan ketika Donald Trump, kadidat presiden dari Partai Republik, menyatakan keinginannya untuk membangun tembok untuk membendung masuknya imigran Meksiko dan juga melalui pernyataann-pernyataannya di muka umum termasuk yang disampaikan lewat media sosial seperti Twitter yang cenderung mendiskreditkan warga Amerika selain yang berasal dari keturunan Eropa.
Bersamaan dengan kampanye calon presiden, terjadi beberapa kasus penembankan yang melibatkan warga Amerika keturunan Afrika di beberapa tempat di Amerika baru-baru ini. Apa yang sedang terjadi ini semakin mempertegas adanya garis pemisah yang membedakan antara “kami” dan “mereka” dalam masyarakat Amerika modern.
Persoalan rasial di Amerika sangat disadari oleh warganya. Berdasarkan hasil poling yang dilakukan CNN sebagaimana yang dilaporkan Catherina E. Schoichet pada 25 November 2015, mayoritas responden (49 %) menyatakan bahwa persoalan rasial menjadi masalah besar bagi warga Amerika saat ini. Temuan ini lebih besar dibandingkan pada tahun 2011 yang kisarannya hanya 28% yang menyatakan hal serupa.
Serupa dengan Amerika Serikat, Indonesia merupakan negara dengan komposisi penduduk yang sangat majemuk. Masyarakat Indonesia berasal dari berbagai macam suku, ras, agama dan aliran kepercayaan. Kalau di Amerika yang sudah maju persoalan rasial masih sangat terasa, bahkan menjadi isu krusial dalam pemilihan presiden, apalagi di Indonesia yang mayoritas masyarakatnya belum berpendidikan tinggi dan masih hidup di bawah garis kemiskinan. Seperti di Amerika, di negara kita yang tercintai ini, persoalan rasial juga sangat terasa dalam bidang politik, ekonomi dan pendidikan. Hal itu sangat terlihat menjelang pilgub DKI yang sedang dalam proses penjaringan calon gubernur saat ini.
Bila kita mencermati berita media masa dan juga media sosial, suara-suara yang cendrung rasialis masih sangat kencang. Mereka cenderung melihat para calon gubernur bukan dari segi prestasi melainkan dari segi latar belakang suku, ras dan agamanya. Dan kita semua sadar bahwa sikap seperti itu tidak benara dan tidak sesuai dengan semangat bangsa kita yang berlandaskan pancasila dan UUD tahun 1945.
Selain tampak dalam kontestasi politik di Jakarta, persoalan rasial juga terjadi di Yogyakarta baru-baru ini. Situasi terakhir yang melibatkan mahasiswa Papua di Yogyakarta sangat mencederai semangat kebangsaan kita oleh karena diskriminasi dan tindak kekerasan yang cenderung tidak manusiawi yang dilakukan terhadap mahasiswa asal Papua di Yogyakarta, lepas dari kenakalan yang mereka telah tunjukkan di tengah masyarakat kota Yogyarta.
Dalam bidang ekonomi, masyarakat kita cenderung dikelompokkan berdasarkan ras. Sebut misalnya, orang cenderung beranggapan bahwa WNI keturunan Tiongkok adalah kaum kaya, sementara WNI dari suku lainnya cenderung dianggap miskin. Lepas dari benar tidaknya anggapan-anggapan ini, sikap kita sebagai bangsa yang cenderung membiarkan anggapan-anggapan itu menyebar telah turut memberi andil bagi terciptanya pengelompokkan WNI berdasarkan label-label atau anggapan-anggapan yang tidak sepenuhnya benar dan jelas-jelas menjadi ancaman serius bagi kberlangsungan NKRI seperti yang dicita-citakan para Founding Fathers.
Meskipun demikian, Indonesia masih beruntung karena kita memiliki aset bersama yang bisa merekatkan kita, sekaligus memberi harapan kepada kita sebagai bangsa untuk bebas dari persoalan rasial di masa depan oleh karena kita memiliki Pancasila sebagai Dasar Negara dan Pedoman Hidup yang mengakui dan menghargai kebinekaan yang dimiliki bangsa Indonesia sejak bangsa ini didirikan oleh para Founding Fathers kita.
Paparan di atas menunjukkan bahwa diskriminasi rasial merupakan persoalan yang terjadi di mana-mana dan telah lama ada, dan masalah rasial merupakan persoalan yang sangat serius. Oleh karena keseriusan dan kemendesakannya, maka seluruh warga bangsa harus sama-sama berikhtiar dan berupaya untuk segera menghilangkannya dari bumi tercinta dengan memperkuat semangat kebersamaan dan persatuan.
Wujud dari diskriminasi rasial adalah memperlakukan seseorang secara tidak adil berdasarkan ras mereka. Diskriminasi rasial bisa muncul dari sikap sadar atau tidak sadar, yang menempatkan seseorang lebih rendah berdasarkan rasnya daripada orang lainnya. Pertanyaannya, apa dan bagaimana cara yang paling tepat untuk menghilangkan diskriminasai rasial itu dari atas muka bumi pertiwi?
Jawaban atas pertanyaan ini bisa sangat bervariasi. Dua yang terpenting adalah melalui pendidikan di dalam keluarga serta lingkungan masyarakat dan melalui pendidikan di sekolah. Dalam tulisan singkat ini, saya hendak mengambil focus pada pendidikan di lingkungan sekolah dengan memberikan beberapa langkah praktis yang bisa diterapkan di dalam ruang kelas.
Penerapan Pendidikan Multikultural
Mengutip Prof. Dr. Farida Hanum, M.Si dalam tulisannya yang berjudul “Pendidikan Multikultural dalam Pluralisme Bangsa”, pendidikan multikultural paling tidak menyangkut tiga hal, yaitu: (a) ide dan kesadaran akan nilai penting keragaman budaya, (b) gerakan pembaharuan pendidikan, dan (c) proses.
Berkaitan dengan kesadaran akan pentingnya keragaman budaya, kepada siswa harus ditanamkan bahwa perbedaan yang ada itu merupakan suatu keniscayaan atau kepastian, namun perbedaan itu harus diterima secara wajar dan bukan untuk membedakan. Artinya, perbedaan itu perlu diterima sebagai suatu kewajaran dan karena itu diperlu sikap toleransi agar masing-masing dapat hidup berdampingan secara damai.
Pendidikan multikulturan harus pula menjadi sebuah gerakan yang bersifat pembaharuan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi riil masyarakat. Bila situasi memungkinkan atau kondisi setempat mengharuskan, maka pendidikan multikultural bisa dijadikan bidang studi tersendiri, atau setidaknya menjadi program dan praktik yang direncanakan lembaga pendidikan untuk merespon tuntutan, kebutuhan, dan aspirasi berbagai kelompok di mana lembaga pendidikan itu didirikan.
Meski demikian, harus disadari bahwa pendidikan multikultural itu merupakan suatu proses yang tidak pernah selesai, melainkan beralngsung terus-menerus. Tujuannya tidak pernah bisa langsung tercapai lalu selesai, melainkan dia selalu dalam proses menjadi.
Ada beberapa ide konkrit yang bisa dilakukan sebagai penerapan pendidikan multicultural untuk mengatasi persoalan rasial di dalam lingkungan sekolah. Berikut ini adalah beberapa ide yang patut untuk dipraktekan.
- Anak didik harus benar-benar disiapkan untuk berpartisipasi penuh dalam masyarakat lintas budaya.
- Untuk dapat mempersiapkan anak didik secara memadai, para pendidik juga harus benar-benar disiapkan agar mereka benar-benar memiliki kecakapan yang diperlukan untuk membantu anak didiknya untuk belajar secara efektif di tengah lingkungan belajar yang sungguh majemuk tanpa menjadi tertutup terhadap
- Sekolah sebagai lembaga tempat di mana proses belajar terjadi harus juga menunjukkan perannya dengan turut serta untuk ikut ambil bagian dalam kegiatan yang sifatnya merespon kebutuhan riil masyarakat tempat di mana sekolah itu didirikan. Hal itu bisa dilakukan dengan turut ambil bagian untuk mengatasi masalah sosial yang ada di sekitar lingkungan sekolah, misalanya dengan mengadakan kerja bakti, mengadakan pelayanan sosial terhadap keluarga yang kurang mampu, membuka kesempatan bagi anak-anak di sekitar sekolah untuk turut menggunakan fasilitas sekolah atau melakukan kegiatan bersama dengan anak didik di sekolah yang bersangkutan.
- dalam praktek di ruang kelas, pendidikan harus berpusat pada siswa dengan meperhatikan aspirasi dan pengalaman siswa. Siswa dilibatkan dalam memutuskan sesuatu yang akan berguna bagi pengembangan dirinya.
- Melakukan kegiatan yang sifatnya cross-culture learning agar anak didik sungguh bisa belajar dari perbedan dan menerima perbedaan sebagai keniscayaan yang harus diterima dan dapat berdamai dengan perbedaan itu.
Daftar kegiatan bisa sangat panjang. Intinya adalah anak didik harus belajar dan mampu untuk merespon secara tepat setiap perbedaan yang ada dalam masyarakat atau yang akan dijumpainya dalam seluruh peziarahan hidupnya dan tidak menjadi bagian dari orang yang menciptakan tembok pemisah atau jurang yang dalam antar warga masyarakat demi memuaskan syahwat politiknya sendiri.***
(Maksimus Adil Mengajar di Jakarta Nanyang School – BSD City)