Bencana datang silih berganti, hal itu pertanda ada masalah dengan lingkungan kita. Lingkungan kita semakin rapuh dan lemah sehingga rentan terjadi bencana. Fakta masifnya kerusakan lingkungan hidup memang secara nyata menjadi penyebab bencana alam yang kemudian berkembang menjadi bencana kemanusiaan.

Sebut saja sebagai contoh, terjadi banjir bandang di Jakarta dan beberapa daerah lain; tanah longsor; kabut asap yang melanda Riau yang diduga berasal dari pembakaran lahan yang disiapkan untuk perkebunan sawit; dan lain sebagainya. Lantas, siapa yang dipersalahkan dalam hal ini?

Semua pihak saling menuding pihak lain sebagai biang kerusakan, bahkan termasuk menuding Tuhan. Padahal jika dicermati, semua itu lebih sebagai hasil dari aktivitas manusia yang tidak memperhatikan keseimbangan alam. Hal ini bertolak belakang dengan keyakinan iman bahwa sejak semula keseimbangan itu telah diatur sedemikian rupa, dan oleh Allah sendiri disebut semuanya sungguh amat baik.

Dalam refleksi ini, kami mencoba merekonstruksi kembali maksud Allah yang sudah sejak semula menghendaki agar semua ciptaan-Nya selamat dengan menciptakan semuanya sungguh amat baik, tetapi kemudian dinodai oleh manusia, makhluk yang dinobatkan-Nya sebagai segambar dan serupa dengan Dia. Dengannya, kita diajak untuk boleh membarui cara hidup ini agar semuanya menjadi baik seperti sediakala.

Maksud Allah Menyelamatkan: Menciptakan Semuanya Sungguh Amat Baik

Dalam litani kisah Penciptaan bagian petama (Kej. 1 – 2:4a) Allah sebagai Sang Maestro Agung memfirmankan terben- tuknya segala sesuatu, bumi dan segala isinya. Tradisi Presbiter (P) menarasikan dengan menarik teks yang merupakan bagian dari ibadat Israel pada masa itu.

Dunia dan segala isinya diciptakan dalam waktu enam hari. Dalam durasi waktu yang singkat ini, Allah secara sempurna menjadikan semuanya itu dan Ia sendiri melihat semuanya itu baik. Karya penciptaan mencapai puncaknya pada penciptaan manusia (Kej 1:26), yang diciptakan seturut gambar dan rupa Allah.

Manusia diciptakan “menurut gambar Allah” sejatinya supaya ia mengenal dan mengasihi penciptanya dengan lebih sempurna; dan oleh Allah ia ditetapkan sebagai tuan atas semua makhluk di dunia ini, untuk menguasainya dan menggunakannya sambil meluhurkan Allah (Kej 1:28; bdk GS 12). Allah melihat semuanya tepat, semuanya itu sungguh amat baik.

Dari kisah ini, kita menemukan Allah dalam kebaikan-Nya menciptakan segala sesuatu yang baik secara amat baik untuk diusahakan dengan baik oleh makhluk yang segambar dan serupa dengan Dia. Gambaran dari tradisi para Imam di atas mengungkapkan maksud Allah sejak semula dalam mencipta. Allah mencipta karena Ia bermaksud menyelamatkan.

Allah menyediakan tempat tinggal yang istimewa, tempat tinggal sega- la kebaikan, tempat tinggal segala keadilan. Allah menciptakan dunia dan segala isinya sebagai wadah keselamatan. Dalam semua yang baik itu Ia sejatinya menyediakan keselamatan dan mempercayakan keselamatan itu kepada manusia. Maksud Allah itu terungkap jelas saat Ia mengutus mereka ke Taman Eden, sebuah taman keselamatan yang di dalamnya ada shalom dan segalanya yang baik.

Antroposentrisme Sebagai Dosa Asal

Dengan segera setelah ditem patkan dalam taman keselamatan, manusia sebagai yang segambar dan serupa dengan Allah ditemukan sebagai yang berlawanan dengan Allah. (Kej. 3). Manusia sepertinya “tidak sudi” menjadi serupa dan segambar dengan Allah saja, tetapi lebih dari itu, ingin menjadi Allah, menggantikan posisi Allah.

Dengan segera manusia menempatkan dirinya sebagai fokus dan dengan demikian membelakangi Allah yang telah menciptakannya. Sejak saat ini pulalah, benih-benih kerusakan keutuhan ditanam, relasi antara Allah dan manusia, antara manusia dengan manusia, dan manusia dengan ciptaan lainnya mulai retak.

Dosa asal, yang salah satunya mengkristal dalam bentuk antroposentrisme, membawa manusia zaman ini tidak hanya keluar dari Taman Eden tetapi menghancurkan Taman Eden dunia ini. Antroposentrisme, merupakan aliran yang disoroti sebagai biang kerusakan lingkungan hidup, biang kehancuran ekologi. Manusia menganggap diri sebagai fokus alam semesta, segala sesuatu digunakan untuk kepentingannya.

Ironinya adalah, manusia yang mengaku beriman, Kristiani pula, tidak saja tidak menyadari bahwa dirinyalah yang digambarkan yang telah jatuh dalam dosa asal (baca: antoposentrisme), melainkan juga memanfaatkan teks – teks Kitab Suci untuk membenarkan tindakan antroposentrisnya.

Seorang sejarahwan Amerika, Lynn White secara keras mengkritik sikap ini. Lynn White menuding massifnya kerusakan lingkungan dewasa ini disebabkan oleh antroposentrisme, khususnya antroposentrisme Kristiani. Dalam pandangan White, antro- posentrisme adalah “anak kandung” Kitab Suci Kristiani yang mendaulat manusia sebagai mahkota ciptaan serta berkuasa atas makhluk ciptaan lainnya.

Lebih keras lagi ia berpendapat bahwa sifat teologi Kristiani tersebut mengesahkan bangkitnya pengetahuan dan teknologi yang kemudian menjadi tak terkontrol. Dengannya, kekristenan menciptakan dualisme manusia dan alam, dan sekaligus menegaskan bahwa telah menjadi kehendak Allah, manusia mengeksploitasi alam demi tujuan manusia sendiri. Adapun yang dimaksudkan oleh White adalah, bagaimana kekristenan kemudian melihat teks Kej. 1:1-2:6 menjadi dasar untuk mengeksploitasi alam dan seluruh isinya.

T in d a ka n –t in d a ka n eksploitatif seperti perambahan hutan untuk menjadikannya sebagai kebun sawit dan kegiatan – kegiatan pertambangan terus saja menyebabkan kehancuran lingkungan hidup secara sistematis. Polusi tanah, air dan udara secara masif terus meningkat. Hal tersebut terjadi juga karena antroposentrisme mewujud dalam bentuk gaya hidup yang baru, yang dicirikan oleh sifat egoistik – individualis, konsumeris, cara hidup serba instan, dan lain sebagainya.

Cara hidup egoistik – individualis membuat orang berprinsip, “Kalau bisa semuanya untuk kepentinganku, untuk kepentingan kelompokku. Yang lain bisa dikorbankan untuk aku.” Orang bisa memanipulasi kebijakan – kebijakan untuk kepentingan diri dan golongannya. Semakin merajalelanya privatisasi sumber daya alam, tanah hak ulayat, dan tempat pariwisata, juga merupakan kristalisasi dari cara hidup egoistik-individualis yang tidak lain merupakan dosa asal.

Perusahaan-perusahaan tambang atau juga perkebunan sawit bisa menjual janji kesejahteraan untuk mengeruk keuntungan sekaligus membodohi dan memiskinkan rakyat kecil. Selanjutnya, orang suka mengkonsumsi apa saja termasuk yang bukan merupakan kebutuhan.

Karena daya konsumsinya tinggi, orang ingin serba instan, serba cepat; bahkan untuk cepat kaya. “Kalau tambang bisa mempercepat kesejahteraan, mengapa tidak dipilih?” Padahal, di manamana kegiatan tambang dalam bentuk apapun tidak pernah secara nyata menyejahterakan. Masih banyak contoh lain yang menunjukkan masih mengakarnya dosa antroposentris dalam kehidupan dewasa ini.

Menjadi Makhluk yang Baik Adanya

Tidak ada jalan lain untuk bisa keluar dari masalah ini selain menyadari diri sebagai yang telah diciptakan sungguh amat baik bah- kan segambar dan serupa dengan Allah. Kesadaran itu semoga saja bisa sampai pada ingatan akan makhluk ciptaan lain yang juga diciptakan baik adanya.

Jika kita ditugaskan untuk menguasai haruslah itu diterima dalam kenyataan kita sebagai wakil Allah di dunia ini. Kita ditugaskan untuk menjaga dan merawat hingga akhirnya kita mengembalikannya kepada Allah juga semuanya sungguh amat baik.***

Sdr. Charles Talu OFM

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

1 × one =