Sdr. Alex Lanur, OFM - Di hadapan Allah kedudukan dan martabat semua orang, semua manusia setara dan sederajat saja

 

Pengantar

Manusia adalah makhluk sosial, yang hidup bersama dengan manusia-manusia yang lain, dengan orang-orang yang lain. Dia tidak hanya berada saja, tetapi juga menunjukkan suatu dinamika dalam hidupnya. Dinamika itu, antara lain, ditampakkan dalam aktivitas untuk mengadakan, menciptakan hubungan dan  bergaul dengan  orang-orang lain.

Hubungan  dan pergaulan itu dapat berupa hubungan antara Aku dengan Engkau, antara Aku dengan Dia, antara Aku dengan Mereka, antara Aku dengan Kami, antara Aku dengan Kita, antara Kami dengan Kami, antara Kita dengan Kita, antara Kami dan Kita dengan Mereka baik yang hidup berdekatan maupun yang berjauhan satu dari yang lain. Hubungan dan pergaulan serta bagaimana hal itu dikonkretkan dalam kehidupan sehari-hari seharusnya juga ditentukan oleh orang-orang dengan siapa seseorang itu bergaul dan mengadakan hubungan.

Namun hubungan dan pergaulan  antar-manusia seringkali terganggu dan tidak berjalan mulus serta berjalan tidak sebagaimana mestinya. Salah satu gangguan yang membuat hubungan dan pergaulan antara manusia itu tidak berjalan sebagaimana mestinya adalah sikap dan perilaku yang diskriminatif. Bagaimana sebaiknya dan seharusnya orang bersikap dan berperilaku satu sama lain?

Makna kata dari sudut asal-usulnya

Kata ‘diskriminatif’ sebenarnya berasal dari kata benda ‘discrimen’ (bahasa Latin) dan dari kata kerja ‘discriminare’ (bahasa Latin). Kata ‘discrimen’ berarti: apa yang memisahkan- 1). a. pemisahan, garis sempadan; b). sibak (rambut; antara, jarak; selang; 2). a.perbedaan; selisih; b. kecakapan membeda-membedakan; 3). penentuan, keputusan. Kata ‘discriminare’, pada gilirannya,  berarti 1). a. memisahkan; membagi-bagi, memotong; b). menyibak (rambut); mengandam; 2). membeda-bedakan.[1] Dari kata ‘discriminare’ ini dibentuklah kata benda ‘discriminatio’, yang diindonesiakan dengan kata diskriminasi itu.

Kiranya arti kata ‘discriminare’ menurut asal-usulnya adalah memisahkan dan membeda-bedakan. Dan kata ‘discrimen’  sebagai kata benda kiranya berarti apa yang memisahkan dan  kecakapan untuk membeda-bedakan. Hal itu kiranya menyatakan bahwa, menurut asal-usul katanya, kedua kata itu tidak berkonotasi negatif, tidak bermakna pejoratif.

Namun Ensiklopedia Indonesia, selain menyajikan arti seperti yang disebut di atas juga menambahkan suatu arti yang lain  : ‘…Dalam lapangan politik perkataan diskriminasi mempunyai arti tambahan yang tidak baik, yaitu membeda-membedakan antara golongan manusia, misalnya, kulit putih lawan kulit berwarna, golongan kaya lawan golongan miskin, golongan mayoritas lawan golongan minoritas  dan seterusnya di mana yang satu lebih diuntungkan/ dirugikan daripada yang lain. Diskriminasi ras adalah suatu bentuk diskriminasi berdasarkan ciri-ciri ras yang sejak beberapa dasawarsa akhir-akhir ini ‘mewarnai’ pergaulan antar manusia’ [2]

Dari situ kiranya tampaklah bahwa kata diskriminasi, yang berasal dari kata discriminatio, discrimen dan discriminare itu sudah diberi konotasi negatif, sudah diberi makna pejoratif.

Konotasi dan makna negatif-pejoratif

Dari mana datangnya konotasi negatif, makna pejoratif yang dewasa ini dikaitkan dengan kata-kata itu? Mengapa konotasi dan makna seperti itu sampai merebak ke seluruh dunia dan tidak hanya dalam wilayah atau kelompok yang tertentu saja?  Hal itu disebabkan, antara lain, oleh pandangan yang keliru dan tidak utuh tentang manusia. Orang menilai, mengakui dan memperlakukan hanya orang atau kelompok  yang tertentu saja sebagai manusia dan yang lainnya tidak atau, paling tidak, belum. Artinya, hanya Aku, Kami  dan Kita saja yang dipandang dan pantas diperlakukan sebagai manusia. Sedangkan yang lainnya,  Dia dan Mereka  tidak atau belum pantas dipandang dan diperlakukan sebagai manusia.

Dengan kata lain, hanya orang atau kelompok yang tertentu saja yang mengemban esensi atau hakekat manusia dalam dirinya. Sedangkan orang atau kelompok lainnya hanya mengemban aksiden atau ‘embelan’ saja dari diri manusia itu. Karena itu orang, misalnya, cenderung menekankan dan bahkan memutlakkan  garis keturunan seseorang, asal usulnya, wilayah dari mana dan di mana seseorang, wilayah di mana dia berasal dan dia tinggal, warna kulitnya, posisi sosial, ekonomis dan budayanya dalam masyarakat, jenis kelaminnya dan sebagainya. Padahal mereka semua dilahirkan sebagai manusia yang sama dan setara dari sudut esensi atau hakekatnya.

Hal-hal ini menunjukkan, antara lain, ‘berkuasanya’ pandangan dan perilaku yang disebut ‘etnosentrisme’ di antara kelompok-kelompok, suku-suku bangsa, di antara bangsa-bangsa di dunia ini. Secara sederhana dapat dijelaskan begini: Yang dimaksudkan dengan manusia dalam etnosentrisme hanyalah orang-orang  sebangsa, sesuku bangsa, sewilayah, sedesa, sekampung dan sebagainya. Orang-orang yang berada di luar lingkup dan lingkungan itu, seperti orang-orang asing, misalnya, bukanlah manusia sebagaimana mereka pahami. Orang-orang asing dan  atau yang berasal dari suku bangsa lain adalah orang-orang barbar, tidak beradab, dan belum sampai ke tingkat manusia. Sedangkan orang-orang dari ‘kelompok’ mereka sendiri adalah orang-orang beradab, tanpa cacat dan cela serta kekurangan sedikit pun dan disanjung-sanjung.

Pandangan, sikap dan perilaku seperti itu menunjukkan adanya semacam cinta yang berlebih-lebihan akan diri sendiri. Cinta semacam itu disebut cinta narsistis. Pandangan, sikap serta perilaku tersebut ini turut menyebabkan bahwa orang-orang asing dan sebagainya dipandang dan diperlakukan sebagai orang-orang yang tidak pantas dipercayai, sebagai musuh yang harus dibenci, dilawan dan diperangi dan, kalau perlu, dibinasakan.[3][i] Pandangan, sikap dan perilaku seperti itu juga turut menyebabkan bahwa  orang tidak mudah menerima keberadaan dan kehadiran orang-orang asing, para imigran, dan bahkan  para transmigran, misalnya.

Fransiskus dan diskriminasi

Kiranya St. Fransiskus pernah juga membaca teks-teks Kitab Suci yang berikut. ‘Berfirmanlah Allah: Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas  ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak  dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi. Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka’ (Kej 1: 27; bdk. Kej 2: 7). ‘…Maka Allah melihat  segala yang dijadikan-Nya itu sungguh amat baik’ (Kej 1: 31). ‘…Namun Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah, dan telah memahkotanya dengan  kemuliaan dan hormat’ (Mzm 8: 6).

Dari teks-teks ini tampak bahwa setiap manusia, baik laki-laki mau pun perempuan, diciptakan dan dijadikan oleh Allah menurut gambar dan rupa-Nya, hampir sama seperti Dia sendiri. Dan mereka juga dimahkotai oleh-Nya dengan kemuliaan dan hormat. Bersama dengan ciptaan Allah lainnya mereka adalah baik. Kiranya St. Fransiskus menyadari dan sungguh yakin bahwa manusia benar-benar diciptakan dan dijadikan oleh Allah dengan martabatnya yang khusus itu.

Kiranya dia juga sadar dan sungguh yakin bahwa manusia itu dianugerahi martabat yang luhur oleh Sang Penciptanya. Itulah sebabnya mengapa dia menghargai, menghormati dan mencintainya. Kiranya itulah juga sebabnya mengapa dia mengingatkan para saudaranya dengan kata-kata ini: ‘Ingatlah hai manusia, betapa unggulnya kedudukan yang diberikan Tuhan Allah kepadamu: Ia telah menciptakan dan membentuk engkau  sesuai dengan gambar Putera-Nya yang terkasih menurut badan dan sesuai dengan keserupaan-Nya menurut roh (Pth V: 1).

Selain itu St. Fransiskus mengalami bahwa Allah yang sama juga adalah Bapanya. Allah yang adalah Bapanya itu adalah Allah ’yang baik, seluruhnya baik, paling baik’. Dia juga adalah ‘Cinta kasih, Kerendahan, Kesabaran, Kelembutan hati, Keamanan, Ketenteraman, Pelindung dan Pembela kami, Cinta kasih kami, Penyelamat yang penuh belaskasihan’ (PujAllah 3-6). Atau, Bapanya itu juga adalah ‘Penebus, Penghibur dan Penyelamat , Terang, Kasih, Yang baik dan paling baik, Asal segala yang baik, yang tanpa-Nya  tidak ada yang baik satu pun’ (UrBap 1-3). Di hadapan Bapak Uskup dan ayahnya, dia mengakui siapa dirinya dan serentak pula menyerahkan dirinya kepada Bapanya itu dengan mengatakan kepada ayahnya: ‘Hingga sekarang di dunia ini Pietro Bernardone kusebut bapak, tetapi mulai sekarang aku dapat berkata dengan leluasa: Bapa kami yang ada di surga’ (LegMaj 4).

Allah itu bukanlah Bapanya sendiri  saja. Dia juga adalah Bapa semua orang, semua manusia di mana pun di dunia ini. Allah itu tidak hanya mencintai dia sendiri saja, tetapi juga semua orang, semua manusia di dunia ini. Karena semua orang, semua manusia dicintai oleh Allah, maka St. Fransiskus juga tidak mempunyai pilihan  lain selain mencintai semua orang itu seperti yang ditunjukkan oleh Allah, Bapanya kepadanya.

Itulah sebabnya mengapa dia mengakui, memperlakukan, mencintai orang-orang lain, serta bergaul dengan mereka  sebagai anak-anak, putera dan puteri dari Bapa yang satu dan sama saja. Itulah juga sebabnya mengapa dia mengakui dan menyapa siapa saja dengan saudara dan saudarinya. Sebutan dan sapaan itu hanya mau menunjukkan bahwa semua orang, semua manusia di mana pun mereka berada, apa pun pekerjaan atau pun jabatannya, terpelajar atau pun bukan, miskin atau pun  kaya, sehat atau pun sakit, hitam atau pun putih kulitnya, bangsawan atau pun orang biasa dan sederhana, orang asing atau pun pribumi, beragama ini atau pun beragama itu dan sebagainya setara dan sederajat saja.

Di hadapan Allah kedudukan dan martabat semua orang, semua manusia setara dan sederajat saja. Dengan senang hati dia bergaul dengan semua orang itu. Semua hal lain, yang ditambahkan pada ‘hakekat’ diri manusia itu tidak masuk hitungan dalam sikap serta perilakunya. Dengan menembusi semua hal yang ditambahkan itu St. Fransiskus masuk ke dalam diri manusia dan menemukan ‘hakekat’ diri manusia yang terdalam. Dan penemuan itu menentukan dan mengarahkan seluruh sikap dan perilakunya terhadap semua orang.

Dan ‘hakekat’ diri manusia yang terdalam itu adalah bahwa semua orang, semua manusia di mana pun mereka berada dan hidup diciptakan oleh Allah menurut gambar dan rupa-Nya. Mereka adalah saudara dan saudari St. Fransiskus serta putera-puteri Allah yang dicintai dan dikasihi oleh-Nya. Mereka juga adalah orang-orang  yang dianugerahi martabat yang luhur oleh Allah, Bapanya.

Penutup

Sudah dijelaskan apa yang seharusnya menjiwai hubungan dan pergaulan orang-orang, manusia-manusia satu sama lain. Juga sudah dijelaskan bagaimana  seharusnya hal itu diwujudkan dalam hidup sehari-hari. Namun relasi dan pergaulan itu sering diganggu oleh diskriminasi, sikap diskriminatif  dalam arti negatif-pejoratif. Untuk menghadapinya juga sudah disampaikan sebuah contoh. Dan contoh itu diambil dari apa yang dilakukan oleh St. Fransiskus. Contoh tersebut pantas direnungkan dan dijadikan pegangan dalam hidup sehari-hari. (Sdr. Alex Lanur, OFM – Profesor Filsafat di STF Driyarkara Jakarta)

Acuan

Santo Bonaventura, Riwayat Hidup St. Fransiskus (Legenda Major). Jakarta: SEKAFI, 1984.

Kajetan  Esser, OFM, Fransiskus Asisi. Karya-karyanya (terj. Leo Laba Ladjar, OFM). Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1988 .

Hassan Shadily (PemRed), Ensiklopedia Indonesia. 2. Jakarta: Ichtiar-Baru – Van Hoeve, 1980.

Alex Lanur, OFM, Fransiskus, Saudara-saudara Dina dan Para Pengungsi, Gita Sang Surya, vol. 11, No. 3, Mei-Juni 2016, 38-40.

—————, Asimilasi, dari Sabang sampai Merauke. Majalah Basis XXXI/ 3/ Maret 1982, 82-86.

  1. Prent, c.m., Kamus Latin-Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1969.

[1]  K. Prent, c. m., Kamus Latin-Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1969, 254.

[2]  Hassan Shadily Pem Red), Ensiklopedia Indonesia. 2. Jakarta: Ichtiar- Baru – Van Hoeve, 1980, 833.

[3]  Alex Lanur, Asimilasi, dari Sabang sampai Merauke. Majalah Basis XXXI/3/ Maret 1982, 82-86.

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here