Bencana alam Garut. Perusakan alam, yang terus menerus dilakukan akibat logika ekonomi dan kemajuan teknologi, mengantar keberlangsungan kehidupan manusia di masa depan ke jurang ancaman serius. Foto: news-merahputih-com

“Mengapa di tanahku terjadi bencana?”, begitulah sepenggal lagu Perjalanan dari Ebiet G. Ade, yang tenar di akhir tahun 70-an. Pertanyaan itu dijawab sendiri oleh Ebiet dalam penggalan selanjutnya, “mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita, yang selalu salah dan bangga dengan dosa-doa. Atau alam mulai enggan bersahahabat dengan kita”.

Negeri ini tak pernah absen dari bencana alam. Duka Garut masih terasa hingga detik ini. Ini salah siapa? Ini dosa siapa? Ini bukan retorika, butuh introspeksi diri, butuh refleksi yang mendalam dan mengakar dalam kesadaran.

Sepertinya menjadi ritus tahunan bahwa deraian air mata dan isak tangis menerjang cakrawala, menembus awan dan menusuk langit biru. Entahlah ke mana semuanya berlabuh. Juga tak ada jawaban yang datang dari awan atau turun dari langit biru. Jawaban atas pertanyaan, ”mengapa di tanahku terjadi bencana”, tak patut di alamatkan ke langit.

Ebiet pun tidak hendak menuduh Tuhan, ketika menyadari bahwa semuanya terpulang pada tingkah laku manusia. Yang jelas alam tak lagi akrab dengan manusia, atau yang benarnya bahwa alam tak lagi diakrabi manusia. Gagasan Ebiet sealir dan searus dengan apa yang dikatakan Yohanes Paulus II dalam Centesimus Annus.

Perilaku destruktif manusia terhadap alam, menyebabkan kerusakan alam secara massif. Perilaku destruktif itu dipicu oleh hasrat memiliki dan akumulasi harta karena prinsip hidup yang serba konsumeris dan hedonis.

Persoalan lingkungan hidup dalam pengamatan Yohanes Paulus II erat bertaut dengan konsumerisme. “Manusia mengira boleh semaunya sendiri mendaya-gunakan bumi dan menikmati hasilnya, dengan menaklukkannya tanpa syarat kepada kehendaknya sendiri, seolah-olah bumi tidak mengemban tuntutan serta maksud tujuannya semula yang diterimanya dari Allah, dan yang manusia dapat mengembangkan, tetapi tidak boleh mgnkhianati.

Manusia bukannya menjalankan tugasnya bekerja sama dengan Allah di dunia. Ia justru malahan mau menggantikan tempat Allah, dan dengan demikian akhirnya membangkitkan pemberontakan alam, yang tidak diaturnya, tetapi justru disiksanya” (CA 37; bdk.SRS 34).

Argumen Yohanes Paulus II bahwa persoalan lingkungan hidup masa kini dengan dampak negatif pada manusia dalam wujud bencana berakar pada persoalan moral adalah sah (Pesan Perdamaian 90, II).

Bicara moral, berarti bicara tentang kualitas kesadaran diri dan moral pada manusia, terutama perilaku baik terhadap sesama dan Allah, maupun terhadap ciptaan. Kerusakan alam, berakar pada merosotnya moralitas manusia, dengan akibat bahwa alam kehilangan keutuhannya atau rusak.

Kerusakan alam adalah buah kejahatan moral atau dosa. Dosa merusak hidup manusia dan kerusakan alam akibat dosa juga merusak hidup manusia.

“Perusakan alam, yang terus menerus dilakukan akibat logika ekonomi dan kemajuan teknologi, mengantar keberlangsungan kehidupan manusia di masa depan ke jurang ancaman serius.

Para ilmuwan telah memperlihatkan bahwa pembakaran karbon dari bahan bakar fosil, dan pencemaran tanah, air dan udara akibat pupuk kimia dan pelbagai cemaran lainnya, akan menyebabkan kehancuran flora dan fauna, perubahan iklim dan pada akhirnya mengancam kehidupan manusia itu sendiri” (Pilgrim and Strangers in the World, 2008, p.29). Bencana alam adalah nama lain dari bencana moral manusia.

Sdr. Peter C. Aman, OFM

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

3 × 1 =