Sebuah fakta yang tidak terbantahkan adalah bahwa hidup manusia sangat tergantung pada alam. Sejarah manusia akan berakhir seiring dengan berakhirnya sejarah (baca: keberadaan) alam.
Kita tidak bisa membayangkan (setidaknya hingga saat ini) manusia hidup di “alam” yang berbeda dari alam yang telah menjadi tempatnya menyejarah hingga saat ini. Ketergantungan absolut manusia pada alam sangat kita sadari.
Namun kesadaran itu kurang diimbangi dengan sikap yang tepat dalam berelasi dengan alam. Sikap yang kurang tepat itu berakar pada satu kondisi yang disebut mental konsumtif yang melekat pada manusia.
Mental konsumtif mengambil wujudnya dalam bentuk keserakahan dalam memanfaatkan alam demi kepuasan yang sifatnya sangat fana dan sementara.
Mental konsumtif membentuk semacam ideologi konsumerisme. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan konsumerisme sebagai paham atau gaya hidup yang menganggap barang-barang (mewah) sebagai ukuran kebahagiaan, kesenangan, dan sebagainya.
Singkatnya, konsumerisme adalah gaya hidup yang tidak hemat. Karlina Supeli dalam Pidato Kebudayaan tahun 2013 dengan lebih tegas menyatakan bahwa konsumerisme adalah proses kebudayaan dalam ideologi tata dunia baru yang kita sebut globalisasi.
Melalui berbagai label yang menggiurkan ideologi itu mendesakkan gaya hidup mewah, prestise, status dan prinsip-prinsip kenikmatan ke dalam benak bawah-sadar konsumen. Lebih lanjut, Karlina mengatakan bahwa konsumerisme bukan hanya soal psikologis atau gejala sosial, melainkan gejala budaya yang sengaja dirancang untuk memungkinkan mesin industri gaya hidup terus berputar.
Seperti makhluk rakus yang tidak pernah kenyang, konsumerisme melahap lahan hijau untuk pembangunan sentra-sentra bisnis dan mencampur aduk ruang-ruang kultural dengan ruang-ruang ekonomi.
Supeli menunjuk teknologi digital sebagai salah satu sumber kenikmatan terbesar dalam dunia kontemporer, yang melahirkan dunia maya dan kita boleh bangga karena Indonesia adalah salah satu dari sepuluh negara pengguna terbanyak internet, meskipun penggunaan terbanyak (95%) masih untuk media sosial.
Indonesia juga merupakan negara pengguna aktif facebook nomor empat di dunia. Lebih menakjubkan lagi, ciapan (twit) terbanyak ternyata berasal dari Jakarta. Jakarta adalah kota dengan ciap-ciap tertinggi di dunia, 15 twit/detik.
Di depan saya telah menyinggung “ketergantungan yang absolut” manusia pada alam. Alam yang saya maksudkan adalah ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup (termasuk di dalamnya manusia) dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan peri kehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainya.
Dalam relasi yang sangat tergantung itu terjadi interaksi. Interaksi manusia dan juga makhluk hidup lainnya dengan lingkungannya mempengaruhi lingkungan hidupnya dan sebaliknya dalam batas tertentu manusia dipengaruhi oleh lingkungan hidupnya. Proses interaksi manusia dengan lingkungan akan mempengaruhi pula pandangan hidup manusia.
Pada kesempatan ini saya akan memusatkan perhatian hanya pada pandangan hidup yang melihat alam sebagai objek yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi hasrat dan kepuasan ragawi manusia semata yang oleh Supeli disebut sebagai gaya hidup mewah, prestise, status dan kenikmatan-kenikmatan lainnya.
Bagi orang beriman, alam diciptakan Tuhan untuk semua umat manusia dan makhluk hidup lainnya. Artinya, sumber daya alam yang tersedia cukup untuk semua makhluk. Itu berarti, sejak semula, Pencipta menginginkan adanya keseimbangan dalam relasi antara manusia dan ciptaan lainnya dalam alam, sebab keseimbangan dalam relasi itu menjamin keberlangsungan alam itu sendiri dan juga terutama agar makhluk hidup, utamanya manusia dan ciptaan lain yang kini ada dapat mencukupi diri dan hidupnya dari alam dan turunan olahan produk alam sebagaimana juga didapati oleh manusia dan makhluk hidup lainnya yang ada di masa datang. Singkatnya, Pencipta menghendaki agar manusia mengelola dan memanfaatkan (hasil) alam secara bertanggung jawab.
Faktanya, tidak seindah yang dipahami. Ketersediaan yang cukup untuk semua dirusakkan oleh nafsu manusia, setidaknya sebagian manusia yang ingin membuat dirinya tampak lebih dari orang lain dalam hal prestise, kepemilikan dan lain-lain dan juga oleh kelalaian manusia secara umum dalam merawat alam.
Kita mengetahui, demi prestise dan status sosial, manusia rela mengoleksi barang-barang mewah yang tidak benar-benar dibutuhkannya, seperti perhiasan-perhiasan mahal, rumah-rumah mewah (yang mungkin tidak pernah ditempatinya, kecuali oleh pembantu), kendaraan-kendaraan mewah yang hanya memenuhi garasi dan seterusnya.
Sebab dalam relasi antar manusia yang tampak palsu untuk orang bijak, semakin anda memiliki banyak barang-barang mewah dan mahal, semakin anda kaya; semakin anda kaya, maka anda semakin tampak hebat, status sosial anda semakin tinggi dan anda akan semakin dihormati. Namun, semua itu hanya kepalsuan semata.
Barang-barang mewah yang diadakan demi memenuhi kenikmatan dan mensuport gaya hidup, prestise dan status sosial yang semu itu hampir semuanya mengandung bahan dasar yang diambil dari alam. Semakin besar kebutuhan akan barang-barang mewah dan kekayaan, maka semakin besar kerusakan alam akan terjadi dan tentu saja ketidak-seimbangan dalam relasi antar manusia dan alam dan antar sesama manusia semakin dalam dan melebar.
Kerusakan lingkungan hidup akibat aktivitas manusia
Gaya hidup manusia yang konsumtif sebagaimana dipaparkan di atas mengakibatkan kerusakan alam yang disebabkan oleh aktivitas manusia sebagai berikut: kebakaran hutan, penggundulan hutan, penambangan, limbah industri, pencemaran lingkungan.
Kebakaran hutan diakibat dua faktor yakni kemerau panjang dan ulah manusia. Ulah manusia yang menyebabakan kebakaran seperti pembukaan lahan dengan membakar hutan. Tindakan ini menyebabkan terjadinya kabut asap dan banyak spesies binatang dan tumbuhan musnah.
Kerusakan alam juga terjadi karena penggundulan hutan. Penggundulan hutan dapat terjadi secara legal – oleh perusahaan-perusahaan yang mendapat ijin pemanfaatan hutan dari pemerintah, maupun illegal – penebangan hutan secara liar tanpa izin, dengan tanpa melakukan reboisasi kembali pada hutan tersebut.
Gaya hidup mewah manusia juga berkaitan langsung dengan aktivitas penambangan, oleh karena bahan dasar barang-barang mewah diperoleh dari hasil penambangan. Penambangan menghasilkan material alam yang berharga seperti besi, timah, emas dan lain-lain.
Di Negara ini, aktivitas penambangan menyebar hingga ke sulurh pelosok dan dampak buruknya terhadap lingkungan sudah kelihatan di mana-mana.
Barang-barang penambangan dan hasil pemanfaatan hutan diolah lebih lanjut dalam industri. Pengolahan ini ‘menghasilkan’ limbah industri, yakni hasil pengolahan pabrik yang tidak berguna. Limbah ini merupakan racun yang dapat memusnahkan hewan, tumbuhan dan juga manusia.
Paparan singkat ini menegaskan kebenaran tesis yang disampaikan pada awal tulisan ini bahwa hidup manusia sangat tergantung pada alam, namun ideologi konsumerisme yang dianut sebagian manusia menyebabkan terjadinya kerusakan alam.
Karena itu salah satu upaya konkrit untuk mengatasi kerusakan atau memulihkan alam adalah manusia harus berani untuk mengakhiri gaya hidup konsumtifnya dan kembali membangun relasi yang seimbang dengan alam dengan cara memanfaatkan hasil alam seefisien mungkin dan melakukan tindakan pemulihan dengan segera setelah mengambil manfaat dari alam baik dalam bentuk reboisasi maupun pemulihan areal bekas pertambangan.
Max Adil, Mengajar di Jakarta Nanyang School – BSD.