Dunia kita ini terdiri dari ada-ada yang terhadapnya kita dapat bersimpati dan bahwa simpati merupakan tanggapan natural kita, [Whitehead].
Ternyata benar adagium klasik: “Siapa dapat menebak gerak-gerik Tuhan? Apakah Tuhan sedang marah atau tertawa? Apakah sedang melangkah maju atau mundur?”
Kalau ternyata benar, bahwa kita sesat dan banyak dosa, kenapa kita tidak ditolongnya dengan cepat, kenapa kita dibiarkan binasa dalam kepungan bencana alam yang meluluhlantakkan segenap penghuni bumi? Kenapa Tuhan membingungkan?
Mungkin benar kalau Tuhan tidak lagi membingungkan, Dia bukan lagi Tuhan, God is a speak the unspeakable! Seperti kata Gabriel Macell, Tuhan bukanlah suatu “problem”, tetapi suatu “misteri” dalam hidup manusia.
Suatu hal yang kurang disadari manusia adalah ternyata alam punya batas kesabarannya. Alam punya perasaan marah, yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata melainkan dengan aksi nyata.
Pemicu kemarahan adalah perilaku manusia yang brutal dan kejam terhadapnya disertai egoisme dan arogansi manusia sehingga mendangkalkan kesadaran kritis eksistensi alam yang menopang hidupnya.
Pikiran jernihnya telah ditaklukkan di bawah perasaan hedone sesaat sehingga alam yang selayaknya dirawat dan dilestarikan justru dicemari, dirusak dan dieksploitasi seturut kehendaknya. Sungguh nurani manusia telah dibutakan oleh nafsu instan alis ingin cepat kaya.
Uang menguasai dan mengontrol hidupnya, sehingga karena dan demi uang, manusia melakukan apa saja tanpa peduli alam sekitarnya.
Benar, bahwa manusia diciptakan menurut “gambar dan rupa Allah” (Kej 1:26). Artinya, pertama-tama manusia berbeda dari Allah, karena hanya “serupa”. Di lain pihak, manusia dibedakan juga dari makhluk-makhluk lain.
Manusia mahkota segala ciptaan. Namun, manusia tidak boleh menyombongkan diri dengan titel mulia itu. Sebagai citra Allah, sebenarnya manusia sadar akan tanggungjawabnya untuk menggunakan dan mengolah alam dengan baik, sehingga Imago Dei yang melekat pada dirinya bukan tambalan atau slogan kosong, melainkan sebagai hakikat keberadaan dirinya.
Tumpulnya kesadaran moral manusia akan eksistensi alam, membuat manusia tidak peka lagi menilai perilakunya yang nyata-nyata bertentangan dengan kodratnya sebagai citra Allah. Sebagai balasannya, alam pun berbalik menunjukkan angkara murkanya kepada manusia melalui bencana alam.
Terlepas dari pelbagai sikap dan paradigma yang berbeda-beda dalam memaknai bencana alam paling tidak kita yang sedang hidup dan dihidupi oleh ekosistem alam tergugah untuk berefleksi dan menentukan sikap. Ada harapan bahwa sensibilitas ekologis mulai tumbuh dan berkembang dalam kesadaran manusia, makhluk ekologis.
Apa yang mau dicerap tentu tidak terlepas dari fakta fenomena alam yang semakin tak bisa diperhitungkan daya destruktifnya dan di sisi lain keserakahan manusia yang terkadang terlalu jelas, dan nafsu eksploitatifnya sering tak terpuaskan.
Keprihatinan dan kegelisahan akan aksi alam yang destruktif sudah pasti melahirkan reaksi dalam diri manusia. Maka, muncullah beragam gugatan dan umpatan atas kedahsyatan kuasa alam, bagaimana mungkin alam dapat berperilaku demikian? Mengapa sampai begitu? Dapatkah saya mengatasinya? Apa gunanya untuk saya, berapa harganya? Dan di manakah Tuhan saat alam murka?
Di sisi lain kita mendengar dan bahkan memberontak dalam hati bila berhadapan dengan hiburan-hiburan saleh yang dimaksudkan untuk menenangkan justru di saat orang lain atau diri kita sendiri sedang dirundung kemalangan.
Terhadap pertanyaan-pertanyaan kritis eksistensial semacam inilah manusia perlu berefleksi, yakni perenungan akan realitas objektif kekuatan alam. Perlu keterbukaan untuk mengakui secara objektif bahwa alam itu bernilai pada dirinya sendiri lepas dari kebutuhan manusia sehingga memuat imperasi mengusahakan kehidupan secara cakap seirama dengan alam.
Refleksi yang sehat mestinya disertai pula dengan apa yang oleh Kierkegaard disebut anxiety/kecemasan. Artinya bahwa selain mendambakan kegembiraan dan kebahagiaan di panggung semesta, perlulah pula orang memiliki rasa cemas/was-was atas apapun yang dapat melanda dalam pencarian makna hidup.
Sehingga terhadap alam yang daya destruktifnya sering tak terduga dibutuhkan kewaspadaan. Atau ketika orang sadar bahwa perilaku konsumtif dan eksploitatifnya sudah sangat jelas berlebihan terhadap alam maka perlu memiliki kecemasan ekologis akan bahaya kebinasaan.
Sdr. Andre Bisa, OFM, Koordinator Ekopastoral Fransiskan