
Seorang pengemis buta di kota Kalkuta menamai putrinya Roshina, yang berarti ia yang bersinar. Kisah-kisah pahit seperti ini seakan mengoyak hati kita yang membacanya. Kisah sepasang suami-istri penderita kusta, Israil dan Chaya, yang setiap hari mengemis di jalan-jalan kota Kalkuta adalah salah satu kisah yang teramat pahit.
Mereka terpaksa meninggalkan Roshina putrinya – sebuah cahaya di tengah kesengsaraan mereka – dan menelantarkannya ketika Roshina berusia 5 tahun. Dua tahun silam, Israil meninggal dunia dan Chaya istrinya masih hidup sebagai pengemis meski jari-jarinya sudah tak ada lagi dikarenakan penyakit kusta yang dideritanya.
Chaya mengaku perasaannya sangat sedih saat ia menyerahkan putrinya ke sebuah rumah penampungan bagi anak-anak penderita kusta di kota Udayan, pinggiran kota Kalkuta.
Kemiskinan tidak memandang bulu dan meninggalkan pasangan Israil dan Chaya hidup tanpa pilihan.
“Setiap hari kami harus mengemis dan kami tidak mampu merawat Roshina ataupun memberikan dia pendidikan yang layak,” Chaya mengaku. “Saya harus mendampingi suami setiap saat, karena ia buta, termasuk untuk mengemis dan setiap hal lain.”
Ketika mereka meninggalkan Roshina di rumah penampungan di Udayan, mata Israil dipenuhi air mata. Chaya merasa sangat terpukul, namun di saat yang sama, merasa lega dengan keputusan yang mereka ambil. “Kami memberikan putri kami sebuah peluang untuk hidup,” ungkap Chaya yang tak sanggup menyembunyikan rasa bersalahnya.
Putri yang mereka tinggalkan itu kini berusia 17 tahun, penuh percaya diri dan antusiasme. Kini tidak ada ibu yang lebih bangga dari Chaya melihat putrinya yang sudah tumbuh besar.
Satu tahun lagi Roshina Khatun akan segera lulus SMA dan sudah mendapat tempat di sebuah sekolah perawat, sebuah pekerjaan yang nantinya akan mengangkat dirinya keluar dari kemiskinan. “Saya hendak membantu ibu,” ucap Roshina. “Saya hendak bekerja sebagai perawat sehingga ibu tidak perlu lagi pergi mengemis.”
Di belahan dunia lain jauh dari kemiskinan kota Kalkuta, di tengah udara pegunungan yang dingin di kota Armidale, New South Wales bagian utara, di Australia, seorang pemuda berusia 17 tahun bernama Zacariah Craig memiliki kisah yang lain. Ia lahir dari keluarga yang carut marut di kota Alice Springs, seorang putra dari suku penduduk asli Australia, yaitu suku Aborigine. Zac tumbuh besar sementara pamannya, saudara sepupu dan kakak-kakaknya berada di penjara. Iapun hampir terjerat di dalam arus yang sama.
Beberapa tahun yang lalu, Zac mengikuti program yang dikenal dengan nama BackTrack untuk anak-anak yang bermasalah seperti dirinya. Program BackTrack mengajarkan anak-anak muda ketrampilan untuk bekerja di pertanian dan pertukangan las, dengan tujuan memberikan mereka rasa percaya diri, khususnya di kalangan anak-anak yang rentan terlibat kriminalitas.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa program BackTrack ini menurunkan tingkat kriminalitas di kalangan orang muda di kota Armidale; jumlah anak muda yang ditahan di penjara menurun drastis dan mereka memiliki peluang lebih untuk bekerja dan hidup yang layak.
Sejak mengikuti program BackTrack, Zac mengatakan, “saya tidak pernah lagi berurusan dengan polisi.” Lebih dari itu, Zac baru saja menuntaskan sebuah kursus kepemimpinan, bernama Rotary Youth Leadership Awards, dan kini berniat mendaftarkan diri ke universitas atau bekerja sebagai seorang pekerja sosial. Ia memiliki masa depan yang cerah.
Zac Craig, 17, dari kota Armidale – Australia, maupun Roshina Khatun, 17, dari kota Bengal barat – India – keduanya mengalami perubahan hidup yang sangat drastis berkat seorang perempuan bertubuh mungil Agnes Gonxha Bojaxhiu yang kita kenal sebagai Santa Teresa dari Kalkuta.
Ibu Teresa adalah figur yang mengilhami Bernie Shakeshaft pelopor kegiatan BackTrack, di samping Steve Waugh olahragawan terkenal di Australia. Keduanya, Shakeshaft dan Waugh sama-sama tidak terlalu memperhatikan kehidupan keagamaan mereka namun tergugah oleh Ibu Teresa.
Ketika berusia 17 tahun, Shakeshaft bertemu dengan Ibu Teresa. Waugh bertemu dengan Ibu Teresa tengah melakukan tour pertandingan cricket di India. Perjumpaan kedua pemuda tersebut dengan Ibu Teresa membalik kehidupan mereka, yang kemudian merubah kehidupan Zac maupun Roshina.
Pada tahun 1996, Waugh pergi mengunjungi rumah Misionaris Cinta Kasih di Kalkuta. “Saya tiba sekitar pukul 6 pagi dan menyaksikan perayaan Misa dengan para suster yang ada di sana,” kenangnya. “Saat itu para suster duduk di lantai dan sinar matahari menerangi mereka dari balik jendela kayu… tiba-tiba semua orang bergegas dan Ibu Teresa berdiri tepat di depan saya.”
Bagi Waugh, perjumpaan singkat itu amat berkesan. “Ia memiliki aura,” ucap Waugh. “Sejak saat itu saya bertekad, jika mendapat kesempatan, saya akan melakukan sesuatu yang, meskipun kecil, mencontoh karyanya.”
Sekitar satu tahun sejak bertemu dengan Ibu Teresa, Waugh pergi lagi ke Kalkuta untuk sebuah kegiatan olahraga. Kali ini, ia menerima sebuah surat kecil, mengundangnya ke sebuah rumah untuk anak-anak penderita kusta di Udayan. Ia mengambil kesempatan itu tanpa banyak berpikir.
Ketika tiba di Udayan, Waugh menceriterakan pengalamannya, “Kupikir, ‘Tempat ini bagus sekali, anak-anak bergembira, sehat dan sejahtera’ – tapi saya bertanya dari manakah mereka berasal, apa latar belakang mereka, maka saya melontarkan pertanyaan, ‘Bisakah Anda tolong antar saya ke koloni lepra agar saya tahu dari tempat seperti apakah mereka berasal’ Mereka cukup kaget dengan permintaan saya itu, dan saya melihat betapa buruknya kondisi koloni penderita lepra di sana.”
Mengutip cerita pengalaman Waugh, di tempat koloni lepra itulah Roshina dilahirkan dan tempat dimana ibunya Chaya tinggal sampai sekarang.
Waugh, yang pada saat itu baru saja dikaruniai seorang putri, melihat sebuah kejanggalan di Udayan: tidak ada anak putri di sana. Ketika ia menanyakan tentang hal itu, ia diberitahu bahwa hanya anak-anak putra yang dirawat di sana karena merekalah – bukan anak putri – yang nantinya menjadi pencari nafkah bagi keluarga.
“Tanya saya, ‘Apa yang anak-anak putri lakukan di koloni lepra?’
Mereka menjawab, ‘Di saat anak-anak itu mencapai usia 7 atau 8 tahun, mereka terpaksa menjual diri untuk menghidupi keluarga mereka,’ dan saat itu saya tidak bisa menutup telinga, apalagi dengan kelahiran putri saya.
Saya berpikir, ‘Kalau begitu, saya harus melakukan sesuatu untuk anak-anak putri itu,’ maka kami mulai menggalang dana untuk membangun sebuah rumah untuk anak-anak putri di Udayan yang sampai saat ini, 18 tahun kemudian, masih berdiri.”
Sementara banyak pihak meragukan motivasi dan efektivitas karya Ibu Teresa dalam menghapuskan kemiskinan, Waugh dan Shakeshaft yakin bahwa kritikan-kritikan itu tidak sebanding dengan kebaikan yang dituang oleh Ibu Teresa bagi orang-orang yang terlantar dan sekian ratus ribu orang yang hidupnya telah disentuh oleh Ibu Teresa.
“Satu hal yang saya lihat dari Ibu Teresa”, menurut Shakeshaft, “ia tidak melakukannya untuk memperoleh gelar Santa; ia melakukannya karena itu adalah hal yang benar.”
Tahun 1985, Shakeshaft yang waktu itu baru berusia 17 tahun, bersekolah di sebuah sekolah Katolik di Sydney. Ia mengalami saat-saat sulit di sekolah dan dua kawannya meninggal dunia karena kecelakaan mobil.
Pembimbing sekolah pada waktu itu, Romo Liam Horsfall yang sebelumnya telah bekerja sebagai misionaris di India selama bertahun-tahun, membawa sekelompok murid dari Australia ke India setiap tahun. Romo Liam Horsfall membayangkan Shakeshaft akan merasakan manfaat dari kegiatan tersebut.
Selama di India, murid-murid Romo Liam bekerja di panti asuhan dan koloni-koloni lepra. Di penghujung kegiatan mereka, mereka tinggal selama satu minggu di rumah Ibu Teresa Home for the Dying di Kalkuta, rumah bagi orang-orang yang tidak tertolong lagi dan mendekati ajal.
“Saya sudah pernah melihat rumah sakit di Australia, tetapi pengalaman mengunjungi sebuah rumah sakit di kota Kalkuta, India, benar-benar membuka mata. Saya masih ingat tempat tidur pasien yang sangat kecil, sesaknya tempat itu dan orang yang mendekati ajal di mana-mana.”
“Rumah itu adalah rumah untuk merawat mereka yang sudah tidak tertolong lagi: mulai dari bayi, sampai orang tua, di sana mereka meninggal secara layak dan terhormat.”
Shakeshaft merasa bahwa perjumpaannya dengan Ibu Teresa dan pengalamannya bekerja di Kalkuta merubah jalan hidupnya.
“Hidupnya [Ibu Teresa] merupakan sebuah inspirasi, sesuatu yang bisa dijadikan teladan. Beliau mengabdikan seluruh hidupnya untuk merawat yang terkecil. Saya yakin dia sebenarnya bisa mendapat pekerjaan yang lebih baik sebagai guru, namun ia memilih bekerja dengan orang-orang yang ada di paling bawah, tanpa ada yang memperdulikan mereka hidup atau mati.” ***
Elsa Loekito
*Tulisan ini diterjemahkan dan diringkas dari artikel Greg Bearup (The Australian, 3 September 2016), dalam rangka menyambut Kanonisasi Santa Teresa dari Kalkuta.